Lompat ke konten

Serina

Ilustrator : Putri Gemilang Hutajulu
Oleh: Choridatul Fitria*

Dengan menahan bendungan air mata yang tinggal menunggu waktu untuk keluar dan membanjiri pipi, kutatap nanar pemandangan tepat didepan mataku saat ini. Dua insan yang sedang berpelukan mesra meresmikan hubungan mereka. Beberapa kali kupukul pelan dadaku untuk meredam rasa sakit yang semakin lama semakin membuatku kesulitan hanya untuk sekedar bernapas. 

Air mata yang sedari tadi coba kutahan dengan sekuat tenaga pun akhirnya mulai meleleh dengan tak tahu malu, ketika kedua orang yang tadinya berpelukan itu mulai berjalan mendekat kearahku dengan tangan saling ditautkan satu sama lain. 

Perempuan itu melepaskan tautan tangannya dari laki-laki yang sejak tadi berjalan beriringan dengannya. Kemudian tangan itu ia ulurkan untuk mengapus lelehan air mata yang mungkin saja saat ini sudah merusak riasan tipis pada wajahku. Perempuan itu tersenyum bahagia. Tentu saja senyuman itu berhasil menambah berkali-kali lipat tingkat rasa sesak dalam dadaku. Setelah dirasa berhasil menyingkirkan beberapa bulir air mata yang membuat pandanganku menjadi sedikit kabur, ia mulai mengatakan sesuatu dari mulutnya.

“Serina, kok kamu nangis sih, kenapa?” 

Perempuan itu bertanya kepadaku dengan suara lembutnya. Mungkin saat ini dia sedang keheranan melihat air mata yang tak henti-hentinya mengalir dari mata bengkakku. Padahal ini adalah momen bahagianya, tapi kenapa aku malah menangis dengan kacau seperti ini?

Aku hanya diam, memilih tidak menjawab pertanyaan perempuan itu. Pikiranku terlalu kalut, terlalu banyak hal yang berkeliaran di kepalaku. Lidahku terlalu kelu hanya untuk sekedar menjawab pertanyaan yang perempuan itu lontarkan beberapa saat lalu. Aku terdiam cukup lama, membiarkan tangan lembut perempuan itu dengan telaten mengelus pelan punggungku berharap bahwa cara itu akan ampuh meredakan tangisanku yang semakin menjadi. 

Sesaat kulihat keduanya saling bertatapan, terlihat bingung bagaimana harus meladeniku yang malah semakin gencar mengeluarkan isakan. Aku menggigit bibir bawahku. Memaksa kedua mataku untuk tidak lagi mengeluarkan air mata yang akan membuatku terlihat semakin kacau dihadapan mereka. Memaksa pergi rasa sesak yang sedari tadi hinggap di dadaku. Kudongakkan kepalaku, kutatap kedua manusia yang saat ini berdiri dihadapanku secara bergantian. Dengan susah payah aku menarik kedua sudut bibirku, mengalihkan tatapanku pada manik mata indah perempuan dihadapanku yang saat ini juga sedang menatapku sambil tersenyum tulus. 

“Nggak kok Saem. Aku nggak nangis, aku cuma bahagia aja akhirnya kamu bisa bertemu dengan pasangan yang baik dan tulus sayang sama kamu” 

Setelah berhasil menuntaskan kalimatku, aku kembali menunduk, menatap sepasang sepatu baruku yang dibelikan papa beberapa hari lalu sebagai oleh-oleh saat pulang dari kunjungan bisnis diluar negri. Air mataku kembali pecah, tidak sanggup rasanya melihat laki-laki itu merangkul dan menatap Saemi dengan tatapan penuh kasih sayang yang selama ini tidak pernah ia berikan kepada siapapun. 

Laki-laki itu tersenyum, pandangannya ia alihkan untuk menatapku. Menatapku yang masih menangis sesenggukan dan terlihat sangat menyedihkan. Ia melangkahkan kakinya untuk mempersempit jarak antara aku dengannya. Tangannya terulur, memberikan sebuah sapu tangan yang entah sejak kapan ia keluarkan dari saku celananya. 

“Makasih ya Ser, kalau bukan karena kamu kita nggak bakalan bisa sampai di titik ini” Laki-laki itu menjeda kalimatnya, ia kembali tersenyum memperlihatkan dua buah bulan sabit yang menjadi canduku selama ini. 

“Makasih karena telah memberiku kesempatan untuk mengenal Saemi, makasih juga karena udah selalu mendukung dan membantu hubungan kita ” ia melanjutkan kalimatnya, kali ini dengan mengelus lembut pucuk kepala Saemi. Persis seperti yang sering ia lakukan kepadaku, dulu.  

Dadaku semakin sesak, tapi aku tetap memaksakan diri untuk kembali mengangkat wajahku dan tersenyum. Kutatap lekat manik indah milik laki-laki dihadapanku. Manik mata yang membuatku luluh tak hanya pada pertemuan pertama kita disekolah, tapi juga setelah dia telah resmi menjadi milik orang lain beberapa saat lalu. 

“Iya, aku juga ikut seneng kok kalau liat kalian bahagia. Tapi kamu harus janji untuk jaga Saemi baik-baik. Dia adalah sahabat sekaligus saudara terbaik aku, jangan sampai sekalipun kamu nyakitin perasaan dia. Apalagi sampai bikin dia nangis” ucapku dengan suara sedikit bergetar menahan isak tangis sambil mengahapus kasar air mata yang entah kenapa tidak ada habisnya. 

Laki-laki itu tersenyum semakin lebar yang tak hanya memperlihatkan dua buah bulan sabit diwajahnya, tetapi juga sebuah dimple manis yang bertengger dipipi kirinya. Sambil menggenggam erat tangan Saemi, ia kembali membuka mulutnya 

“Iya Ser, aku janji bakalan jaga Saemi dengan baik. Aku janji nggak akan membiarkan Saemi mengeluarkan setetes air matapun selain air mata bahagia”. 

Aku hanya mengangguk, tidak berniat membalas ucapan laki-laki dihadapanku itu dengan kata-kata. Kepalaku terasa berat, mataku terasa semakin panas. Ingin sekali aku berteriak dan berlari menjauh dari situasi ini. Tapi kakiku terasa lemas, hanya sanggup untuk menumpu beban tubuhku yang hancur agar tidak limbung ketanah. 

Perempuan itu kembali mendekat, merengkuh tubuh tak berdayaku dalam pelukannya yang selalu terasa nyaman. Ia mengelus lembut rambutku yang mulai memanjang 

“Duh Serina, udah dong jangan nangis terus. Aku do’ain kamu bisa cepet ketemu sama pangeran impian kamu. Aku yakin orang sebaik dan setulus kamu bakalan dipertemukan Tuhan dengan pasangan yang baik pula”

Iya, dan pangeran impian yang aku harapkan untuk bersamaku sebagai pasangan hidup adalah orang yang saat ini berada disampingmu sebagai kekasihmu. Laki-laki yang selama ini selalu kuceritakan kepadamu dengan penuh antusias adalah laki-laki yang beberapa saat lalu telah menyatakan cintanya dengan tulus kepadamu. 

Aku bukan orang baik Saem. Aku adalah orang jahat yang diam-diam pernah berniat untuk menggagalkan hubungan kalian. Aku adalah orang egois yang pernah berusaha untuk menjauhkanmu dari laki-laki yang saat ini tengah memandangimu dengan perasaan penuh kasih sayang. Aku bukan orang sebaik itu yang dengan loyal selalu membantu dan mendukung hubungan kalian. Aku hanyalah orang tamak yang selalu merasa iri setiap kali laki-laki itu memperlakukanmu lebih baik dan lebih manis dibanding yang ia berikan padaku. 

Sekarang akupun bingung dengan diriku sendiri Saem, apa saat ini aku sedang menangis karena bahagia melihatmu akhirnya bisa bersama dengannya ataukah saat ini aku menangis karena masih belum bisa sepenuhnya merelakan dia menjadi pasanganmu. 

Dan saat ini hatiku juga bingung Saem, do’a apa yang seharusnya aku panjatkan pada tuhan tentang hubungan kalian? Benarkah jika aku meminta agar hubungan kalian terus berjalan langgeng? Atau seharusnya aku memohon kepada tuhan agar hubungan kalian bisa secepatnya berakhir?

Meskipun begitu, aku tetep bahagia melihat dirimu bisa tersenyum selebar itu malam ini. Aku bahagia karena satu-satunya sahabat sekaligus saudaraku yang selama bertahun-tahun harus menderita dan selalu menyembunyikan diri dari dunia, sekarang dipersatukan tuhan dengan seseorang yang luar biasa baik dan mampu mencintaimu dengan apa adanya. 

Aku akui, memang sulit bagiku memanjatkan doa kepada Tuhan agar hubungan kalian tetap langgeng selamanya. Namun,  tak sulit bagiku untuk mendo’akan agar senyuman lepas nan manis yang terukir diwajahmu malam ini bisa terus terlihat selamanya. Ternyata benar, kisah ini bukanlah milikku. Peranku hanya menjadi pelengkap perjalanan cinta kalian. Semoga Tuhan selalu memberkati kebahagiaan dalam hidupmu Saem. 

(Visited 137 times, 1 visits today)
*) Penulis merupakan mahasiswi Ilmu Komunikasi angkatan 2020, FISIP Universitas Brawijaya. Saat ini sedang aktif sebagai staff magang di divisi markom LPM Perspektif.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Terbaru

Iklan

E-Paper

Popular Posts

Apa yang kamu cari?