Malang, PERSPEKTIF – Fakultas Hukum Universitas Widyagama bersama Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Kota Malang mengadakan diskusi bertajuk “Malang Nasibmu, Malang Tergenang: Bencana Ekologis sebagai Ancaman Tata Ruang Kota Malang” pada Sabtu (20/1). Selain berkolaborasi dengan AJI, diskusi ini juga menghadirkan perwakilan Malang Corruption Watch (MCW) dan Wahana Lingkungan Hidup (WALHI) Jawa Timur (Jatim). Melalui acara ini, penyelenggara berharap untuk bisa memberikan pemahaman maupun solusi atas permasalahan banjir di Kota Malang.
Perwakilan WALHI Jatim, Pradipta Indra Ariono membuka diskusi dengan menyoroti kaitan banjir yang tak hanya disebabkan oleh faktor alam, melainkan juga faktor manusia. Menurut Indra, salah satu penyebab banjir di Kota Malang adalah ketidaksesuaian tata ruang kota dengan target yang dicanangkan pemerintah.
“Dalam Undang-Undang (UU) No. 26 Tahun 2007 terkait Penataan Ruang, diamanatkan kalau suatu kota itu sebenarnya minimal punya 20 persen RTH (Ruang Terbuka Hijau, red) dari luas wilayah kota, begitu,” tuturnya.
Akan tetapi, pada faktanya kota Malang hanya memiliki 4 persen RTH publik, yang kemudian menimbulkan pertanyaan mengenai faktor penghambat realisasi ini. Pasalnya, RTH merupakan salah satu langkah penanggulangan air hujan, serta pencegahan banjir di kota Malang.
Ahmad Aji Susilo selaku Koordinator MCW kemudian menegaskan bahwa pemerintah masih perlu berbenah diri, salah satunya melalui kebijakan yang mengatur jalannya ruang di suatu wilayah.
“Di tahun 2022, kami menemukan ada ketidaksesuaian di soal pengadaan barang dan jasa tentang proyek drainase di kota Malang,” ucapnya menambahkan.
Melalui temuannya, Aji menjelaskan bahwa pengerjaan proyek tersebut seharusnya dapat diselesaikan pada akhir tahun tersebut, namun pelaksanaannya mundur hingga awal tahun 2023. Selain itu, pihaknya juga menemukan dugaan korupsi dari proyek-proyek pembenahan drainase yang dilakukan tersebut.
“Misalnya, ada pengadaan jalan kemudian drainase itu selalu saja (ada, red) pengurangan volume (ketebalan material, red),” imbuh Aji.
Kendati demikian, MCW belum bisa memastikan apakah terdapat pengurangan kualitas imbas penurunan volume tersebut. Pihaknya juga perlu melakukan investigasi mendalam secara kolaboratif untuk mengetahui dalang serta besaran nilai yang didapatkannya setelah mengurangi volume yang sudah dianggarkan.
Di sisi lain, perwakilan AJI Malang, Badar Risqullah menyoroti pilihan pemerintah untuk menitikberatkan anggaran pada bantuan pasca-bencana, daripada mitigasi bencana itu sendiri.
“Nah, salah satu mitigasinya, misalnya, edukasi ke masyarakat soal longsor, terus penanaman pohon, atau misalnya juga reboisasi hutan, apalah pokoknya kaitan-kaitan yang sifatnya mitigasi. Nah, itu dananya (anggaran dari pemerintah, red) kecil,” ungkap Badar.
Badar menyayangkan hal ini dan berharap agar pemerintah bisa lebih memfokuskan penanganan mereka ke dalam hal pencegahan. Selain itu, AJI juga menduga kalau hal ini berkaitan dengan praktik korupsi.
“Jadi, alasannya mereka (Pemerintah memberikan anggaran lebih banyak pada bantuan pasca-bencana, red), secara seremonial nggak ada bagi-bagi (Dana untuk dikorupsi, red) kecil juga. Tapi kalau bantuan, kan sudah nggak mikir laporannya apa, sing penting nominal ‘sekian’ dibuat untuk bantuan, kan selesai. Mungkin salah satu pilihan mereka karena nggak bisa bagi-bagi itu, mungkin ya,” pungkasnya. (bob/cns)