Lompat ke konten

Jeruji Kenistaan: Dalam Pelukan Tragedi dan Gairah Terlarang

Ilustrator : Safira El.
Oleh: Ray Nanda Zahra*

Cerita ini merupakan cerita bersambung milik LPM Perspektif dari karya yang berjudul “Elegi di Balik Jeruji” yang dapat anda akses pada tautan berikut : https://lpmperspektif.com/2023/07/16/elegi-di-balik-jeruji/

Dari menulis surat, menghitung puluhan domba, hingga membacakan syair puisi indah yang membuatku dibantai habis-habisan oleh para penjaga yang tak terima dengan bakat terpendamku sudah aku lakukan untuk mengisi kekosongan ini. Sudah lima tahun berlalu namun tak kunjung juga Tuhan mengabulkan satu doaku hingga aku mulai meragukan eksistensinya. Sekiranya ada Tuhan lain di semesta ini,  aku juga akan meragukannya. Tragedi dalam hidup membuatku skeptis dengan apapun yang ada di semesta.

Lalu sekarang kutuliskan tragedi bengis ini untuk kau nikmati. Sembari berbaring di kasur nyaman, bersantai minum kopi di kedai kopi, atau tak sengaja membacanya sebab lewat di beranda sosial media. Kutuliskan kisah ini agar kau mengerti kehidupan manusia yang lain, kehidupan anomali yang taksemua orang mendapatkan kesempatannya. Kehidupan yang tak pernah diharapkan oleh siapapun, bahkan hanya dalam mimpi.

Luka bekas bantaian para penjaga masih basah membiru, darah diujung bibirku masih sering mengalir, amis kucicipi. Kubiarkan tubuhku berbaring terkapar berhari-hari, tak makan, hanya sesekali minum air. Berharap lambung ini segera meronta dan mematikanku perlahan.

Seorang sipir wanita menghampiriku, menyodorkan piring makanan dan menunggu berharap aku memakannya. 

“Makanlah, paling tidak kau mati dengan sedikit martabat, bukan sekadar jadi hiasan tengkorak”

Aku  meraih piring makanan, sedikit demi sedikit mulai menelan makanan itu. Sipir cantik itu tak kunjung pergi dan malah memperhatikanku. Kubiarkan, sudah lama aku tak mendapat perhatian manusia. Setelah menghabiskan satu piring makanan yang cukup membuatku kenyang, akupun tertidur pulas.

Kuhampiri cermin kecil yang tergantung di dinding lapas. Memandangi wajahku yang kusam, namun masih begitu tampan dengan alis lebat dan bibir merah muda yang kumiliki. Ya, aku memang tak pernah menghisap rokok, aku hanya menghisap yang lain, yang lebih nikmat bagiku. Pagi ini terasa berbeda, mandi pagi membuat  tubuhku lebih bugar dan wangi. Meskipun hanya menggunakan sabun lifebuoy merah, setidaknya aku tak bau keringat busuk tahanan penjara.

Sel-ku masih terpisah dari narapidana yang lain, aku masih disini sendirian. Tak begitu buruk, aku masih bisa tidur dan masih mendapat jatah makanan. Mereka terpaksa menahan diri untuk tak mengakhiri hidupku, karena takut akan menggantikan posisiku nantinya.

Sipir wanita datang lagi membawakanku makanan, tersenyum tipis dan menyodorkan piring untukku.

“Makanlah agar kau bertenaga”

“Apalah arti tenaga yang kumiliki ini” gumamku

*Matanya bersinar dalam balasan.

Aku mengambil piring darinya dan mulai makan, lagi-lagi dia tak pergi dan mengamatiku. Pandangannya berbeda, namun aku tak ingin cepat berasumsi. Dia mendekatiku, dan berbisik pelan:

“Apa kau sudah kenyang?” suaranya melembut

“Sudah cukup, terima kasih” jawabku

“Benarkah kau hanya peduli dengan nafsu makanmu?” bisiknya, suaranya penuh godaan.

“Apa kau menawarkan yang lain?” tanyaku

“Tentu saja jika kau minta” jawabnya dengan lembut

Entah darimana dia mendapatkan kunci ruang lapasku dan membuatnya bisa masuk ke dalam ruangan sempit, gelap, dan pengap ini. Namun perhatianku seketika terhanyut, semua pikiran rasional lenyap. Wajahnya yang memesona dengan lekuk tubuhnya yang indah dan dadanya yang dibusungkan dengan anggun mendekat ke arahku. Sudah lama aku tak dibangunkan, gairahku mengambil alih kewarasanku. Debar panas mengiringi setiap nafasku, keringat pun mengalir membasahi kulit. Begitu dekat, begitu menggoda. Ia menggenggam kendali atas perasaan dan keinginanku, seakan mengajakku untuk terlibat dalam pertarungan yang tak tertahankan.

Kami berciuman dalam gairah liar, di tengah ranjang keputusasaan seorang narapidana dan rindu kesepian seorang sipir. Jejak manis gumpalan bibirnya memaksaku merespon dengan lebih liar hingga kecipak basah dan erang bersahut-sahutan di ruangan sempit ini. Aku tidak pernah menyangka godaan sipir penjara dapat membangunkan gairahku dengan begitu dahsyat.

Kami tenggelam dalam kenikmatan. Keinginanku untuk mengambil kendali semakin menggebu. Dengan tangan yang gemetar, aku menjelajahi gumpalan daging kenyal dan lembut di dadanya, merasakan getaran keintiman yang mengalir melalui sentuhan-sentuhan kami yang penuh nafsu.

Namun, tiba-tiba terdengar suara nyaring yang menusuk kedamaian, suara seperti besi yang sedang dipukulkan dengan besi lainnya.

BYUR! Dingin menusuk tulang. Kubuka mataku, penjaga penjara mengguyurku  bersama kawannya di depan ruangan dengan tongkat besi hitamnya yang sedari tadi dipukulkan dengan jeruji penjara sehingga menciptakan suara nyaring yang sangat mengganggu. Suara riuh itu terus bergemuruh, menghentakkan kenyataan dan merobek mimpi malamku yang sedang membara. Terkutuklah mereka. Bahkan mimpi indah tak diizinkan bersarang dalam hidupku.

Karena sudah basah sebab guyuran dari dua bajingan itu, aku menuju kamar mandi untuk mandi dan membebaskan diri dari sesuatu yang telah terpendam dan mendesak untuk dikeluarkan. Sudah lama aku tak melakukannya, namun mimpi semalam memicuku untuk menciptakan kenikmatan sejenak.

Setelah mandi, waktu menunjukkan pukul 13.00, sudah saatnya makan siang. Aku sudah menunggu, namun ternyata kali ini piring makanku diantar oleh penjaga galak lainnya, dan bukan lagi sipir cantik yang tadi malam datang bercumbu denganku dalam mimpi.

Kejadian dalam mimpi membuatku sedikit membaik. Badanku yang lebam karena pukulan para penjaga sudah tak begitu terasa sakit, walaupun masih membiru. Meski begitu aku  kembali menjalani hari-hariku, satu hari setelah diguyur oleh penjaga penjara aku dipindahkan ke lapas besar bersama narapidana lainnya.

Di balik jeruji lapas, narapidana saling berbincang, saling mengungkap takdir pahit yang kami alami. Rasa sedih membelenggu hatiku, meratap atas nasib tak adil yang menjeratku, tuduhan tanpa kejelasan yang mengurungku selama bertahun-tahun di sini. Sungguh ini tak adil, mereka yang membunuh sekawan nya saja masih mendapatkan kesempatan mengemis pengampunan dari hukuman mati.

Mengapa tidak denganku? Mengapa tak ada yang memperjuangkan keadilan untukku? Apakah keadilan sosial bagi seluruh rakyat dengan syarat dan ketentuan berlaku di negeri ini?

Bersambung…

(Visited 214 times, 1 visits today)
*) Penulis merupakan mahasiswa Hubungan Internasional Angkatan 2022, FISIP, Universitas Brawijaya yang saat ini aktif di LPM Perspektif Divisi Sastra.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Terbaru

Iklan

E-Paper

Popular Posts

Apa yang kamu cari?