Tak heran aroma gerakan mahasiswa dari hari ke hari begitu terasa.
Tapi ini bukan cerita tentang kisah heroik mahasiswa yang menurunkan uang kuliah.
Atau bukan cerita tentang diskusi mahasiswa tentang perusahaan kapital.
Ini cerita tentang penjual koran keliling di kampus kami yang menjajakan korannya.
Pernah suatu waktu, seorang temanku sedang memimpin sebuah diskusi.
Diskusi tentang mahalnya biaya kuliah katanya,
sambil menghisap rokoknya di kantin fakultas tetangga ia berkata
“Uang kuliah semakin mahal! Tak bisa dibiarkan,” ketusnya
“Benar, benar, lawan bung,” sahut teman yang lain.
Diskusi berjalan seru dengan keputusan aksi 2 hari mendatang.
Sembari diskusi, penjual koran keliling itu berseru,
“Korannya koran mas, tiga ribu saja, ada berita ikan mati tenggelam, hehehe,” canda bapak yang kerap memakai topi warna biru dan murah senyum tersebut.
“Ayo mas, korannya, dibeli biar tambah pinter,” ungkapnya kepada gerombolan mahasiswa diskusi.
“Maaf pak, besok aja,” sahut salah seorang diantara mereka.
“Oke deh mas, hehe,” candanya, dan kemudian duduk sambil melepas lelah di bangku yang tak jauh dari tempat diskusi.
Diskusi kemudian berlanjut, dengan keputusan detail mengenai teknis aksi yang berlangsung mendadak dan rahasia kata mereka.
Kemudian mereka mempersiapkan segalanya, spanduk, dan segala macamnya.
Mereka ingin aksi, langsung di depan pak menteri.
Rencana dari hasil keputusan kemarin, mereka akan melakukan persiapan akhir 2 jam sebelum kedatangan menteri di gazebo pintu utama gerbang kampus kami.
Apa yang terjadi?
Mendadak menteri batal hadir.
Tak ada yang tahu alasannya.
Aksi gagal total dan terpaksa ditunda,
Ternyata, di kantornya.
Penjual koran yang murah senyum itu sedang mendapatkan bintang jasa atas kerjanya.
Ia berhasil melakukan pengintaian di kampus kami.
Lalu melakukan pelaporan kepada rektorat, atasannya, bahkan hingga ajudan menteri.
Sialan,
beberapa minggu kemudian baru kuketahui,
penjual koran di kampus kami ternyata intel ……
ini beneran ya?