Menerka suatu fana yang terbalut oleh sentuhan para penguasa
Fenomena dalam mega rupa yang tak terbaca oleh nista
Tertuang dalam laksana tinta hitam serupa nikotin
Pilu yang selalu menjadi patologi batin,
Terbungkam oleh kuasa kasat mata di dimensi tua nan bangka
Bak luapan rasa yang menjadi suatu sirna dalam semesta
Almari kayu reyot di sudut pojok yang kian rapuh
Melambai, memecah lamun dalam keheningan pikiran sepuh
Hati terpatri dalam memori kelam di kala dini hari itu,
seolah penghalang tuk memendam sebuah tragedi bisu.
Sesak dalam siksa kenangan yang dicipta oleh si iblis
menjadi suatu prasasti yang terukir dalam guratan tragis.
Udin, 16 Agustus sembilan puluh enam
Air mata tumpah ruah membuat semakin terbenam,
kala memori terbang kembali dalam balutan imaji,
sang perwarta yang di musnah dengan keji,tak berhati.
Penanda pekat bagai awan hitam september
Yang selalu menagih janji pada mereka yang masih teler,
teler akan fana nya kebebasan.
Polaroid hitam putih rak almari reyot itu,
Wujud bungkam nya sang terhormat pada keadilan yang semu
tuk apa memori selalu terpatri dalam jiwa?
Jika sang petinggi hanya jumawa pada kuasa