
- Buletin Prasasti Edisi 1: Terbit
- Buletin Prasasti Edisi 2: Waktu
- Buletin Prasasti Edisi 3: Manusia
- Buletin Prasasti Edisi 4: Terimakasih
- Buletin Prasasti Edisi 5: Ekspresi
- Buletin Prasasti Edisi 6: Ego
- Buletin Prasasti Edisi 7: Berontak
- Buletin Prasasti Edisi 8: Menang
- Buletin Prasasti Edisi 9: Eksistensi
- Buletin Prasasti Edisi 10: Hipokrit
- Buletin Prasasti Edisi 11: Batas
- Buletin Prasasti Edisi 13: Perjalanan
- Buletin Prasasti Edisi 14: Semu
- Buletin Prasasti Edisi 15: Hilang
- Buletin Prasasti Edisi 16: Perayaan
- Buletin Prasasti Edisi 17: Langit
- Buletin Prasasti Edisi 18: Diam
- Buletin Prasasti Edisi 19: Etnik
- Buletin Prasasti Edisi 21 : Berpindah
- Buletin Prasasti Edisi 22 : Mati
- Buletin Prasasti Edisi 23 : Riuh
- Buletin Prasasti Edisi 24 : Pisahan
- Buletin Bulanan Edisi 25: Enigma
- Buletin Bulanan Edisi 26: Wabah
- Buletin Bulanan Edisi 27: Setara
Berontak sempat jadi kata yang tabu bagi bangsa ini. Rezim milisteristik dan otoritarian sangat melarang beredarnya hal-hal yang berbau berontak. Rezim itu selalu mengacu pada gerakan-gerakan pemberontakan yang pernah dilakukan anak-anak bangsa. Puncaknya, pemberontakan ‘65 digunakan rezim tersebut sebagai dalil sahih bahwa pemberontakan apapun bentuknya, termasuk kritik harus ditumpas habis.
Saat ini, dalam konteks yang berbeda berontak memunculkan sifat-sifatnya kembali. Keinginan untuk merdeka hingga sikap-sikap anti status-quo mencerminkan pergeseran. Artinya, saat ini berontak tidak hanya dikaitkan dengan persoalan mengganti ideologi semata. Berontak, melalui karya-karya yang tertuang dalam lembaran buletin ini adalah cerminan dari nalar dan keinginan untuk merdeka setiap penulis yang disampaikan melalui karyanya. Mengutip Seno Gumira Ajidarma, ketika kritik dan pers dibungkam sastra harus bicara.
Salam pers mahasiswa, salam sastra muda