Lompat ke konten

Persepsi Kurung Batang

Ilustrasi oleh Fizza Aqilla
Ilustrasi oleh Fizza Aqilla
Oleh: A. Djoyo Mulyono*

Dulmajid sangat senang setelah dirinya dinyatakan lolos seleksi Perguruan Tinggi Negeri melalui SNMPTN di Universitas Negeri yang ada di Jawa Timur. Pasalnya, masuk perguruan tinggi negeri tanpa tes sifatnya untung-untungan, terlebih lagi dirinya yang setiap pembagian rapot tidak pernah masuk peringkat 5 besar di kelasnya, malah kini masuk perguruan tinggi negeri. Hal itu terbukti, temannya, Anwar dan Siti Magfiro yang telah menjuarai Olimpiade Sains Nasional, malah tumbang tak secemerlang nasib Dulmajid lantaran mereka telah salah memilih fakultas bukan pada bidang keahliannya.

Kini dirinya telah masuk perguruan tinggi negeri, orang tuanya sangat bangga dengan apa yang telah dicapainya. Sesekali, tetangga yang pada sebelumnya kurang menyukai Dulmajid telah terpaksa membungkam mulut atas apa yang telah dicapainya saat ini. 

“Kalau di Jawa Timur, itu berarti kamu akan merantau dan bergaul dengan Orang Jawa, Jid.” Kata bapaknya dengan keretek yang masih menyantol di mulut. 

“Iya, Pak, lumayan jauh juga.” jawab Dulmajid, ragu.

 “Tenang, ayahmu dulu banyak bergaul dengan Orang Jawa, mereka itu semua ramah.”

“Syukurlah kalau begitu, mudah-mudahan saya bisa menyesuaikan diri di sana.”

“Kuncinya bergaul dengan mereka hanya satu, yaitu jujur!” tambah ayahnya sambil menghembuskan asap keretek ke udara.

***

Terlahir dari keluarga buruh tani di desa merupakan takdirnya, di mana penghasilan yang sifatnya musiman. Sedangkan tinggal di lingkungan tetangga yang selalu ingin tahu nasib orang lain juga merupakan nasibnya, di mana salah atau membuat suatu hal yang memalukan keluarga akan berujung di mulut tetangga. 

Hidup dengan penuh keprihatinan membuat Dulmajid belajar akan keberadaan diri dan langkah apa yang seharusnya ia lewati. Rupanya, kebahagiaan yang telah didapatkan setelah pengumuman kelulusan masuk Perguruan Tinggi Negeri tidak dapat berlangsung lama seperti anak-anak kuliahan seumurannya yang dapat bebas bergaul setelah mata kuliah usia, atau malam setelah senja tiba untuk nongkrong-nongkrong di cafe layaknya anak kuliahan pada normalnya.   

Untunglah, dengan keadaannya yang seperti itu, rumah kos yang ditempatinya selama ini dimiliki oleh orang yang rasanya tepat dengan keadannya. Pak Bambang, selain merupakan tokoh masyarakat lantaran jasa orang tuanya yang sangatlah baik kepada tetangga sejak muda sangatlah disegani oleh banyak orang sekitar kelurahan setempat. Konon, bahkan sampai di masa senjanya, uang pensiunan milik orang tuanya masih sering dikasihkan pada keluarga tetangga yang membutuhkan dengan kehendaknya sendiri. Namun, bukan berarti Pak Bambang juga tidak sama sekali memiliki jasa, Pak Bambang merupakan seorang RW 3 Periode pemilihan dengan hasil yang sama, bukan masalah kebetulan, tapi memang seluruh warganya banyak yang mendukung dan percaya dengan keluarganya lantaran kebaikan orang tuanya di masa lalu.

Seorang RW di kota sebesar itu bukanlah sama seperti RW yang ada di kampung halaman Dulmajid. Jika di kampung RW adalah sama halnya dengan Kuwu, atau kepala Desa, jadi sudah barang tentu Pak Bambang merupakan bagian pejabat negara tingkat Kelurahan. Benar saja, tidak hanya menjadi orang yang cukup berpengaruh, ternyata Pak Bambang juga secara mendominasi telah memimpin pembangunan Mushola yang sangat membantu masyarakat sekitar. Maka ketika dimintai Dulmajid untuk ikut tinggal di kosan miliknya dengan harga murah merupakan sebuah tabiatnya yang sangat baik dan bisa dikatakan turun temurun dari orang tuanya yang suka menolong orang, lebih-lebih orang perantauan.

“Kalau kita berbuat baik dengan orang jauh, pasti anak saya nanti ketika tinggal di tempat orang, akan ada yang memberikannya kebaikan juga!” Ujar Pak Bambang membocorkan prinsip orang tuanya.

Subhanalloh.. Luar biasa sekali pandangannya, Pak.”

Mendengarnya begitu, Dulmajid semakin yakin dengan apa yang diucapkan bapaknya sebelum berangkat ke kota yang dituju, bahwa roang Jawa banyak Orang Baik, yang penting dirinya selalu jujur dalam setiap tindakan dan perbuatannya.

“Saya ucapkan terima kasih banyak atas bantuan bapak, dengan saya diterima tinggal di tempat kos bapak, saya merasa sangat terbantu untuk tetap menjalani kuliah di kota ini, Pak.” kata Dulmajid dengan ditambah sedikit anggukan kepala selama bicara.

“Yah, sama-sama, gak apa hanya untuk memenuhi listrik saja, mahasiswa sudah banyak bertapa, jangalah ditambah susah.”

“Terima kasih banyak, Pak.. Terima kasih..” 

*** 

Setelah kurang lebih Empat Bulan dilalui, kini Dulmajid telah melewati satu semester dengan penuh kegelisahan dan kecemasan hidup yang telah banyak memenuhi kepalanya. Bagaimana tidak, di usianya yang telah genap 21 tahun masih belum bisa membantu orang tua, lebih-lebih yang membuatnya semakin gelisah, jika dibandingkan anak seusianya telah bekerja dan sukses di perusahaan atau pabrik-pabrik di Kota Industri bahkan ke luar negeri, cukup hanya dengan modal ijazah SMK. Sedangkan dirinya, mau menunggu apa jika kelak ijazah sarjananya hanya dapat menghasilkan uang yang tidak lebih besar dari temannya yang hanya lulusan SMK.

Sesaat mengingat dukungan orang tua yang berharap banyak pada dirinya sebagai anak laki-laki, begitu banyak risiko yang telah diambil oleh orang tuanya termasuk tidak dapat menerima uang gaji dari anak laki-lakinya, tidak seperti tetangga yang lain ketika anaknya memutuskan untuk bekerja. Orang tuanya sering berpesan pada dirinya, bahwa tugasnya menjadi orang tua adalah memberinya pendidikan, “Jangankan uang, kulit jika tidak sakit kemungkinan akan Bapak berikan demi kepentingan sekolahmu, Nak!”. Ucapan semacam itu terus berkelindan memenuhi kepala dan tatapannya sembari menunggangi sepeda motor yang telah meminta jajan di bengkel untuk mengganti salah satu onderdil baru di bagian roda belakangnya setelah pulang kerja.

Memasuki libur semester, Dulmajid memang baru saja diterima kerja di salah satu toko kue Oleh-oleh Kota Pahlawan. Jadi dengan begitu, keperluan apapun yang menyangkut kepentingannya selama bekerja ia penuhi tanpa ada batasan menghemat uang pegangan, hal itu ia lakukan karena pikirnya kedepan tiap bulan akan mendapatkan uang gaji dari apa yang ia kerjakan sekarang, tidak demikian saat dirinya menjalani semester awal.

Sepulang dari bengkel, yang seharunya pulang lewat jalan biasanya, kini Dulmajid pulang dengan melalui jalan arah sebaliknya karena dinilai lebih dekat dari tempat bengkelnya mengganti onderdil sepeda motor. Di depan, jalan menuju rumah kosnya tampak telah dipalang sederhana dengan kursi panjang sehingga sepeda motor masih dapat dilewatinya, melihatnya seperti itu Dulmajid masih kebingungan ada acara apakah gerangan di rumah dekat tempat kosnya? 

Dari jarak yang mulai mendekat, terdapat beberapa bapak-bapak yang juga tampak memenuhi jalan dekat palang kursi sebelumnya, Dulmajid semakin memelankan laju sepeda motornya dengan terus waspada, ada kegiatan apakah yang sebenarnya terjadi. Dirinya ingat betul, selain harus jujur hidup di lingkungan perantauan, tapi juga harus sopan santun agar bisa disebut “bisa nitipna awak” seperti yang pernah dikatakan bapaknya sebelum berangkat merantau.

Melaju dengan sangat pelan dan mulai terus menerobos kerumunan bapak-bapak dengan kepala terus dianggukkan, rupanya belum dapat menyadarkan Dulmajid dengan kondisi yang terus diwaspadainya itu. Hingga pada akhirnya, sontak dirinya terkejut ketika melihat ada kurung batang yang bertengger di salah satu rumah warga lengkap dengan perlatan pemakaman lainnya. Dengan cepat dirinya berpikir harus berbuat apakah bila nyatanya ada warga yang meninggal tapi sepeda motornya menerobos seakan tidak mau tahu, dengan sigap Dulmajid langsung mengangguk-anggukkan kepalanya lebih dalam dan mengucapkan; “Amit.. Pak.. Amiit..”.

Amit.. Pak.. Amiitt..” 

Terus saja Dulmajid mengucapkannya sepanjang melewati rumah warga yang sedang berduka itu. Beberapa Bapak-Bapak ada juga yang memaklumi ketidaktahuannya telah melewati jalan tersebut. Namun meskipun demikian, Dulmajid sangat merasa bersalah dan takut bagaimana jika ada warga yang tidak suka dengan perlakuannya, sudah hanya pendatang tapi tingkahnya tidak sopan. Atau yang lebih parah, ia mendapatkan makian kasar oleh warga yang tidak terima dengan tindakan yang benar-benar tidak sama sekali ia sadari pada sebelumnya.

Benar saja, setelah melewati kira-kira 5 meter dari kerumunan bapak-bapak yang sedang bertakziah itu, umpatan dengan lantang terdengar pada telinga Dulmajid yang masih dalam menganggukkan kepalanya; “Wahh.. Goblok!!”.

“Gobblllookk!!” ujar salah satu bapak-bapak yang sebelumnya sedang duduk mengamati Dulmajid selama melewati rumah warga yang sedang berduka dengan tidak sopan.

Kirik!!” Maki Dulmajid dalam hati.

Benar saja pikirnya, Dulmajid telah menyesal dan kecewa dengan dirinya sendiri, mengapa dirinya telat menyadari kalau jalan yang telah dipalang sederhana dengan kursi itu sudah pasti ada sesuatu yang penting tapi masih saja dilalui. Dia juga kecewa dengan dirinya, sejauh ini telah menjaga perilakunya, tapi ada saja yang menodai citranya yang selama ini ia rawat dari awal merantau, apalah kata bapak-bapak itu barangkali, seorang mahasiswa tidak mencerminkan seorang terpelajarnya.

Secara logika memanglah dirinya tampak tak beradab, bagaimana mungkin orang dalam gang yang sedang berduka dikerumini pentakziah kemudian seperti sengaja tidak peduli dilalui sepeda motor. Maka tak heran ada saja orang yang tidak terima dengan perlakuannya itu. Orang yang demikian adalah orang yang barangkali memiliki perasaan yang mendalam ikut turut merasakan kesedihan orang lain di sekitarnya, maka sedikit saja ada orang yang meremehkan perasaan bersama itu, dirinyalah yang maju paling depan membelanya.

Dengan tanda palang kursi dipasang tengah jalan, beberapa kursi juga ada yang telah ditempatkan, serta kurung batang yang telah bertengger di depan rumahnya, kurang apalagi Dulmajid untuk tidak cepat menyadari apa yang sedang terjadi. Kiranya pantaslah jika ada yang memaki Dulmajid atas perlakuannya, karena tidak sampai hati rasanya menaiki sepeda motor sedangkan kurung batang tetangga telah berada di depan suatu rumah yang berduka.

Dulmajid benar-benar sangat menyesal, jika saja tidak terlambat mengetahuinya dengan melihat kurung batang, ia bisa mematikan sepeda motor dan menuntunnya selagi melewati rumah warga yang sedang berduka itu, atau bisa juga putar balik mencari jalan lain agar tidak mengganggu para pentakziah yang mulai berdatangan. Dengan kejadian demikian, Dulmajid mulai meragukan apa yang telah diceritakan bapaknya mengenai Orang Jawa. Pengalaman bertahun-tahun bapaknya tinggal di Bandung dengan Orang Jawa yang konon tidak perhitungan serta sudah dianggap seperti anak saudara sendiri menjadi terkesan mengibul.  

Setelah telinganya habis dibakar makian warga dan sampai, Dulmajid menanyakan kepada Pak Bambang yang kebetulan berada di tempat kosnya mengenai warga yang sedang berduka itu, Dulmajid juga menceritakan tentang dirinya yang mendapatkan perlakuan kurang mengenakkan dari Bapak-Bapak petakziah.

“Jangan dimasukan hati, Pemuda itu memang suka mabuk-mabukan!”

Pak Bambang memahami betul Bapak-bapak yang dimaksud oleh Dulmajid itu siapa, dia adalah Sutono, Pemuda yang memiliki loyalitas tinggi pada kawan dan lingkungan, namun beberapa kali dengan perbuatannya sendiri, tidak sedikit warga yang terganggu. Konon, dirinya adalah orang baik dan loyal, tapi terkadang ia tidak dapat mengontrol dirinya sendiri akibat terlalu banyak pengaruh alkohol.

Surabaya, Januari 2023

(Visited 146 times, 1 visits today)
*) Kelahiran Cirebon, 1999. Tinggal di Surabaya menulis fiksi dan non-fiksi, menjadi mahasiswa  Pascasarjana Unesa dan Pengajar di SMA Hang Tuah 4 Surabaya. Penulis bisa dihubungi pada @agungdjoyo.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Terbaru

Iklan

E-Paper

Popular Posts

Apa yang kamu cari?