Perjalanan zaman seiring berlalunya waktu ke waktu terus menemukan permasalahannya masing-masing, itu selaras dengan peribahasa “Setiap masa ada zamannya setiap zaman ada masanya.” Permasalahan kehidupan juga mengalami perubahan seiring perkembangan dan kemajuan peradaban, bisa saja, dinamika problem hari ini berbeda dengan masa yang akan datang. Perubahan zaman dan berjalannya waktu kehidupan manusia juga semakin kompleks, apalagi di era sekarang, yang mana semua lini kehidupan dapat dikatakan mulai menggunakan teknologi yang serba canggih.
Penggunaan teknologi oleh manusia yang serba praktis perlahan bisa membuat substansi kehidupan manusia bergeser. Pelan tapi pasti, manusia semakin merasa kehausan spiritual, merasa jauh dari dimensi-dimensi nilai ilahiah. Di sinilah letak ketidaksiapan seseorang menghadapi perubahan zaman. Pada akhirnya, seseorang yang tidak siap menghadapi zaman tersebut dengan sendirinya akan tersingkir, bahkan jatuh tersungkur ke dalam kehidupan yang serba mekanik, mesin, kecanggihan, dan juga pragmatis.
Begitu juga dengan interaksi antara modernisme dan kebudayaan lokal yang akan memunculkan risiko-risiko baru yang tak terhindarkan. Di antara dampak dari bertemunya era modernisme adalah adanya kompetisi liar (saling mempengaruhi), bertentangan, dan bertolak belakang dengan kearifan lokal masyarakat (Pathak, 2006). Kehadiran tasawuf dan psikoterapi bisa memadukan antara dua ilmu sekaligus; ilmu-ilmu Islam dan Barat, yang mana teori-teori keilmuan ini telah menjadi satu epistemologi keilmuan baru yang banyak digandrungi oleh para mahasiswa. Tidak heran jika jurusan tasawuf dan psikoterapi banyak melahirkan manusia-manusia yang siap secara emosional dan spiritualitas.
Katakanlah di Institut Ilmu Keislaman Annuqayah (Instika) tasawuf dan psikoterapi seperti yang terangkum dalam profil lulusan, yakni hadir untuk menjawab persoalan masyarakat modern yang saat ini rentan menghadapi permasalahan mental dan spiritual. Hal tersebut dipengaruhi arus modernisme dan kapitalisme yang kian tak terbendung, sehingga menggiring manusia modern pada alienasi dan kehampaan diri.
Kehadiran tasawuf dan psikoterapi akan memperkaya masyarakat dan memperkuat mental masyarakat pada aspek spiritualitas. Karena bagaimanapun, dalam segala hal yang kita lakukan, spiritual selalu dihadirkan sebagai bagian dari kebutuhan kesejahteraan diri, bahkan saat kita sehat maupun saat kita sakit. Tasawuf dan psikoterapi bukan lagi sekedar konsep ilmu akademik di dunia kampus-kampus yang dikaji secara jelimet atau secara mistik belaka, tasawuf dan psikoterapi sekarang mampu diterima secara universal sebagai aspek penting dalam memberikan pembelajaran di bidang pengobatan kesehatan mental dan kesejahteraan spiritual secara keseluruhan (Hamka, 2014).
Dalam beberapa tahun terakhir, ilmu tasawuf dan psikoterapi banyak diburu para mahasiswa. Program studi ilmu ini juga sudah banyak dibuka di berbagai kampus. Bukan tanpa alasan kenapa mahasiswa memilih jurusan ini sebagai salah satu pilihan dalam program studi mereka. Seperti yang ditulis dalam (Psikologi Sufi, n.d.) ilmu tasawuf dapat mengintegrasikan hati, diri, dan jiwa. Tasawuf dan psikologi secara bersamaan sebagai alat untuk mengkaji tentang hati manusia, tentang diri manusia, dan tentang jiwa manusia yang riskan dengan permasalah- permasalah psikis.
Buku-buku tasawuf utamanya memberikan spirit yang kuat dalam memberikan contoh para sufi-sufi yang dalam pencariannya terhadap makna hidup dapat dicontoh oleh mereka. Seperti yang ditulis (Thohari & M.Pd, 2021) dalam bukunya “Akhlak Tasawuf : Masyarakat Modern, Ajaran Tasawuf, Wali, Karamah dan Tokoh Sufi Nusantara” menegaskan tentang problematika masyarakat modern yang memberikan jalan keluar melalui pendekatan akademik dengan menghadirkan penjelasan konsep muhasabah, muraqabah dan musyahadah dalam membentuk insan kamil, konsep wali dan karamah, serta keteladanan tokoh tasawuf nusantara.
Kehampaan Masyarakat Modern
Melihat kenyataan betapa rapuhnya moralitas agama hari ini, tidak terbantahkan bahwa kemajuan Barat masih menempati garda depan atau lokomotif bagi belahan dunia lainnya. Buktinya, kita hidup pada zaman kebudayaan barat sangat dominan dan benar-benar mendominasi hampir seluruh aspek kehidupan kita. Tanpa kita sadari, kita berada di bawah hegemoni budaya barat, mulai dari cara kita berpakaian, bahkan juga model sisiran rambut, dan gaya kehidupan yang lain. Lebih dari itu, kita juga mengelola negara hampir semuanya di bawah pengaruh hegemoni budaya barat. Tanpa sadar, kita telah mengalami westernisasi dan terbaratkan.
Sikap masyarakat modern yang sangat agresif terhadap kemajuan, didorong oleh pelbagai prestasi yang dicapai oleh para ilmuan Barat dalam ilmu pengetahuan dan teknologi membuat masyarakat modern berusaha mematahkan mitos kesakralan alam raya. Semua harus tunduk atau berusaha ditundukkan oleh kedigdayaan rasionalitas. Realitas alam raya yang oleh doktrin-doktrin agama yang selalu dikaitkan dengan selubung metafisika dan kebesaran Sang Pencipta, kini hanya dipahami semata-mata sebagai jam raksasa yang bekerja mengikuti gerak mesin yang telah diciptakan dan diatur sedemikian rupa oleh Sang Maha Pencipta.
Dunia materi dan non-materi dipahami secara terpisah, sehingga dengan cara demikian masyarakat modern merasa semakin pongah, dalam arti tidak lagi memerlukan campur tangan Tuhan dalam menyelesaikan persoalan hidupnya. Hasilnya, masyarakat modern sangat agresif terhadap kemajuan. Modernisme yang berporos pada rasionalitas “harus dilakukan” telah mampu menghantarkan manusia pada berbagai prestasi kehidupan yang belum dicapai sebelumnya dalam sejarah umat manusia. Manusia modern pun semakin merasa yakin untuk mengucapkan selamat tinggal kepada Tuhan. Bersamaan dengan ditempatkannya manusia sebagai “pusat dunia” karena memiliki kekuatan logika dan rasionalitas, maka agama yang mendengungkan ajaran-ajaran irasional dengan sendirinya dipandang sisa-sisa sebagai budaya primitif.
Nilai-nilai teologis ini, pada gilirannya secara tidak disadari membentuk sistem ideologi di kalangan masyarakat teknologi yang mampu menggeser tatanan sistem nilai, etika, dan moralitas religius yang sudah mengakar sedemikian lama. Pergeseran nilai itu sendiri lebih banyak disebabkan oleh rasa puas mereka akan solusi-solusi praktis yang dihadirkan oleh teknologi, ketimbang nilai-nilai religius yang ada. Sehingga, pengultusan terhadap hasil teknologi pun tidak bisa terhindarkan. Pergeseran nilai-nilai religius itu sekaligus juga telah menempatkan hasil-hasil teknologi setingkat dengan apa yang dalam begawan sosiologi, Emile Durkheim, disebut Social Totem, yakni peralihan simbol ideologis baru secara sosial dari spiritualisme transendental menuju pragmatisme material.
Mereka teralienasikan dari Tuhannya, disebabkan terutama oleh prestasi sains dan teknologi. Ada juga yang teralienasikan dari lingkungan sosialnya; dan yang lebih dramatis lagi tentulah mereka yang teralienasikan dari Tuhan-nya dan sekaligus juga dari lingkungan sosialnya. Semua itu terjadi memang akibat gaya hidup serba materi di zaman modern yang menyebabkan manusia sulit menemukan dirinya dan makna hidupnya yang mendalam. Etos kesuksesan materialis sebagaimana menjadi pandangan manusia zaman modern telah menjadi berhala baru yang menghalangi manusia dari kemampuan menerima kenyataan yang lebih hakiki, yaitu kenyataan Ruhani, suatu kenyataan yang terpancar dari kesadaran akan kehadiran Tuhan dalam hidup manusia.
Kehampaan spiritual masyarakat modern salah satunya sebagai bagian dari dampak modernisme yang dibawanya, telah ditemukan berbagai permasalahan terhadap keutuhan hidup dunia dan segala isinya, apalagi terhadap alam. Pemahaman bahwa manusia adalah subjek kesadaran telah membawa akibat buruk pada apapun. Modernisme berdampak pada rusaknya keseimbangan tatanan ciptaan. Wajahnya yang tampak anggun nan kokoh dengan segala kecanggihan dan kemudahan yang disuguhkan modernisme, membawa pengaruh signifikan terhadap perkembangan kehidupan umat manusia di dunia. Meski manusia sebagai subjek berkesadaran dan bisa mengetahui semua kenyataan dengan rasionya; mampu menilai sesuatu dan selalu menjadi pusat pengetahuan, namun era ini tengah menjerumuskan manusia dalam krisis kehidupan yang kompleks dan bersifat global.
Banyak di antara mereka yang tengah mengalami disorientasi atau kehilangan arah. Tak ayal, mereka menjadikan dunia sebagai tujuan hidup (way of life), bahkan laku hidupnya ditujukan untuk dunia semata. Hal ini terjadi karena adanya pengaruh sekularisasi dan filsafat pragmatisme yang sudah cukup lama bersemayam ke jiwa mereka.
Pada kesempatan tersebut, modernisme memasuki wacana yang gagah karena bisa mengalahkan nilai agama sekaligus. Di titik inilah epistemologi tasawuf dan psikoterapi hadir, yang awalnya sangat ditampik karena tidak memiliki visi-misi materialisme dan kehidupan masa depan yang sejahtera.
Sementara itu, masyarakat menganggap ilmu pengetahuan dan teknologi sebagai kekuatan yang sedang meningkatkan gaya hidup hedonis dan pragmatis. Namun, alih-alih memberikan berkah berupa kemudahan material dan memperluas cakrawala pikiran, dampaknya adalah tergerusnya perhatian terhadap spiritual dan etika. Semangat modernitas mulai mengikis nilai-nilai kebenaran, kehormatan, dan etika yang sebelumnya menjadi pondasi setiap peradaban.
Sejak dibukanya kran pemikiran rasional oleh Rene Descartes (1595-1650) dengan pernyataan “Cogito Ergo Sum” (saya berpikir maka saya ada), menandakan sebuah gong babak baru dalam sejarah peradaban umat manusia yang sering disebut zaman renaisans (modern). Era ini lahir sebagai pencerah dan pembebasan (antitesis) dari hegemoni pemikiran sebelumnya yang disebut sebagai (dogma Gereja).
Sebagai antitesis, modernisme menawarkan paradigma baru yang ciri utamanya adalah humanisme, empirisme, rasionalisme, individualisme, dan terlepas (bebas) dari pengaruh agama. Artinya, manusia pada zaman ini tidak mau diatur oleh agama. Alhasil, standarisasi kebenaran acapkali merujuk pada pemikiran rasional- empiris-positivistik. Dan produk pemikiran ini lahir ilmu pengetahuan dan teknologi.
Sayyed Hossein Nasr misalnya, menyatakan akibat masyarakat modern yang terlalu mendewakan ilmu pengetahuan dan teknologi menjadikan mereka berada dalam krisis spiritual. Akibatnya, mereka mengalami kehampaan, kesenangan, disorientasi, ketidakbahagiaan, dan akhirnya bunuh diri ( Muhamad Basyrul Muvid, M.Pd, 2019)
Realitas ini ditandai oleh beberapa ciri yang mencolok. Pertama, penggabungan konsep etika dan epistemologi dengan dunia materi dan tubuh, dengan pandangan instrumental terhadap keduanya. Kedua, adanya diskontinuitas, di mana gaya hidup modern menggantikan atau bahkan menghilangkan pola hidup tradisional. Ketiga, posisi sentral realitas Ilahi (Tuhan) dicabut dari kehidupan manusia dan dunia.
Spiritualitas, tasawuf-psikoterapi sebagai jalan tengah
Akibatnya, spiritualitas, tasawuf (aspek keagamaan), dan psikoterapi (aspek ilmu modern) menjadi topik yang diminati dalam kajian akademik dan masyarakat modern. Mistisisme (tasawuf) dianggap menawarkan pemahaman yang lebih dalam daripada sains karena mampu mengakomodasi pandangan-pandangan lain. Sains, diwakili oleh ilmu psikologi, dapat membaca kondisi jiwa manusia. Tasawuf meyakini bahwa hakikat segala sesuatu hanya bisa dipahami melalui intuisi mistis dan proses penyucian jiwa, bukan hanya dengan penalaran dan argumentasi rasional seperti dalam ilmu psikologi.
Pertama, secara psikologis, tasawuf adalah hasil dari berbagai pengalaman spiritual yang membawa pemahaman langsung tentang realitas ketuhanan, seringkali membawa inovasi dalam pemahaman agama. Kedua, pengalaman spiritual seperti makrifat, ijtihad, hulul, mahabah, dan lain-lain, dianggap sebagai kehadiran Tuhan dalam diri manusia yang dapat memberikan keyakinan yang kuat dan menjadi motivasi moral untuk berbuat baik. Ketiga, dalam tasawuf, hubungan antara hamba dan Allah dibangun atas dasar cinta. Bagi seorang sufi, Allah bukanlah sosok yang menakutkan, melainkan sosok yang sempurna, indah, penuh kasih, kekal, benar, dan selalu hadir di mana pun dan kapan pun.
Dengan demikian, jelaslah bahwa kehadiran tasawuf di tengah kehidupan modernisme berupaya untuk mengobati penyakit yang melanda masyarakat modern (krisis spiritual), yang diakibatkan oleh paham modernisme dengan rasional-empiris dan positivis-nya yang lebih mendahulukan akal daripada spiritual. Karena tasawuf secara seimbang memberikan kesejukan antara keduanya sekaligus. Hal ini juga bisa dipahami sebagai instrumen pembentuk tingkah laku melalui pendekatan suluk, dan mampu memuaskan dahaga intelektual; Mengantisipasi arus modernisasi yang serba kompleks dan kompetitif ini. Selain itu berkembang pula kegiatan konseling dan psikoterapi yang memang bertujuan membantu seseorang menyelesaikan masalah, karena semua masalah pasti ada penyelesaiannya dan segala penyakit pasti ada obatnya. Peluang tasawuf dalam menangani penyakit-penyakit psikologis atas segala problem manusia, semakin
terbentang lebar di era global ini.
Terapi Tasawuf ini dapat disebut juga terapi psikospiritual atau psiko-religius atau religio psychotherapy. Religio psychotherapy cenderung disebut sebagai psikoterapi religius, yaitu penyembuhan penyakit melalui hidup kejiwaan yang didasari pada nilai keagamaan, tetapi tidak bermaksud mengubah keimanan dan kepercayaan pasien melainkan membangkitkan kekuatan batin pasien untuk membantu proses penyembuhan.
Untuk menangani konflik batin, yang biasa dilakukan oleh para psikoterapis terhadap kliennya antara lain hipnoterapi, neurolinguistic program dan spiritual thinking. Sedangkan secara Islam teknik yang biasa digunakan adalah takholli, tahlli dan tajalli. Dengan metode semacam ini, diharapkan bagi seseorang dapat menemukan solusi atas permasalahannya. Hal ini sering disebut dengan self therapy atau penyembuhan atas dirinya sendiri. Akan tetapi untuk penggunaan teknik pada setiap implementasinya berbeda-beda, tergantung dari masalah yang dialami.
Selain beberapa metode diatas ada salah satu metode lagi yaitu metode komunikasi quanta atau yang biasa disebut dengan istilah telepati hati. Dalam fisika quantum, telah ditemukan bahwa di balik semua yang ada di dunia (materi) sebenarnya hanyalah terdiri dari energy getaran (vibrasi) yang disebut dengan istilah quanta. Kesempurnaan manusia pada dasarnya merupakan rangkuman dari semua manifestasi dari quanta tersebut karena manusia memiliki sifat materi (dengan adanya tubuh fisik) dan sifat yang lebih tinggi dan agung (divine atau Ilahiah) dalam jiwa dan ruh-nya yang terwujud dalam pikiran dan perasaan manusia.
Melalui kesadaran manusia kembali kepada fitrahnya, yaitu kembali kepada sifat dan kecenderungan ilahiahnya. Oleh sebab itu, manusia bergerak menuju suatu tingkatan kesadaran yang semakin tinggi dan pada akhirnya berada dalam posisi parallel atau selaras dengan sumber materi yang lebih tinggi tersebut. Seandainya keselarasan itu terjadi, maka hal yang ada dalam alam materi dunia bisa terwujud bersama-sama terapi lainnya. Kondisi yang demikian ini memerlukan latihan batin dan perjalanan spiritual. Karena tanpa melalui jalur ini, mustahil hati dan jiwa manusia bisa menerima pancaran cahaya-cahaya suci. Wallahua’lam..
Yogyakarta, 2023.