Malang, PERSPEKTIF – Kementerian Advokasi dan Kesejahteraan Mahasiswa Badan Eksekutif Mahasiswa Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Brawijaya (Advokesma BEM FISIP UB) menggelar sebuah acara yang bertajuk “Hearing Dekanat dan Kita (Hirarki) Vol 1” pada Sabtu (13/5) secara virtual. Diskusi ini dilakukan untuk menampung aspirasi mahasiswa dan menyediakan kesempatan kepada pihak dekanat untuk menjawab keresahan mahasiswa mengenai program Mahasiswa Membangun Desa (MMD).
Robin Yustan, salah satu koordinator desa dalam program MMD mengungkapkan kenyataan yang ada di lapangan. Ia beserta rekan-rekannya banyak menemui tantangan dan kesulitan dari ketentuan pelaksanaan MMD. Robin menyatakan tanggapan dari pihak dekanat yang hanya berdasar kepada skenario terbaik dan tidak melibatkan skenario terburuk yang banyak dihadapi oleh peserta MMD.
“Beberapa mahasiswa itu banyak di kelompok kami yang tidak mampu, yang bahkan mereka masih berpikir untuk biaya hidup sehari-hari. Namun, mereka terintimidasi karena masih harus memenuhi keperluan-keperluan untuk pemenuhan MMD,” cerita Robin.
Selanjutnya, Robin juga memprotes ketentuan MMD yang melarang mahasiswa untuk membawa dan menggunakan kendaraan pribadi selama masa berlangsungnya MMD. Padahal, menurutnya, penggunaan kendaraan pribadi dapat meringankan jumlah biaya yang harus dikeluarkan.
“Kita dilarang membawa kendaraan pribadi selama pelaksanaan MMD, dengan alasan supaya mahasiswa aman di sana. Padahal selama survei, mahasiswa tidak ada larangan untuk menggunakan kendaraan pribadi dengan masalah keamanan,” jelas Robin.
Menanggapi hal tersebut, Koordinator MMD FISIP UB, Dhanny Septimawan Sutopo menjawab mengenai larangan kendaraan pribadi selama masa berlangsungnya MMD. Menurutnya ketika di satu hari yang sama akan banyak kendaraan yang melakukan mobilisasi maka tingkat resikonya semakin tinggi dan itu yang dihindari.
“Ketika survei manakala itu beresiko biasanya ada dibeberapa wilayah koordinatifnya tidak harus ke lokasi. Bisa berkomunikasi meskipun itu masih membutuhkan persyaratan lain bagaimana melakukan koordinasi secara efektif, apa yang harus disiapkan dan seterusnya. Tapi kalau accessible, beberapa daerah yang saya tahu, DPL (Dewan Pembimbing Lapangan, red) mengizinkan untuk menggunakan transportasi tadi karena pertimbangannya tingkat mobilisasi,” tutur Dhanny.
Ia juga menambahkan bahwa untuk jawaban konkret bisa didiskusikan bersama dalam rangka mencari solusi, serta melakukan koordinasi lebih intens. Apabila masalahnya berada di wilayah yang sama, maka bisa langsung berkoordinasi.
“Sehingga ini bisa jadi pelajaran mengeliminir atau mereduksi, saya tidak bisa menjawab semuanya di momen seperti ini, tapi monggo saya membuka waktu kalau memang ini harus diselesaikan secara parsial di wilayah yang bersangkutan, saya akan bantu untuk memfasilitasi, ini yang bisa sampaikan,” ucapnya.
Terakhir, mahasiswa berharap diadakannya dialog dan diskusi terbuka dengan pihak rektorat, serta menjawab pertanyaan-pertanyaan seputar keresahan mahasiswa yang belum terjawab, seperti ancaman kekerasan seksual selama berlangsungnya MMD, konversi Satuan Kredit Semester (SKS), dan program pengganti MMD. (mag/as/uaep)