Oleh : Ana Widiawati*
Bersama gumpal-buyar kenangan, aroma basah jalanan, doa-doa tak terucapkan,
ini bukan menyoal hujan
yang tiap guyurnya membangkitkan makam-makam ingatan,
yang rerintiknya membawamu mengudara ke masa silam,
yang kedatangannya selalu melahirkan pemuja-pemuja musiman
Adalah tentang mata-mata yang sayu,
tangan-tangan tertangkup,
bibir-bibir mengggigil,
wajah-wajah berkerut,
kusut
Bahwa di kota tua ini,
di bawah teduh emperan toko usang,
hujan tak sepuitis kata-kata kiasan dalam persajakan
hujan tak seromatis percumbuan manusia dengan masa lalunya
Memaknai hujan dalam rerangkai bahasa pemuja
adalah pengkhianatan
sebab kota tua dan lekuk terjal kehidupan teramat menjerat
untuk diduakan
hujan pun tak nikmat
sementara ada perut-perut yang meminta diganjal,
ada tangis-tangis bocah yang menuntut diredakan,
ada asa-asa yang coba dihidupkan
meski esok tampak lebih muram
dari awan hitam
Malang, 9 Oktober 2016
*) Penulis merupakan Mahasiswi Hubungan Internasional FISIP UB 2014. Merupakan Pimpinan Divisi Penelitian dan Pengembangan (LITBANG) LPM PERSPEKTIF.