Lompat ke konten

Laut Bercerita: Bagaimana Kata-Kata Menjadikan Roh Berbadan Kekal

Sumber gambar: https://www.gramedia.com/best-seller/resensi-novel-laut-bercerita-karya-leila-s-chudori/
Oleh: Putri Gemilang Hutajulu*

Judul : Laut Bercerita
Penulis : Leila S. Chudori
Cetakan Pertama : Oktober 2017
Penerbit : Kepustakaan Populer Gramedia
ISBN : 978-602-424-694-5
Jumlah Halaman : 379 Halaman

Matilah Engkau Mati, Kau akan Lahir Berkali-Kali…
Frasa tersebutlah yang menyambut saya ketika membaca buku ini untuk pertama kali, Laut Bercerita atau judul bahasa Inggrisnya dikenal dengan The Sea Speaks His Name. Saat pertama kali membaca kalimat tersebut, tepat pada bagian prolog, saya langsung disambangi oleh pertanyaan, “kira-kira apa yang dimaksud dengan lahir berkali-kali?” Namun, setelah membaca prolog, saya berasumsi, ia lahir berkali-kali oleh kenangan.

Laut Bercerita menyajikan latar hilangnya 13 orang mahasiswa dalam tragedi 1998 dengan dua buah point of view dalam rangkaian kisahnya. Dari sang tokoh utama, Biru Laut dan juga dari sisi pandangan adiknya Asmara Jati. Biru Laut, atau yang sering disapa Laut memutuskan bergabung dengan Winatra, perkumpulan mahasiswa aktivis yang ingin mendobrak keadilan atas rezim diktator kala itu. Mereka bertukar pikiran dan menyatukan tujuan yang sama di dalamnya. Semua hal diawali di Seyegan pada tahun 1991, ketika kelompok mahasiswa ini mulai mencari sekretariat baru sebagai tempat mereka membahas karya-karya yang dianggap kiri pada masa itu, seperti karya milik Pram ataupun milik Rendra. Kala itu, di Yogya, sedang ramai-ramainya pemuda ditangkap hanya karena mendiskusikan buku-buku terlarang tersebut. Katanya, mereka dianggap sebagai ancaman yang ingin merobohkan rezim kala itu.

Hal yang menarik perhatian dari cara menulis buku ini ialah, bagaimana cara penulis, Leila, memainkan emosi para pembacanya melalui kata-kata. Sebenarnya dengan membaca prolog, saya sudah mulai mengasumsikan bagaimana jalan dan akhir cerita ini nanti dan tentunya tak cukup kaget dengan jalan ceritanya. Namun, dengan penyajian alur maju-mundur dengan selang-seling peristiwa sebelum dan sesudah penangkapan tahun 1998 terhadap Biru Laut cukup menciptakan rasa penasaran yang anehnya timbul begitu saja kala membacanya, lagi dan lagi, tidak berhenti. Leila handal dalam menciptakan kata-kata seolah bernyawa, memiliki emosi, dan berperasaan. Sangat dalam dan menakjubkan! Pada bagian penyiksaan yang terbilang sudah cukup keji bagi saya, buku ini mampu menggambarkan situas emosi, tegang, hampa, dan ketidakpastian yang melingkupi Biru Laut saat itu.

Namun, ada satu bagian yang cukup membuat saya terkejut, yakni terungkapnya ‘ular’ yang menyelinap dalam kelompok mereka. Sama seperti Laut, saya juga tidak menyangka nama yang disebutkan di dalam bab ‘Di Sebuah Tempat, di Dalam Khianat 1998’ merupakan seorang pengkhianat. Hal tersebut mengingatkan saya kepada dialog yang muncul pertama kali ketika Laut bertemu Bram sebelum bergabung dengan Winatra. “Orang yang suatu hari berkhianat pada kita biasanya adalah orang yang tak terduga, orang yang kau kira adalah orang yang mustahil melukai punggungmu.” Begitu bunyinya.

Pada bagian Laut menyatu dengan namanya sendiri, saya mulai paham, apa makna dari ‘lahir berkali-kali’ yang beberapa kali muncul di beberapa bab penyiksaan 1998 hingga Laut bertemu ikan-ikan pari di dasar laut. Semuanya tertuang pada perspektif Asmara pasca hilangnya Laut selama dua tahun beserta 13 orang lainnya termasuk Kinan, Sunu, Gala, Dana dan kembalinya sembilan orang dari tahanan polisi. Asmara, Anjani–kekasih laut, dan keluarga yang kehilangan hidup dengan kenangan kala itu, dikungkung ketidakpastian dan keabu-abuan. Namun, Laut hidup kembali, setelah segalanya ikhlas, segalanya menerima bahwa ia tidak ada lagi. Laut hadir dalam cerpennya yang ditulis di media, Laut hadir dalam pesannya melalui Alex, Laut hadir dalam surat tak tertulisnya kepada Asmara, Laut hadir dan hidup kembali melalui tiap kata-katanya yang telah dan atau bahkan belum terucap sama sekali. Bagian yang tersedih dan tentunya menyayat hati pembacanya, termasuk saya.

Satu penggalan sajak yang sangat membekas dalam kepala saya dan menjadi penutup paragraf yang membuat saya tak henti memuji apiknya Leila menghidupkan kata-kata ialah yang diambil dari Ciputat 1991 dengan judul “Di Hari Kematianku” yang berbunyi demikian: maka di hari kematianku, kawan, pastikan suaraku datang laut, pastikan
jiwaku menjadi bagian dari api, pastikan rohku menghidupi sajak ini, biarkan kata- kataku meniupkan roh perlawanan ini.

(Visited 7,704 times, 1 visits today)
*) Penulis merupakan mahasiswa Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Brawijaya Tahun 2020. Saat ini aktif sebagai anggota Divisi Litbang LPM Perspektif.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Terbaru

Iklan

E-Paper

Popular Posts

Apa yang kamu cari?