Lompat ke konten

Menelanjangi Puisi Lewat “Bilangnya Begini, Maksudnya Begitu”

Oleh: Gratio Ignatius Sani Beribe*

Judul Buku: Bilangnya Begini, Maksudnya Begitu

Penulis: Sapardi Djoko Damono

Tahun Terbit: 2016

Penerbit: Gramedia Pustaka Utama

Menulis puisi memang bermain-main dengan bahasa, bertengkar dengan bahasa­ – Sapardi Djoko Damono.

Akrab mengenal Sapardi Djoko Damono lewat karya-karya puisinya membuat saya tertarik untuk membaca buku apresiasi puisi sang penyair legendaris ini sehingga dapat mengetahui bagaimana cara Sapardi mengartikan, memaknai, dan menghargai puisi yang konon katanya merupakan mahkota bahasa. Saya awalnya berekspetasi jika buku ini akan berisi banyak teori-teori sastra untuk mengupas secara tuntas sebuah puisi, namun “Bilangnya Begini, Maksudnya Begitu” pada hakikatnya merupakan ajakan Sapardi kepada para penikmat karya sastra untuk menghargai atau mengapresiasi puisi dengan mengenal beberapa piranti kebahasaan yang biasa digunakan penyair untuk menyampaikan pesannya. Piranti-piranti tersebut bisa berupa metafora, cerita, gagasan, sikap, suasana, pencitraan, dan lain sebagainya.

Di awal buku, Sapardi langsung mengingatkan tentang pentingnya hubungan langsung antara pembaca dengan karya seorang penyair. Ia menegaskan bahwa hubungan pembaca dan karya jauh lebih penting daripada hubungan pembaca dan penyairnya karena dalam mengapresiasi sebuah puisi, pembaca harus mampu memahami dan menghayati terlebih dahulu sebuah karya, baru bisa memberikan pengahargaan kepada penyairnya. Seringkali penghargaan diberikan kepada seorang penyair tanpa pernah berusaha memahami dan menghayati puisinya, atau bahakan membacanya saja belum pernah. Kalau seperti itu, bagaimana cara pembaca agar mampu memahami dan mengahayati sebuah puisi? Jawabannya akan ada di sepanjang buku ini.

Buku “Bilangnya Begini, Maksudnya Begitu” dibagi menjadi sepuluh bagian yang terdiri dari: Wujud Visual Berita dan Cerita, Puisi Sebagai Bunyi, Jenis-Jenis Puisi, Bilangnya Begini Maksudnya Begitu, Memilih Kata, Iman: Manusia dan Pencipta, Simpati Kepada Orang Susah, Cinta, Sikap Hidup, dan terakhir Memanfaatkan Dongeng. Dari sepuluh bagian tersebut, sebenarnya dapat saya peras menjadi empat pokok bahasan yaitu: Hakikat Puisi, Cara ‘Menelanjangi’ Puisi, Kandungan Puisi, dan Pemanfaatan Tradisi Lisan.

Dalam buku ini Sapardi mengenalkan apa itu puisi dengan mulai membandingkan penulisan sebuah puisi dan berita. Puisi yang dipilihnya berjudul “Sajak Berdasarkan sebuah Berita di Koran” karya Manuel Bandeira, seorang penyair yang berasal dari Brasillia. Dalam sajak tersebut diceritakan seorang pesuruh di Pasar Petani bernama Jhon yang pada suatu malam pergi ke Warung Dua Puluh November dan mulai minum, menyanyi, menari, lalu menceburkan dirinya ke dalam Telaga Rodrigo de Freitas hingga tengalam. Dari sajak karya Bandeira, Sapardi kemudian memantik sebuah pertanyaan: Apa bedanya sebuah puisi dan berita jika ditulis secara apa adanya seperti sajak di atas dengan tidak menambahkan unsur apapun? Melalui pertanyaan ini kita diajak untuk berefleksi sedikit tentang hakikat sebuah puisi.

Setelah mengenalkan puisi, Sapardi mulai memaparkan tentang beberapa piranti kebahasaan yang dapat digunakan pembaca puisi untuk menanggalkan pakaian-pakaian samar, klise, dan ambigu pada sebuah puisi agar sampai ke maksud paling telanjang atau murni dari sang penyair. Memahami puisi diumpamakan Sapardi seperti makan nasi, di mana perlu proses mengunyah terlebih dahulu sebelum ditelan. Bukan seperti makan bubur yang bisa saja langsung ditelan utuh-utuh. Hal ini dikarenakan puisi umumnya menganut prinsip ‘bilangnya begini, maksudnya begitu’ yang berarti penulis tidak menyampaikan maksudnya secara langsung kepada pembaca lewat puisinya, namun menggunakan perbandingan atau perumpamaan tertentu agar menjadi tersirat. Piranti-piranti yang dipapaparkan Sapardi seperti latar, perlambangan, gambar, bahasa, sampai dengan simbol.

Membaca “Bilangnya Begini, Maksudnya Begitu” membuat saya semakin memahami bagaimana puisi diciptakan dengan begitu kompleks sehingga pantas jika disebut sebagai mahkota bahasa. Cara Sapardi menjelaskan sebuah puisi dalam buku ini begitu santai dan mudah dimengerti karena ia berusaha memakai bahasa yang tidak terlalu sulit serta selalu memberikan contoh-contoh puisi untuk ditelanjangi bersama menggunakan piranti-piranti yang telah dipaparkan. Selain itu, buku ini membuat saya paham jika menulis puisi harus dilakukan dengan sadar dalam arti harus menggunakan logika bukan hanya perasaan semata, sehingga tidak sebatas mencapai tahap ‘menangis pada kertas’ seperti yang disampaikan oleh Ibu Naning Pranoto pada acara Malam Sastra Perspektif 2021 lalu. Biarpun saya sangat menikmati ketika membaca buku ini, tetapi ada beberapa bagian yang menurut saya cukup jomplang atau seperti tidak ada korelasi dengan bagian sebelumnya. Namun entah apapun itu, buku ini sangat layak dibaca untuk kalian yang ingin mengenal puisi dengan lebih intim lagi.

(Visited 501 times, 1 visits today)
*) Penulis merupakan mahaiswa Ilmu Pemerintahan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Brawijaya tahun 2020. Kini aktif sebagai Pimpinan Divisi Redaksi LPM Perspektif.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Terbaru

Iklan

E-Paper

Popular Posts

Apa yang kamu cari?