Lompat ke konten

Sebuah Akhir: Cinta Buta pada Sengatan Dergama

Oleh: Suci Dwi Febriyanti*

Cerita ini merupakan cerita bersambung dari cerita pendek LPM Perspektif yang berjudul “Dispersi dalam Depresi Jeruji: Berperang dengan Kepala” yang dapat diakses melalui tautan berikut https://lpmperspektif.com/2023/11/05/dispersi-dalam-depresi-jeruji-besi-berperang-dengan-kepala/

***

Tulisan ini mengandung unsur yang mampu mengganggu kenyamanan pembaca dengan memuat adegan seputar keputusasaan, depresi, dan bunuh diri. Diharapkan kebijakan pembaca dalam membaca tulisan ini.

***

“Hei hei hei! Berisik! Sudah diam sana! lebih baik kau makan ini,”  sipir itu membuka pintu penjara lalu menyodorkan baki berisi segelas air minum dan sepiring nasi yang sudah kering dengan 2 buah tahu. 

“Aku akan kembali lagi setelah ini, jadi makanlah,” sambung sipir itu, lalu menutup pintu penjara lagi dan kemudian pergi. 

Aku mendorong tubuhku ke sudut ruangan, tidak mau menyentuh apa yang telah diberikan sipir. Aneh. Kenapa ia masih memberiku makan padahal aku akan dihukum mati sebentar lagi? Kenapa tidak dimatikan saja aku sekarang? Toh, mati kelaparan akan jauh lebih baik dan menyiksa dengan tubuhku yang membusuk kering kerontang di dalam sel. Lagipula, untuk sekadar bernafas saja aku sudah enggan, apalagi makan. Aku sudah tidak punya tenaga untuk itu. Namun, tiba-tiba perutku terasa kram, sakit sekali sama seperti di injak polisi beberapa hari yang lalu, kurangkul perutku yang sudah mengecil itu dan menahan getaran rasa lapar. Entah mengapa karena rasa sakit itu suara-suara yang aku dengar tadi tidak muncul lagi, berganti dengan suara dengung yang memekakkan telingaku. 

Ngiiiiingg… 

Telingaku sakit, perutku sakit, aku hanya bisa meringkuk dalam segala kesakitan.

“Apakah aku memang akan berakhir sebentar lagi?” Pikiranku mulai kabur dan segalanya terasa gelap. 

“Aku mencintaimu.” Itu suara Kinan. Semacam dibawa dengan teleportasi, dalam sekejap aku kembali ke suasana sore hari itu. Kinan menyatakan cinta kepadaku dan dengan hati yang bergejolak aku menjawabnya 

“Aku juga mencintaimu, Kinan,” kami berdua pun menaiki motor bersama-sama untuk pulang dengan perasaan kasmaran yang terasa teramat manis seperti gulali di genggaman Kinan. Kinan memelukku dari belakang sembari bercerita tentang banyak hal di sepanjang jalan. 

Jeduak!

“Bangun tukang cabul! Aku menyuruhmu untuk makan bukan untuk tidur seperti ini, sia-sia saja aku mengantarmu makanan.” 

Sipir sialan! dia menendang kepalaku layaknya bola sepak dengan sepatu tebalnya itu membuat kepalaku yang sedari tadi pening menjadi semakin sakit. Benci sekali. Ia juga membangunkanku dari mimpi terbaikku, Kinan yang ku rindukan, Kinan yang teramat aku cinta. Bahkan jika Tuhan mampu mengabulkan impian aku yang teramat berdosa sebelum aku mati, aku sangat berharap bisa bertemu lagi dengan Kinan di mimpi karena aku tahu akan sangat mustahil jika meminta Kinan hadir dan bertatap muka denganku lagi.  

“Hei, Cabul! Ayo kita pergi, aku masih ada urusan denganmu,” seru sipir itu dengan mata melotot.

Tubuhku dipaksa berdiri dan diseret entah kemana. Tempat apalagi yang akan aku masuki? Kandang babi? Aku sudah tidak peduli karena sudah lelah bergonta-ganti tempat tidur yang semuanya sungguh menyiksa tulang belakangku. Aku menatap sekelilingku ketika Sipir berhenti di depanku. Aku tiba di ruangan penjara yang sebelumnya, dimana ruangannya cukup luas dengan ada satu meja di tengah dengan lampu gantung yang redup diatasnya.

“Duduk!” Si sipir mendorong tubuhku ke kursi.

“Baca ini, surat dari ibumu,” ia kemudian melemparkan sebuah amplop dan aku mulai membukanya.

“Hai nak, apa kabar kamu di sana? Maaf jika ibu tak pernah menjengukmu meskipun ibu tau kamu sangat menderita di sana, ibu tak sampai hati untuk meninggalkan ayahmu di sini. Ayahmu sudah melarang ibu untuk melihatmu atau bahkan sekedar mengingatmu. Tapi percayalah ibu akan selalu mendoakanmu, karena kamu adalah anak ibu yang paling ibu sayangi.” 

Ahh sial! Aku hampir saja melupakan satu-satunya yang semestinya aku ingat setiap hari. Aku memang anak yang tidak berguna dan bisanya hanya merepotkan semua orang saja. Dasar bajingan sialan. Bedebah. Kenapa yang aku pikirkan hanya wanita yang tak mungkin bisa aku gapai. Membuat aku semakin terjerumus ke dalam dosa yang aku perbuat dan sekarang juga menjadi penentu dari akhir hidupku. 

“Sudah dibaca? Bagus. Aku tinggalkan kau disini sebentar karena beberapa menit lagi komandan akan datang untuk memeriksamu kembali sebelum eksekusi mu,” sipir itu kemudian mengunci pintu dan langkah suaranya makin menjauh. 

Aku menatap langit-langit. Aku melihat lampu yang sudah setengah menyala itu kemudian berganti dengan melihat lubang penjara yang ada di atas sana. 

Kamu lihat apa yang telah kau perbuat? bukan hanya hidup wanita itu yang sudah rusak, tetapi juga keluargamu. Ayahmu semakin tua dan ibumu juga mulai lemah. Anak mana yang rela meninggalkan kedua orang tua nya seperti itu?

Ahh, benar juga ya. Aku memang tidak berguna. Hidupku sudah hancur dan tidak ada yang mau untuk melihatku lagi. Ayahku sudah membenciku dan ibuku juga akan melupakanku. Aku sudah tidak punya siapa-siapa lagi. Apakah mereka akan lega apabila aku mati saja sekarang? Aku tidak perlu menunggu terlalu lama hingga polisi menghabisiku. Llagipula siapa yang akan peduli jika aku mati kapan pun itu? 

Aku melihat ke sekeliling lagi, mencari cari apa yang cocok untuk dijadikan alat menghabisi diri. Tidak ada benda tajam untuk digunakan, tapi sebentar.

Aku kemudian menatap langit-langit sekali lagi, lampu gantung itu cukup panjang untuk digunakan. Aku pun naik ke atas meja dan dengan sekuat tenaga aku tarik kabel lampu itu sambil merasakan sengatan listrik yang masih mengalir namun aku tidak peduli, aku sudah mati rasa. Akhirnya kabel tersebut putus dan seketika lampu yang ada di ujungnya mati. 

Lalu apalagi? Dimana tempat yang cocok? Ah, benar. Lubang penjara di atas sana. Ku seret kursi yang ada disana dan mulai mengikat simpul dari kabel ke jeruji dan bersiap-siap untuk memasukkan kepalaku ke dalamnya. 

Tuhan. Aku sudah siap untuk mati hari ini. Semoga orang yang menyayangiku akan melupakanku dengan tenang. Tolong berkati aku sampai aku di neraka sana. Sambutlah aku dengan teriakan para pendosa yang terbakar kobaran api. 

Aku kemudian memasukkan kepalaku dan ku tendang kursi yang menopangku sehingga sekarang yang bergantung adalah aku dengan ikatan kabel itu. Tak lama simpul itu langsung menjerat leherku dengan erat. Ah, aku masih bisa merasakan aliran listrik yang tersisa masuk ke dalam tubuhku. Leherku mulai panas dan nafas ku mulai berat. Aku merasakan cengkraman semakin erat dan kepalaku mulai pusing. 

Sial, di ujung nyawaku tiba-tiba aku mengingat kejadian hari itu. Aku tidak pernah menyentuh Kinan seumur hidupku apalagi melecehkannya. Benar malam itu kakaknya lah yang memaksanya untuk masuk ke dalam kamar, lalu kenapa ia menuduhku? Apakah dia sudah tidak mencintaiku lagi? Apakah dia membenciku karena tak bisa menyelamatkannya? Aku melihat kedua tanganku sekali lagi, namun kepalaku terasa sakit. 

Sekejap aku melihat bayangan Kinan di ambang pintu penjara dan ia melihatku dengan tatapan yang sedih, kemudian penglihatanku kabur lagi. Sampai akhirnya semua terasa gelap, maafkan aku yang tidak bisa menjagamu, Kinan. 

Tamat.

(Visited 65 times, 1 visits today)
*) Penulis merupakan mahasiswi jurusan Ilmu Pemerintahan FISIP Universitas Brawijaya angkatan 2022. Saat ini sedang aktif berproses sebagai staff magang di Divisi Sastra LPM Perspektif.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Terbaru

Iklan

E-Paper

Popular Posts

Apa yang kamu cari?