“Berapa lama aku tak mengunjungi kota ini?”
Pertanyaan yang bahkan tak bisa kujawab dengan pasti. Di antara kemungkinan yang akan terjadi, aku sama sekali tidak pernah mengira akan kembali. Kembali ke tempat di mana Bapak selalu menungguku untuk pulang. Namun, apakah rumah yang pernah terlupa masih begitu baik padaku?
Ariani adalah namaku. Hanya itu, agar kalian tak bingung lagi tentang ‘siapa aku ini’.
Dahulu aku sangat mencintai kota ini, bahkan menurutku inilah tempat teraman. Aku selalu takut pergi merantau, takut meninggalkan keluarga yang bahkan tak pernah bersenda gurau. Sedari kecil aku hidup bergantung pada kakakku. Kakak yang selalu mendukung dan menemaniku kemanapun aku berjalan karena Ibuku tak pernah sudi mau berjuang lebih banyak untukku setelah aku lulus SMP.
Aku hembuskan satu hela napas, melangkah penuh resah menuju pintu keluar stasiun yang tidak begitu ramai. Ketika mendongak, aku melihatnya kembali. Melihat kakak perempuanku yang masih saja pendek, bercanda! Aku bahkan menahan mati-matian isakanku. “Bagaimana Praha Ariani? Apakah begitu indah seperti yang kau ceritakan ketika kecil dulu?” tanya kakakku, Arumi. Aku hanya mengangguk, takut tangisku pecah saat berbicara. Kakak tersenyum singkat dan berbalik menuntun kita untuk menaiki taksi yang sudah ia pesan. “Praha sangat indah, maaf baru pulang,” cicitku pelan setelah taksi mulai berjalan.
“Hei, tak apa. Kakak mengerti Praha sudah kau anggap sebagai rumah. Praha sungguh menakjubkan bukan dibanding kota kecil kita. Kamu pasti lelah kan? Sebaiknya tidur dulu.” Aku menolak, memilih untuk bertanya, “Apakah kakak menyesal telah mempercayaiku untuk pergi?”
Kakakku terkekeh kecil, ia berkata, “Kakak tidak pernah menyesal sekalipun, people come and go. Kamu bisa menjalani semua yang kamu inginkan karena hidupmu adalah milikmu Ariani, tapi, jangan terlalu erat memeluk dunia dan Prahamu itu. Nothing last forever kan? Kakak takut kamu akan semakin kehilangan sesuatu yang berarti. Kakak selalu ingin membenci kamu, kenapa kamu tidak pernah kembali selama bertahun-tahun. Bagaimana jarak antara keinginan kakak yang berharap kamu kembali tak sesuai dengan kenyataan yang kakak terima darimu. Tapi, kecintaanmu pada amor fati lah yang justru menyelamatkan kakak Riani. Kamu selalu bilang, ‘Mencintai takdir untuk kebahagiaan adalah pilihan terbaik jika seseorang tidak egois terhadap dirinya sendiri’. Kakak selalu mengingatnya.”
Aku hanya menjawab, “Terima kasih dan maaf,” enggan menambah sesal yang kian sesak. Kak Arumi mengusap surai rambutku yang semakin panjang dari terakhir kali kita berjumpa sembari berkata, “Kakak selalu memaafkan kamu, untuk kebahagiaan kakak. Memeluk dan menerima semua masa lalu, seperti itukan pesanmu?” Aku mengangguk semangat. Lihatlah, betapa baik kakakku ini!
“Mau kerumah Bapak? Bapak selalu menunggu kamu bercerita lagi Ariani. Pria tua yang selalu kau banggakan telah menua, tak bisa untuk memelukmu dengan sangat erat seperti janjinya kepadamu.” Hatiku mencelos, meningat janji Bapak yang menyeruak dalam ingatanku bagai kaset rusak.
“Ariani. Ariani yang akan memeluk Bapak dengan erat,” kataku cepat.
Tak terasa taksi telah berhenti. Aku berlari, terengah-engah ketika melihat punggung Bapak bersamaan dengan hangatnya senja yang melingkupi. Pria yang mengajarinya tentang hidup, memberinya semua yang ia inginkan. Berkat Tuhan, rumah yang pernah kulupakan masih begitu baik, sampai-sampai membuat pertemuan ini terjadi. Aku memeluk Bapak dengan erat, tangisku tumpah ruah dengan pilu sarat kelegaan. “Ariani, kamu pulang?” lirih Bapak.
“Iya, Ariani pulang pak, Ariani pulang. Maaf terlalu lama berlari, mengejar fana yang tak ada habisnya. A-Ariani egois,” bisikku penuh penyesalan.
Terkadang manusia terlalu jauh berlari, menjadi budak-budak fana yang ingkar. Mengikis jejak temu dengan ‘mereka’ yang selalu menunggu ia pulang. Tuhan selalu memberi manusia waktu dan pilihan. Aku, Ariani adalah sedikit manusia yang masih beruntung tak terlambat pulang dari banyaknya jerit pilu penyesalan sebab kehilangan yang terkasih. Sang Praha yang sungguh bersinar begitu menyilaukan. Sanggup membutakan, membuatku tak menyadari rumah yang sesungguhnya.