Lompat ke konten

Ujung Jalan

Ilustrator : Labib Fairuz
Oleh: Romi Arifin*

Cerpen ini merupakan lanjutan dari cerpen yang berjudul “Babak Terakhir”, dapat anda baca melalui https://lpmperspektif.com/2023/01/22/babak-terakhir/

Suara langkah kaki mulai terdengar, Ratna langsung tau siapa yang akan datang. 

“Ratna, kamu sudah bangun?” Sedikit melongo, datang Tante Kristin yang terharu melihat keponakannya merespon suara kakinya. Dia menghampiri Ratna, mengambil tangannya dengan sentuhan hangat yang menyela jari-jari mungil. Perasaan familiar dari orang yang selalu menemani Ratna sejak dirinya ditinggalkan oleh raga ibunya.

“I-Ibu di-dimana?” Tanya Ratna terpatah-patah. Tante Kristin tidak menjawab hanya tersenyum tipis menahan tangis.

Perasaan lega seakan-akan direnggut, badan Ratna terasa kian melemah, membuat kelopak matanya kian memberat dan memilih untuk tidur serta tidak memikirkan apa yang terjadi. 

***

Bersamaan Ratna menutup matanya di dalam lelap yang mimpinya panjang, Ratna di dalam realita hidupnya yang asli membuka matanya untuk kesekian kalinya. Berbeda dari sebelum-sebelumnya, suasana ruangan Rumah Sakit Jaya Abadi begitu hening dengan lampu remang-remang. Tidak ada suara Dr. Andy atau Tante Kristin yang menyambut disaat matanya kembali terbuka. Ratna mulai memfokuskan kedua indera penglihatannya. Ia melihat Tante Kristin disamping ranjang tidurnya sedang terlelap dalam tidurnya di sebuah kursi.  Ia menolehkan kepalanya ke arah jendela membuatnya menyadari keheningan yang terjadi disebabkan oleh hari yang sudah gelap. 

Ratna menarik nafas dalam-dalam dan menghembuskannya secara perlahan, ia masih terheran-heran dengan apa yang menimpanya hari ini. 

“Persetan, apa yang baru saja terjadi?” keluh Ratna bingung. Mendengarnya, membuat Kristin tersentak dari tidurnya dan mulai merangkup Ratna erat seraya mengecup dahinya. 

“Syukurlah kau, sayang,” haru Kristin. “Apa yang Ratna alami saat terlelap? Sangat nyenyak tidurmu, membuatku  mulai mencemaskanmu” lanjut Tante Kristin.

Mendengar pertanyaan Tante Kristin, tangis Ratna pun pecah dan mulai menceritakan apa yang ada di dalam mimpinya dan menceritakan mengenai kisah yang belum Ratna ceritakan sebelumnya. Entah mengapa kejadian kemarin membuat hatinya melebur. Mungkin karena obat-obat yang disuntikan Dr. Andy atau memang mungkin jalan cerita hidupnya yang kelam sudah terlalu memberatkan isi kepalanya. 

Tak terasa matahari sudah mulai menyingsing dari timur, suasana rumah sakit perlahan mulai menunjukkan tanda-tanda kehidupan. Dipenghujung pembicaraan Tante Kristin menundukkan kepalanya dan memohon kepada Ratna untuk rajin minum obatnya karena Tante Kristin sudah lelah mengkhawatirkan Ratna. 

“Maaf tante, tapi Ratna sangat memohon untuk bisa bertemu malaikat Ratna. Boleh ya? Ratna janji akan rajin minum obat dan tidak akan membuat Tante Kristin khawatir lagi” Jawab Ratna sambil menundukkan kepala dan memegang erat tangan Kristin. 

“Tapi, itu tidak mungkin” balas Kristin sambil menghembus nafas.

“Tolong ya tante, sekali… saja, Ratna hanya ingin berbicara, semenit pun tak apa” Ratna berusaha meyakinkan.

“Baik, tante usahakan ya, tapi tidak janji” Kristin beranjak dari ranjang Ratna dan pergi keluar kamar perawatan Ratna

Setelah menunggu cukup lama. Tante Kristin bersama dengan Dr. Andy datang menemui Ratna. 

“Baiklah Ratna Dr. Andy mengizinkanmu untuk kita pergi menemui malaikat mu itu” Senyum Tante Kristin dan Dr. Andy.

“Terima kasih Dok, Tan, kalian baik sekali” Balas Ratna tersenyum.

Di sepanjang perjalanan Tante Kristin menceritakan bahwa ayah Ratna yang merupakan malaikat dalam mimpi Ratna, sekarang hidup sangat sederhana. Ia meninggalkan pekerjaan lamanya sebagai polisi dan mulai bekerja menjadi petugas kebersihan. Biaya pengobatan Ratna semua ditanggung oleh ayah Ratna. Tante Kristin menjelaskan ayah Ratna sangatlah menyayangi Ratna dan setiap hari selalu menanyakan bagaimana kondisi Ratna, namun  ayah Ratna tidak ingin menampakkan dirinya di depan Ratna karena ayah Ratna berharap Ratna melupakan kenangan buruknya di masa lalu walaupun itu akan membuat sosok ayah Ratna dilupakan olehnya. 

Roda ban mobil berhenti berputar dan membuat Ratna bertanya-tanya apakah sudah sampai di tempatnya. Disamping kiri jalan Ratna melihat bangunan yang tak asing bagi dirinya. Setelah mengingat, yaa.. Betul itu adalah rumah lama Ratna yang membentuk kenangan keluarga di dalam benak Ratna. Rumah itu tidak mengalami perubahan jika tampak dari luar, hanya pohon di depan rumah yang semakin lebat hingga menutupi sebagian rumah. Tante Kristin mengajak Ratna keluar dan memasuki halaman rumah. Belum sampai Ratna dan Tante Kristin tepat di depan pintu rumah. Pintu itu terbuka dan muncul seorang lelaki besar berjanggut, dia adalah ayah Ratna. Tante Kristin dan Ratna diajak masuk ke dalam rumah. 

Langkah pertama memasuki rumah, Ratna masih merasakan suasana yang sama seperti dahulu terakhir ia bersama ibunya pergi meninggalkan ayahnya dirumah. Tak banyak yang berubah sejak ia meninggalkan rumah walaupun sudah bertahun-tahun Ratna tak menginjakkan di ubin yang dingin rumah itu.  

Di bangku kayu yang sudah tampak rapuh kaki-kakinya, Ratna duduk. Sangat terasa bangku ini sudah lama dicampakkan oleh pemiliknya. Di seberang meja tidak sampai satu meter di depannya duduk ayah Ratna. 

“Bagaimana perjalanannya?” Mulai ayah. 

“Yaa… cukup baik” Jawab Kristin.

Sangat aneh ayah hanya menatap Tante Kristin, sesekali ayah melirik Ratna namun disaat Ratna dan ayah tidak sengaja berseteru pandangan, ayah langsung menundukkan kepalanya, seakan-akan enggan melihat mata orang yang menjadi alasan ia hampir setengah umur hidupnya hidup sangat sederhana. 

Suasana menjadi sangat canggung. 

“Kalian berdua yang akur ya, aku mau keluar sebentar. Sudah lama tak menyapa tetangga belakang rumah.” Tante Kristin mengangkat dirinya dan pergi ke belakang rumah. Suasana semakin canggung. Jantung Ratna berpacu cepat. Dengan memberanikan diri ayah mengangkat kepalanya dan memulai perbincangan. Ayah menanyakan bagaimana sekolahnya dan bagaimana kondisinya sekarang. Ratna hanya menjawab singkat. Setelah itu suasana menjadi kembali canggung, namun tidak beberapa lama ayah mulai meminta maaf tidak bisa menemani Ratna dan tidak bisa menjadi ayah yang baik.

Dengan air mata yang perlahan menuruni wajah, Ayah mulai menceritakan beberapa hari setelah kematian ibu, ayah mengalami depresi berat. Namun di suatu malam disaat kondisi rumah berserak barang-barang. Arwah ibu berdiri di depan ayah. Ayah bersujud dan meminta maaf apa yang sudah ia lakukan selama ini kepada ibu. Balasan ibu hanya menyebut nama Ratna beberapa kali, setelah itu arwah ibu menghilang dalam kegelapan. Keesokan harinya ayah langsung pergi menemui Tante Kristin menanyakan kondisi Ratna dan memberikan semua uangnya kepada kristin dengan harapan Tante Kristin dapat merawat Ratna. Di malam setelah ayah menemui Tante Kristin, arwah ibu kembali datang. Ibu menanyakan bagaimana kondisi Ratna. Dan ayah menjawab bahwa Ratna baik-baik saja. Mulai dari saat itu ibu kerap datang menemui ayah untuk menanyakan kabar Ratna dan berbicara dengan suaminya itu. Perlahan-lahan hubungan ayah dan ibu semakin membaik walaupun hubungan cintanya berbeda alam. Karena ibu Ratna ayah sebenarnya sering menemui Ratna atau hanya menanyakan kondisi Ratna. Ayah memutuskan memberanikan diri untuk menemui Ratna karena ibunya sudah sangat lama menyuruh ayah untuk menatap mata dengan Ratna, namun ayah belum punya keberanian untuk melakukan itu. 

Satu jam berlalu. Di akhir pembicaraan, Ratna hanya terdiam menunduk dan menangis pelan. Ratna langsung memeluk ayahnya yang dulu pernah menjadi lelaki pertama yang ia cintai. Mereka berdua jatuh dalam tangisan hingga membasahi baju keduanya. Dalam pelukan ayah hanya bisa mengatakan ribuan kata maaf. 

Setelah kondisi haru itu, suasana menjadi cair, ayah dan Ratna mulai cair dalam perbincangan hingga tak terasa matahari sudah mulai meninggalkan mereka. Tante Kristin pun muncul dari belakang rumah dan langsung tersenyum dengan apa yang ia lihat. Tante Kristin mulai menunjuk jam yang mengikat di lengan kirinya itu. Menunjukkan Ratna dan kristin harus pergi meninggalkan ayah untuk kembali pulang ke rumah Tante Kristin. Setelah melihat gestur yang ditunjukkan oleh Tante Kristin, dengan rasa berat hati ayah berdiri dan menutup pembicaraan.

“Sudah ya, lain waktu kita mengobrol kembali sayang” sambil mengelus rambut Ratna.

“Tidak, Ratna hanya ingin bersama ayah” sambil menahan dirinya di kursi rapuh itu.

“Sini ayah gendong, ayah rindu menggendong putri kesayangan ayah dan ibu” sambil mengangkat tubuh Ratna ke punggungnya.

Sambil berjalan menuju pintu mobil Tante Kristin. Ayah mengatakan kepada Ratna, Ratna tidak bisa tinggal bersama ayah. Ayah ingin Ratna hidup penuh dengan cinta bersama Tante Kristin. Ayah tak ingin Ratna menjadi sosok ayah yang memberikan memori kelam kepada orang lain. Dan oleh karena itu ayah berjanji kepada dirinya sendiri untuk bisa merelakan Ratna hidup bersama Tante Kristin. Bersamaan dengan apa yang dikatakan ayah. Air mata Ratna kembali jatuh membasahi pundak orang yang menggendongnya tersebut. Sesampainya di depan pintu mobil, ayah mulai menurunkan badan Ratna. 

“Sudah-sudah, dokter akan melarang kita bertemu kalau air matamu tak segera dihapus. Ayah janji kita akan bertemu lagi” Kata ayah sembari mengusap pipi Ratna.

“Ayah bohong” jawab Ratna kesal.

“Ratna bisa pegang janji ayah. Ayah tidak akan bisa hidup jika tidak sesekali melihat wajah menggemaskan ini” Balas ayah memegang kedua pipi Ratna.

“Janji yah?” tanya tegas Ratna

“Iya sayangku, ayah berjanji dengan seluruh semesta” senyum ayah lebar kepada Ratna

Ratna pun dengan berat hati memasuki mobil. Ayah menutup pintu mobil. Perlahan-lahan roda karet itu mulai memutar. Ayah dan Ratna sesama melambaikan tangan. Ratna menitikkan air mata. ayah sekuat tenaga untuk menahan air matanya. Begitu tampak mobil sudah berubah menjadi penampakan jalan kosong, ayah kembali memasuki rumah. Di setengah membuka pintu terlihat di mata ayah arwah ibu duduk di kursi rapuh yang di diduduki Ratna sebelumnya. Ibu menatap ayah dan tersenyum seperti mengisyaratkan apa yang dilakukan ayah pada hari itu membuat ibu bangga kepada ayah. 

Tamat.

(Visited 174 times, 1 visits today)
*) Penulis merupakan mahasiswa Sosiologi FISIP, Universitas Brawijaya. Saat ini sedang aktif di Divisi Sastra LPM Perspektif.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Terbaru

Iklan

E-Paper

Popular Posts

Apa yang kamu cari?