Lompat ke konten

Indonesia Tak Benar-Benar Hadir Di Papua

Ilustrasi: Fizza Aqilla
Oleh: Muhammad Haidar Sabid A.*

Desember 2018 di Nduga, saat itu sa ada di dalam Mama punya perut. Hingga 2019, sa lahir pun dalam pengungsian dan sa punya nama PENGUNGSI. Sa bisa rasakan getaran di perut mama karena dia harus lari ke hutan, mama lari untuk mengungsi.
Maksimus Syufi, ESAI (I): Sa Punya Nama Pengungsi

Prelude

Masyarakat Papua telah lama hidup menjadi kelompok yang paradoksal; di satu sisi masyarakat Papua dianggap sebagai bagian integral Indonesia dan pada saat yang bersamaan juga dianggap sebagai kelompok liyan (The Other). Lebih jauh, masyarakat Papua dapat dikategorikan sebagai kelompok subaltern alih-alih hanya kelompok tertindas dalam pandangan Gayatri C. Spivak. Menurut Spivak, kelompok subaltern merupakan term spesifik yang ditujukan bagi kelompok tertindas (oppressed) yang dibatasi untuk mendapatkan akses dan representasi atas dirinya sendiri (Setiawan, 2018). 

Tentang Film “Sa Pu Nama Pengungsi”

Ada satu film pendek yang menurut saya dapat memberikan gambaran atas absennya negara Indonesia di Papua, film ini berjudul: Sa Pu Nama Pengungsi. Judul film ini jika dialihbahasakan ke dalam bahasa Indonesia berarti: “Nama Saya Pengungsi”. Nama ini—Pengungsi—benar-benar menjadi nama dari  dua orang anak yang lahir di tengah pengungsian dari kecamuk konflik bersenjata yang memperlihatkan bagaimana permasalahan ini merupakan permasalahan yang sangat serius dan membekas di benak masyarakat Papua. Film ini mengajak kita melihat pada kenyataan bahwa: ketika dua kekuatan militer saling berperang maka masyarakat sipil yang menjadi korban. Film ini mencoba menengok Papua dari sudut pandang masyarakat sipil yang tidak berdaya di antara dua kekuatan yang saling berperang: Indonesia melalui TNI-Polri dan kelompok pro-kemerdekaan Papua melalui TPNPB (Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat). 

Film ini memperlihatkan bagaimana masyarakat sipil (khususnya masyarakat sipil Papua di daerah Nduga, Wamena, Intan Jaya, Pegunungan Bintang, Puncak dan Maybrat) yang menjadi korban konflik berkepanjangan di tanah mereka. Banyak masyarakat Papua melakukan eksodus dari tanah kelahirannya menuju tanah yang asing akibat konflik bersenjata antara TNI-Polri melawan TPNPB. Eksodus ini telah mengakibatkan krisis kemanusiaan, dengan kelompok-kelompok rentan seperti masyarakat sipil, anak-anak, perempuan, ibu hamil dan orang tua lanjut usia menjadi korban. Masyarakat sipil yang mengungsi pun, tidak merasakan adanya peran negara yang mengayomi mereka. Mereka lari ke hutan tanpa kepastian, tanpa pengawalan dan sepertinya tanpa masa depan. Ini adalah bentuk pelanggaran HAM berat yang merenggut kebebasan dan masa depan masyarakat Papua di tangan pemerintah Indonesia yang militeristik dan berorientasi ekonomi. Singkatnya, film ini mencoba menunjukkan bagaimana kehidupan masyarakat sipil di Papua yang tinggal di wilayah konflik sekaligus wilayah penghasil uang bagi Indonesia.

Agaknya, pemerintah Indonesia memandang Papua hanya menjadi lahan eksploitasi dan perebutan wilayah tanpa memikirkan bahwa ada manusia yang tinggal di sana. Wajah pemerintah Indonesia di Papua adalah wajah garang yang ditampakkan melalui militerisme dan pendekatan represif, tanpa menunjukkan keseriusan untuk mengambil hati masyarakat Papua serta menyelesaikan permasalahan di tanah Papua. 

Film ini menunjukkan sebuah kenyataan pahit bahwa: negara tak begitu peduli dengan nasib masyarakat sipil Papua. Bisa dilihat bagaimana nasib rakyat Papua yang hidup layaknya kaum Nabi Musa yang terusir; terus berpindah-pindah, bereksodus dan tampaknya tidak menjadi perhatian utama pemerintah. Sikap apatis negara ini menunjukkan kegagalan pemerintah di Papua. Tidak adanya peran aktif negara dalam memastikan kesejahteraan masyarakat Papua ini sangat ironis, mengingat pentingnya wilayah ini telah menjadi aset ekonomi Indonesia dalam jangka waktu yang panjang. Selama bertahun-tahun, Papua telah menjadi sapi perah Indonesia dengan peran negara dalam menjaga kesejahteraan penduduk Papua yang nihil. Mungkin ada pembangunan infrastruktur—yang sarat kepentingan ekonomis—seperti Trans Papua dan semacamnya, namun fasilitas tersebut tidak sepenuhnya bisa dinikmati oleh masyarakat di Papua secara keseluruhan. Bila kita lihat di Papua, kondisi pendidikan, kesehatan, dan infrastruktur penunjang lainnya sering kali tidak memadai atau bahkan tidak ada. Berbagai kasus penganiayaan terhadap penduduk Papua dan kelompok-kelompok yang mengadvokasi hak-hak mereka juga sering terjadi yang menandakan abainya negara dalam menangani kasus kemanusiaan di Papua. Menghadapi pengabaian ini, masyarakat sipil Papua akhirnya mengambil tindakan sendiri, membentuk berbagai kelompok kolektif dan menumbuhkan sikap saling membantu antar sesama—tanpa peran negara. Singkatnya, negara tidak benar-benar hadir di Papua untuk mengayomi; mereka tak peduli dengan rakyat Papua—mereka hanya ingin kekayaan bumi Papua. Film ini memperlihatkan bagaimana negara hadir untuk mengeksploitasi dan melakukan penertiban secara serampangan di tanah Papua dari sudut pandang masyarakat sipil.

Dalam film “Sa Pu Nama Pengungsi,” tergambar dengan jelas bagaimana konflik bersenjata di Papua telah merusak kehidupan masyarakat setempat. Papua masih belum usai, dan masih banyak pekerjaan yang harus diselesaikan. Ada banyak hal yang harus dievaluasi dalam upaya melakukan ‘integrasi’ di tanah Papua dan ‘membangun’ Papua. Diperlukan berbagai langkah konkret untuk mencari jalan terbaik terkait hal ini. Pemerintah Indonesia harus mengambil tindakan tegas untuk menghentikan konflik bersenjata dengan berbagai pertimbangan yang harus dipikirkan matang-matang. Adalah hal yang sangat penting untuk melibatkan dialog dua arah dengan masyarakat Papua. Gayatri C. Spivak, menekankan urgensi untuk mengakui dan memberikan visibilitas terhadap suara-suara kelompok subaltern yang di dalamnya mencakup suara kaum marjinal, perempuan dan anak-anak (Louai, 2012). Kita perlu beralih dari melihat orang Papua sebagai objek yang harus ‘ditaklukkan’ menuju penerimaan atas kapasitas mereka untuk bertindak serta pemberian tempat dalam ranah diskursif untuk menyuarakan pandangan mereka.

Postlude: Tentang Subalternitas Papua

Istilah subaltern, pertama kali muncul dalam buku Prison Notebook karya Antonio Gramsci yang digunakan untuk menganalisis kelompok sosial yang tertindas dan terkucilkan di bawah hegemoni kaum elit (Green dalam Thapan, 2022). Lebih lanjut, menurut Spivak, istilah subaltern merujuk pada kelompok yang tidak hanya tertindas (oppressed) namun juga kelompok yang dibatasi untuk bersuara, tidak didengarkan suaranya atau mengalami kesulitan untuk merepresentasikan diri (Setiawan, 2018). Secara definisi, subalternitas berada dalam posisi epistemologis di bawah budaya dominan (Maggio, 2007). Menurut Spivak (dalam Maggio, 2007) ada kecenderungan bagi kelompok dominan untuk menyuarakan kelompok subaltern—seolah-olah kelompok subaltern tidak memiliki kemampuan berbicara ataupun ketiadaan kemauan bagi kelompok dominan untuk mendengar—yang pada akhirnya malah membuat sebuah distorsi dan kesan merendahkan bagi kelompok subaltern tersebut.  Jika dihubungkan dengan masyarakat Papua di Indonesia, maka akan terlihat keterkaitan yang kuat antara istilah subaltern ini dengan pengalaman yang dihadapi oleh masyarakat Papua dalam konteks Indonesia. Ada semacam bentuk dominasi hegemoni Indonesia bagian barat atas Indonesia bagian timur yang dianggap eksotis, mirip dengan kajian orientalisme cendekiawan barat atas negara-negara timur yang penuh dengan bias dan kecenderungan eurocentrism

Jika kita melihat sejarah pada era masyarakat kolonial, terdapat kecenderungan bagi kelompok dominan untuk membangun superioritas mereka melalui perlakuan yang tidak setara terhadap kaum terjajah dengan memposisikan kaum terjajah sebagai “the Other” atau kelompok liyan. Dalam paradigma kolonial masa lampau, praktik “meliyankan” ini membangun dan mempertahankan dinamika kekuasaan yang tidak setara antara masyarakat adat yang dijajah dan penjajah (yang didominasi oleh orang Eropa berkulit putih). Para penjajah membenarkan superioritas mereka dengan memandang masyarakat adat dan non-kulit putih sebagai ras yang lebih rendah atau inferior (Anugrah, 2019). Secara garis besar, praktik ini masih terus berjalan hingga saat ini, dimana masyarakat Indonesia—khususnya mereka yang tinggal di Indonesia bagian barat dan memiliki kulit yang lebih terang—masih memposisikan mereka yang berkulit cerah lebih tinggi daripada mereka yang berkulit lebih gelap (Oktaviani, 2022).

Masyarakat Papua yang memiliki perbedaan ciri fisik dengan kebanyakan masyarakat Indonesia, juga tak jarang dihadapkan pada diskriminasi atas dasar perbedaan warna kulit dan ciri fisik yang dikategorikan sebagai bentuk dari colorism (Oktaviani, 2022). Perlakuan seperti ini tidak bisa dilepaskan dari stigma yang melekat di masyarakat Asia Tenggara secara umum dan Indonesia secara khusus, mengenai perbedaan perlakuan dan stigma negatif pada individu dengan warna kulit lebih gelap dibandingkan individu yang memiliki warna kulit yang lebih terang sebagai peninggalan poskolonial di negara dunia ketiga (Oktaviani, 2022).

Pada akhirnya, masyarakat Papua mendapatkan representasi yang diskriminatif sebagai akibat prasangka yang telah mengakar di masyarakat Indonesia secara umum. Sebagai contoh, dalam penelitian yang telah dilakukan oleh Rato (dalam Christiani, 2017) menunjukkan bahwa di Indonesia dalam budaya pop sekalipun, seperti film, masih terdapat penggambaran diskriminatif terhadap masyarakat Papua sebagai masyarakat yang kekurangan secara materi, tidak cerdas, dan rawan konflik. Penelitian tersebut menunjukkan masih banyaknya narasi di ruang publik yang menggambarkan orang Papua secara diskriminatif, yang berimplikasi pada semakin kuatnya kesalahpahaman atas masyarakat Papua dalam persepsi publik.

Lebih lanjut, fenomena “meliyankan”, yang mencakup dinamika hirarkis antara kelompok mayoritas dan minoritas masih terus berlangsung di negara pasca-kolonial, seperti negara-negara di Asia Tenggara. Sebagai contoh, komunitas-komunitas yang terpinggirkan di objektifikasi dan didefinisikan dalam kerangka narasi identitas nasional, seperti penggambaran orang Papua yang lebih inferior (Anugrah, 2019). Jika dilihat secara cermat, istilah subaltern milik Gayatri C. Spivak dapat disematkan pada masyarakat Papua yang tertindas, baik secara fisik maupun secara epistemik. Masyarakat Papua seringkali tidak mampu merepresentasikan dirinya dan hanya mampu diwakilkan suaranya atas bentuk dominasi kelompok lain—yang dimana hal ini merupakan ciri daripada masyarakat subaltern menurut Spivak (dalam Setiawan, 2018).

Fenomena “meliyankan” ini, setidaknya muncul sejak era Orde Lama dan era Orde Baru. Kondisi ini muncul akibat ambisi ekspansif Indonesia untuk melebarkan cengkramannya sampai tanah Papua—meskipun jika dilihat pada sejarahnya telah ada deklarasi kemerdekaan Papua Barat pada 1 Desember 1961 yang bahkan telah disetujui oleh pemerintah kolonial Belanda (Saltford, 2003). Dalam ambisinya untuk ‘mengintegrasikan’ tanah Papua, Indonesia selalu menggunakan pendekatan konservatif dan berorientasi pada kekerasan dalam menangani masalah-masalah di Papua. Indonesia memandang orang Papua sebagai entitas terpisah yang perlu ditenangkan melalui tindakan kekerasan (Tong dalam Anugrah, 2019). Akibatnya, orang Papua mulai melihat diri mereka sebagai entitas yang terpisah dan teralienasi dari Indonesia. Dalam penelitian yang dilakukan oleh Supriyatno (dalam Anugrah, 2019) menunjukkan, meskipun pemerintah Indonesia pasca reformasi telah mengadakan program otonomi daerah yang disebut sebagai OTSUS (Otonomi Khusus) bagi provinsi Papua, program ini tidak mampu meraih seluruh lapisan masyarakat dan hanya menjadi sarana bagi-bagi kekuasaan bagi segelintir elit saja. Akibatnya, program yang dijanjikan membawa perubahan tidak membawa dampak yang signifikan dalam upaya ‘pengintegrasian’ masyarakat Papua dan pada akhirnya masyarakat Papua tetap menjadi kelompok subaltern yang liyan. Maka kita perlu mempertimbangkan langkah yang lebih dari sekedar ‘menembaki’ dan memaksa masyarakat Papua untuk ‘mengintegrasikan’ dirinya (secara paksa) dengan entitas bernama Indonesia. Telah lama masyarakat Papua dibungkam dan tak dibiarkan berbicara; maka dengan berani saya berkata: biarkan mereka memilih dengan suara mereka sendiri!

(Visited 132 times, 1 visits today)
*) Penulis merupakan mahasiswa Sosiologi 2023 FISIP Universitas Brawijaya dan staff magang Divisi Litbang LPM Perspektif

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Terbaru

Iklan

E-Paper

Popular Posts

Apa yang kamu cari?