Malang, PERSPEKTIF– Menjadi salah satu destinasi untuk menimba ilmu bagi pelajar dan mahasiswa kota Malang menyandang status sebagai “Kota Pelajar”. Banyaknya mahasiswa rantau yang berdatangan berdampak pada peningkatan jumlah penduduk dan kebutuhan masyarakat. Berbagai kebutuhan tersebut terus hadir dan berkembang pesat, seperti kebutuhan kos, rumah makan, sarana perbelanjaan, hingga tempat hiburan untuk masyarakat Malang. Banyak bisnis yang juga berjalan dan menjadikan mahasiswa sebagai target konsumennya.
Salah satu dampak yang juga muncul sebagai akibat dari jumlah penduduk yang semakin banyak adalah terbatasnya lahan parkir. Kini, lahan parkir menjadi sebuah kebutuhan, mengingat pertumbuhan penduduk terus naik tetapi tidak diimbangi dengan lahan yang tersedia. Luas lahan di Malang pun tidak sebanding dengan semakin banyaknya penduduk yang datang, salah satu yang tertinggi berasal dari kalangan mahasiswa. Di sisi lain, lahan parkir yang kian terbatas sekarang telah banyak diisi para juru parkir yang berjaga.
Stigma Negatif Tukang Parkir
Secara teknis pekerjaannya, juru parkir tentu akan memudahkan masyarakat dalam urusan memarkirkan kendaraan mereka. Masyarakat hanya perlu merogoh kocek tak sampai Rp 5000 untuk dibantu oleh juru parkir untuk mengatur parkir kendaraan ataupun membantu urusan lainnya di jalan. Namun, saat ini juru parkir sedang diterpa banyak isu-isu yang berdampak pada stigma negatif pekerjaan mereka. Banyak oknum juru parkir di luar sana yang hanya meminta uang para pengendara tanpa membantu mengatur parkir ataupun menyebrangkan kendaraan yang dikemudikan pelanggan.
Saat ini, sudah lekat di pikiran masyarakat bahwa juru parkir hanya duduk manis dan tak terlihat saat kendaraan pelanggan memasuki area parkir. Namun, ketika pelanggan ingin pergi, mereka akan muncul entah dari mana. Julukan lain pun diberikan oleh masyarakat kepada kota Malang atas fenomena ini, yakni “Malang Kota Parkir.”
Oknum juru parkir tersebut sering digadang-gadang sebagai penyebab permasalahan, salah satunya pungutan liar (pungli) dan parkir ilegal, sehingga berakibat pada turunnya citra juru parkir serta mengganggu jalannya bisnis masyarakat. Hal ini tentu menjadi sebuah persoalan, karena pandangan masyarakat menjadi negatif kepada keseluruhan kelompok juru parkir.
Hidup Sebagai Tukang Parkir
Terpaan isu yang menerjang atas profesi juru parkir tersebut dirasakan oleh Ahmad, seorang juru parkir yang menggantungkan hidupnya dari sepetak lahan parkir sebuah warung makan. Ahmad bekerja mengatur urusan parkir para pelanggan yang menyambangi Rumah Mang Ujo. Terkait isu-isu miring yang menerpa profesi juru parkir, ia mengaku tidak terlalu memusingkan hal tersebut
“Kalau masalah yang di luar sana itu ya, kalau saya sendiri kurang paham,” ucap Ahmad menanggapi isu negatif juru parkir di Malang (25/4).
Saat ini, Ahmad menjalankan profesinya sebagai juru parkir dengan berbagai tuntutan pekerjaan yang diemban. Ia bekerja bersama orang lain yang juga mencari rezeki di tempat Ahmad bekerja, mereka memiliki pembagian kerja menjadi dua shift.
“Di sini dari jam 7 (pagi, red) sampai jam 3 (sore, red), dilanjutkan jam 3 sore sampai pagi. Tergantung orangnya juga di shift tersebut betah atau tidak,” ujarnya menambahkan.
Penghasilan yang didapat dari profesi juru parkir selalu disyukuri oleh Ahmad. Ia menuturkan bahwa pendapatan harian yang didapat sangat fluktuatif, berkisar Rp 80.000 hingga 150.000. Penghasilan tersebut bergantung pada kondisi keramaian rumah makan tempatnya bekerja. Selain itu, Ahmad tidak hanya menikmati penghasilan tersebut seorang diri, melainkan harus dibagi dengan rekan kerjanya. Bahkan terdapat potongan lainnya yang harus ia serahkan kepada pihak-pihak tertentu
“Ya kadang ramai, kadang sepi, begitulah. Kalau ramai bisa (dapat, red) Rp 150.000 dibagi orang dua. Itu nanti belum dipotong buat RT/RW, buat Dinas Perhubungan (Dishub), masih ada setoran lagi,” imbuhnya.
Berbagai setoran yang diserahkan merupakan klausul wajib agar Ahmad tetap bisa menjadi juru parkir. Penghasilan yang ia terima juga seringkali berbanding terbalik dengan apa yang selama ini dipikirkan oleh masyarakat. Ditambah lagi, ia juga harus siap untuk bekerja di bawah terik matahari dan dinginnya suasana malam di Malang.
Meskipun begitu, Ahmad tetap bersemangat untuk menjalani profesinya sebagai juru parkir. Rokok dan kopi menjadi teman setia dalam menjalani tugasnya sebagai juru parkir. Ditambah lagi berbagai kesempatan yang muncul ketika dirinya bisa ngobrol dengan pelanggan yang ramah.
“Penting itu, apa ya, saling menjaga. Jaga konsumen, ya kan. Isine kerja jujur, wes penting amanah. Begitu lho,” tutur Ahmad.
Baginya, hal yang terpenting adalah kebutuhan anak dan istri yang terpenuhi. Ahmad bersyukur dengan apa yang dimilikinya, meskipun terkadang pendapatannya kurang. Ia percaya bahwa rejekinya akan selalu cukup dan selalu bersyukur tentang apa yang terjadi di dalam hidupnya.
“Ya Gusti Allah itu masih adil mas, yang penting barokah, gitu. Kalau pandangan saya sih, ya wong tukang parkir itu gak bisa menunjukkan ‘iki lho aku tukang parkir’, gak bisa mas. Semua pekerjaan itu ada suka-dukanya mas. Penting yang saat ini kita jujur, halal buat keluarga. Sekecil apapun rezeki kalau barokah kan Alhamdulillah,” tangkas Ahmad.
(rfy/cea/ahi)