Malang, PERSPEKTIF – Himpunan Mahasiswa Ilmu Politik dan Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas Brawijaya (UB) menyelenggarakan diskusi “Seremoni September Hitam: Bulan Kelam Kasus Pelanggaran HAM” pada Selasa (20/9). Bertempat di Gazebo Gedung C FISIP UB, acara ini bertujuan membahas kasus pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) di masa lampau, seperti kasus pembunuhan aktivis Munir Said Thalib yang sedang diproses menjadi kasus pelanggaran HAM berat.
Diskusi turut mengundang Suciwati sebagai Isteri Munir Said Thalib, Dermawan Tandeang dari Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Surabaya Pos Malang, dan Dhia Al Uyun, Akademisi Fakultas Hukum UB.
Mengawali pembahasan, Suciwati menyatakan kasus pembunuhan Munir 18 tahun lalu bukan kasus pidana biasa sehingga tidak bisa dikatakan kadaluarsa. Kini, kasusnya telah ditangani oleh Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) yang sudah membentuk Tim Ad Hoc (dibentuk untuk tujuan tertentu) guna memproses kasus Munir menjadi pelanggaran HAM berat. Meski demikian, ia berujar jika pembentukan tim tersebut terlambat.
“Dua tahun yang lalu kita sudah minta ke Komnas HAM untuk memutuskan kasus ini (pembunuhan Munir, red) sebagai kasus pelanggaran HAM berat, dan ini memang diulur-ulur karena tidak ada sistem yang harus melalui kajian bertingkat baru membuat Tim Ad Hoc ketika komisionernya (Komnas HAM, red) akan habis masa jabatan,” tuturnya.
Selaras dengan Suciwati, Dermawan Tandeang mengatakan kasus Munir sudah jelas merupakan kasus pelanggaran HAM berat karena instrumen negara dilibatkan dalam proses pembunuhannya. Berkaca dari Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000, suatu kasus dapat dikatakan pelanggaran HAM berat jika dilakukan secara meluas dan sistemik. Menurutnya, kasus Munir telah memenuhi syarat-syarat tersebut.
“Ada pola sistemik yang dilakukan alat kelengkapan negara untuk menghilangkan nyawa Munir yakni dengan matinya semua CCTV (Closed Circuit Television, red) di bandara, pemindahan jadwal penerbangan Pollycarpus (terdakwa pembunuhan Munir, red), sampai adanya fakta persidangan bahwa Pollycarpus sempat melakukan kontak telepon dengan salah satu anggota Badan Intelijen Negara (BIN). Ini adalah sebuah rangkaian yang disusun secara sistemik,” jelas Dermawan.
Dhia Al Uyun, dalam materinya menyampaikan pembentukan Tim Ad Hoc oleh Komnas HAM seolah-olah telah menyelesaikan kasus pembunuhan Munir. Padahal, pembentukan tim tersebut terkesan mengulur-ngulur waktu karena sedari awal sudah sangat jelas kalau kasus ini memenuhi syarat sebagai pelanggaran HAM berat. Ia juga berharap para akademisi sebagai jantung masyarakat untuk tidak takut menyuarakan kebenaran seperti mendiang Munir.
“Munir boleh mati, tapi Munir-Munir yang lain akan tumbuh,” kata Dhia menutup pemaparannya. (gra/los)