Malang, PERSPEKTIF – Pada Senin (23/5) lalu, tersebar berita yang menarik banyak perhatian publik khususnya di daerah Kota Malang. Berita tersebut tak lain mengenai penangkapan salah seorang mahasiswa oleh Detasemen Khusus (Densus) 88 Anti Teror dari sebuah kos di Perumahan Dinoyo Permai, Dinoyo, Kecamatan Lowokwaru, Kota Malang. Pasalnya, mahasiswa tersebut terindikasi menjadi simpatisan Islamic State of Iraq and Syria (ISIS) dengan cara ikut dalam pengumpulan dana kepada organisasi tersebut. Meski demikian, pada waktu penangkapan, identitas dari mahasiswa tersebut masih belum diketahui.
Akhirnya pada Rabu (25/5), Wakil Rektor (WR) III Universitas Brawijaya (UB), Abdul Hakim, melangsungkan Konferensi Pers dengan tajuk “Universitas Brawijaya Bekali Pendidikan Deradikalisasi Sejak Mahasiswa Baru”. Dalam Konferensi Pers ini, ia mengakui bahwa mahasiswa tersebut berinisial IA dan merupakan mahasiswa aktif UB, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP), Program Studi Hubungan Internasional (HI) angkatan 2019.
Melansir dari detik.com, Abdul Hakim mengaku sangat prihatin dan menyayangkan kejadian penangkapan mahasiswa tersebut. Ia lalu berujar bahwa pihak kampus sedang mengumpulkan informasi terkait kegiatan IA di dalam maupun luar UB.
Abdul juga menyebutkan terdapat ketidakmampuan dari pihak kampus untuk melakukan pengawasan secara total kepada lebih dari 60 ribu mahasiswa. Satu hal yang hanya bisa dilakukan oleh pihak kampus adalah menerapkan kebijakan agar setiap kegiatan kemahasiswaan harus seizin dari rektorat atau dekan.
“Dengan kasus ini, kami akan memperkuat lagi pengendalian dan pengawasan bagi aktivitas mahasiswa. Jadi tidak boleh ada lagi kegiatan mahasiswa tidak sepengetahuan universitas,” jelasnya.
Respon Civitas Akademika UB
Kabar mengenai tertangkapnya mahasiswa HI FISIP UB oleh Densus 88 pun memunculkan reaksi yang beragam dari civitas akademika Universitas Brawijaya. Arif Setiawan salah seorang dosen Hubungan Internasional, mengaku biasa saja mendengar berita tersebut, karena hal ini menunjukkan bahwa instansi penegak hukum Indonesia sudah berjalan dengan baik.
“Bagaimanapun itu, sebelum ada keputusan hukum tetap dia masih terduga dan belum menjadi terpidana sehingga itu yang harus kita junjung tinggi begitu,” ujar Arif (2/6).
Ia lalu menyampaikan usulan terhadap pihak kampus agar nantinya tidak terjadi lagi kasus yang serupa.
“Kita harus mencontoh Universitas Diponegoro (UNDIP) yang telah melakukan deteksi dini dari tingkat universitas, fakultas, sampai prodi. Nanti yang berpikiran ekstrimis diajak diskusi seperti itu. Dari sini kampus harus melibatkan banyak pihak untuk melakukan deteksi dini dengan melibatkan ormas, organisasi mahasiswa dan juga Badan Nasional Penanggulangan Terorisme Indonesia (BNPT),” jelas Arif.
Baca Juga:
Tanggapi Tuduhan Radikalisme dalam Pilrek UB, Sekretaris MWA: Saya Yakin Tidak Ada
Berbeda dengan Arif, salah satu mahasiswa jurusan HI, Shofi Izzatus Sholihah menunjukkan keterkejutannya mengetahui aksi penangkapan tersebut.
“Pertama yang yang terbersit dalam pikiran saya sangat disayangkan jika mahasiswa HI bisa terjerumus pada aksi terorisme, karena di jurusan kami dibekali peace education dan tidak membenarkan ideologi ekstrim dan terorisme. Kasus tersebut membuktikan bahwa jika sesuatu telah mengenai ideologi, maka hal tersebut akan mempengaruhi bagaimana ia berperilaku,” ungkapnya.
Sementara itu, Fatakhillah Falakhuddin, yang juga mahasiswa HI menegaskan bahwa seharusnya kampus memberikan perhatian lebih dalam menyebarkan narasi-narasi yang baik dalam kajian atau webinar.
“Perlu adanya upaya yang lebih keras lagi untuk membuat sebuah lingkungan di sekitar mahasiswa dan civitas akademika UB ini lebih inklusif kepada umat beragama dan juga kepada masyarakat yang lain,” jelasnya.
Menerka Langkah Ideal UB Ke Depan
Isu mengenai radikalisme di Universitas Brawijaya sendiri bukanlah hal yang baru, pada tahun 2018, berdasarkan data dari BNPT, Universitas Brawijaya sempat masuk ke dalam salah satu Perguruan Tinggi Negeri (PTN) yang terpapar oleh radikalisme. UB bahkan juga sempat mendapatkan stigma sebagai kampus teroris.
Tentunya dengan penangkapan mahasiswa oleh Densus 88 pada beberapa waktu yang lalu menjadi bukti bahwa isu mengenai radikalisme ini masih menjadi persoalan yang belum dapat diselesaikan sepenuhnya. Hal ini juga menjadi bukti bahwa ancaman pemahaman radikalisme masih menjadi bayang-bayang di tengah keberagaman di kampus biru.
Dalam upaya memerangi pemahaman radikal di antara keberagaman dan pluralnya masyarakat UB, tentunya sikap toleransi menjadi salah satu aspek yang penting. Namun sikap toleransi di antara mahasiswa UB belum sepenuhnya merata. Hal ini dapat diketahui berdasarkan riset terkait sikap toleransi antar mahasiswa UB yang dilakukan oleh Unit Pelaksana Teknis (UPT) Pengembangan Kepribadian Mahasiswa (UPT PKM-UB) yang menunjukan tingkat toleransi mahasiswa UB berada pada tataran sedang sebanyak 85,64%, tinggi sebanyak 4,03%, dan rendah sebanyak 10,33%.
Sikap toleransi yang masih belum merata inilah yang memungkinkan pemahaman radikal bisa menyusup dan menyebar di kalangan mahasiswa. Oleh karena itu, penting bagi otoritas kampus untuk melakukan sebuah agenda guna meningkatkan sikap toleransi sebagai upaya antisipasi agar radikalisme dapat terminimalisir. Hal ini senada dengan pernyataan Mohamad Anas, selaku ketua UPT PKM UB.
“Kita harus mempunyai semacam agenda bersama tetapi dengan catatan bahwa itu benar-benar dikawal oleh pimpinan untuk bisa mengantisipasi hal-hal yang mungkin di masa datang bisa terjadi kembali,” ungkapnya (31/5).
Anas juga menjelaskan bahwa agenda yang harus dilakukan tidak hanya bersifat seremonial saja, tetapi juga harus melibatkan mahasiswa secara langsung, sehingga mahasiswa dapat bersentuhan dengan realitas yang berbeda dengan dirinya. Program semacam ini nantinya diharapkan mampu untuk mengisi ruang kosong yang selama ini belum pernah ada pada setiap program pengembangan sikap toleransi di tengah mahasiswa.
“Program ini misalnya harus menyentuh kepada aspek psikomotorik dan juga aspek tindakan. Maka, tentu harus bersentuhan langsung dengan masyarakat yang berbeda misalnya. Lalu bagaimana mahasiswa apabila bersentuhan langsung dengan orang yang berbeda dengan kita baik itu mayoritas maupun minoritas, sehingga mahasiswa bisa terbuka pikirannya ketika berjumpa dan berdialog dengan realitas yang berbeda dengan dirinya. Nah hal-hal seperti itu, yang merupakan ruang kosong yang saya kira selama ini belum dilakukan,” jelasnya.
Selanjutnya Anas juga berpendapat bahwa untuk mendukung program pengembangan sikap toleransi agar dapat mencegah penyebaran paham radikal, tentunya perlu upaya yang komprehensif di semua aspek yang ada, baik itu aspek lingkungan dan juga stakeholder, sehingga secara parsial mengarah kepada satu hal yang sama yaitu bersama-sama berupaya untuk mencegah pemahaman radikalisme.
Selain itu, ia juga mengatakan bahwa persamaan perspektif mengenai diskursus terkait toleransi dan intoleransi merupakan hal yang penting untuk dibuat secara jelas terlebih dahulu.
“Nah sekali lagi itu yang perlu di clear kan dulu baru kemudian itu tadi mengambil kebijakan yang memang berupaya secara intensif sebagai jalan mencegah radikalisme di kalangan mahasiswa,” tutup Anas. (gra/fy/yn/rsa)