Malang, PERSPEKTIF — Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) Jawa Timur (Jatim) menggandeng Malang Corruption Watch (MCW) dalam webinar bertajuk “Menguak Persoalan Tata Ruang dan Potensi Politisasi Anggaran dalam Krisis Banjir Kota Malang” melalui Zoom pada Jumat (16/05). Diskusi ini menghadirkan dua sudut pandang, yaitu terkait isu lingkungan hidup sebagai potensi terjadinya banjir serta isu transparansi anggaran pada proyek pembangunan drainase di Kota Malang.
Intensitas banjir di Kota Malang mengalami peningkatan signifikan sejak tahun 2020. Lebih dari 700 kejadian banjir terjadi di Kota Malang selama rentang tahun 2019-2022. Masifnya alih fungsi lahan, minimnya ruang terbuka hijau (RTH), serta potensi korupsi pada proyek pembangunan drainase dinilai menjadi faktor pendukung tingginya intensitas banjir yang melanda Kota Malang selain curah hujan yang tinggi.
Pradipta Indra Ariono sebagai perwakilan dari WALHI Jatim memaparkan bahwa tata ruang kota memiliki andil yang besar sebagai penyebab terjadinya banjir dan menyinggung tanggung jawab Pemerintah Kota (Pemkot) Malang dalam menjamin Ruang Terbuka Hijau (RTH). Ia mempertanyakan kesanggupan Pemkot Malang untuk memenuhi setidaknya 30% ruang lingkup kota untuk dapat berfungsi sebagai RTH.
“Pemerintah Kota Malang mengakui hanya terdapat 15% (RTH, red). Mereka menargetkan 21%, tetapi belum tercapai. (Pertanyaannya, red) tidak mau atau memang tidak mampu untuk memenuhi kebutuhan RTH di Kota Malang?” ujar Pradipta (16/05).
Lebih lanjut, Pradipta turut mengkritisi kebijakan pemerintah yang mengalihfungsikan RTH menjadi lahan pembangunan fasilitas lain, seperti pusat perbelanjaan. Aksi itu dinilai berbanding terbalik dengan tindakan Pemkot Malang yang mengkritik keberadaan permukiman kumuh di sepanjang sungai yang disinyalir menjadi tersangka kedua tingginya intensitas banjir di Kota Malang.
“Memang tidak diperkenankan ada permukiman di sekitar sungai. Konteksnya, kenapa seolah-olah masyarakat yang terpaksa tinggal di sepanjang sungai itu menjadi suatu kesalahan?” tuturnya.
Perwakilan dari MCW, Adi Susilo menjelaskan bahwa merebaknya fenomena permukiman kumuh di sepanjang aliran sungai merupakan dampak dari urbanisasi besar-besaran pada masa Orde Baru yang tidak diiringi dengan pembangunan wilayah permukiman yang baik. Pemerintah Kota Malang cenderung mengesampingkan pertimbangan lingkungan dan hanya berfokus pada keuntungan profit.
“Pemerintah Kota Malang sangat gencar membangun berbagai macam perumahan, terutama di pinggiran. Mereka gencar memberikan izin pembangunan pada developer, tapi juga ingin memperluas RTH. Itu sebuah kontradiksi,” ucap Adi (16/05).
Adi juga menyoroti usaha penanganan banjir oleh Pemkot Malang yang dinilai memiliki banyak masalah, terutama pada proyek pembangunan drainase. Ia menuturkan bahwa pengadaan anggaran untuk developer seringkali melebihi perkiraan awal. Hal ini disertai dengan pembangunan yang molor dan baru dilaksanakan pada kuartal keempat di setiap tahunnya.
Tidak berhenti di situ, terdapat developer yang memenangkan 2 proyek pembangunan drainase secara bersamaan di Kota Malang. Adi menilai hal itu memicu lahirnya tingkat kecurangan yang tinggi, sebab proyek tersebut dikuasai oleh satu developer. Di sisi lain, keterbukaan informasi mengenai pengadaan anggaran dan kelanjutan proyek sangat minim, bahkan tidak dapat diakses melalui Layanan Pengadaan Secara Elektronik (LPSE).
“Padahal banyak sekali pengadaan drainase. Katanya pengadaannya insidentil (Tidak tercantum di LPSE, red). Padahal, pengadaan insidentil dibolehkan apabila anggarannya hanya senilai 200 juta rupiah, di atasnya harus melalui skema pengadaan barang dan jasa LPSE,” jelas Adi.
Adi menyayangkan sikap ketertutupan Pemkot Malang terkait data-data tersebut. Padahal, sudah seharusnya masyarakat dapat turut mengakses informasi dan berperan aktif dalam mengawal pembangunan tata ruang. “Pemerintah jarang mengikutsertakan masyarakat dalam perbincangan mengenai pembangunan tata ruang,” tungkasnya.
(red/alr/cea)