Senin pagi, upacara bendera dilaksanakan. Ara menghormat menghadap bendera merah putih yang kini hampir mencapai puncaknya. Suasana khidmat kental menguasai selama upacara berlangsung, tapi tidak setelah ada kucing dengan tubuh terbalut cairan hitam pekat berjalan lesu di tengah lapangan. Ya, kucing itu habis masuk selokan air. Sontak peserta upacara terkejut melihat kucing itu. Tidak terkecuali Ara.
“Ah, kau memang mahkluk yang sulit diberi tahu, ya.” gumam Ara dalam hati sambari tersenyum tipis, mengerti perasaan kucing itu. Ya, Ara paham. Namun, yang lain tidak…
“Dasar kucing menjijikkan! Kenapa tidak aku tabrak saja tadi kucing itu. Lihat bulunya itu, seperti si Agus. Hitam menjijikkan!” ucap salah seorang di barisan belakang.
Seketika Ara melihat ke belakang, barisan yang sangat tidak tertata. Ia memberikan tatapan tajam pada sekumpulan siswa yang sedang tertawa menyetujui pernyataan salah seorang temannya itu. Namun, satu dari yang lain tidak…
“Semua manusia sama saja.” gumam keduanya.
Ara terdiam. Yang lain kesal dengan dirinya sendiri. Kesal tidak bisa mengungkapkan impresinya itu. “Ah sudahlah, jika aku bicara pasti dia akan mempermalukanku.” ujarnya pelan.
Setelah satu jam lebih lima belas menit, upacara selesai dilaksanakan. Para siswa pun bergegas menuju kelas mereka masing masing.
“Agus, Agus! Apa yang dimakan ibumu dulu hingga kulitmu sangat hitam seperti itu? Hahaha! Apa setelah lahir kau dimasukkan ke selokan, hah? Hahaha!” kelompok siswa itu menertawakan Agus yang duduk menunduk ditengah-tengah mereka. Namun satu dari yang lain tidak…
“Semua manusia sama saja.” gumam keduanya.
Ara terdiam. Yang lain sedang berusaha menyembunyikan amarahnya. Dia yang marah dengan dirinya sendiri karena tetap diam setelah melihat kesalahan. Tak tahan dengan rasa bersalahnya, ia bergegas pergi meninggalkan kerumunan temannya, menghiraukan teman-temannya yang bombardir memanggilnya. Ari.
Sampainya di taman belakang, Ari menemui Ara yang sedang duduk dengan kucing di sampingnya.
“Kau cantik, bulumu sangat indah,” katanya sambil mengusap dan mebersihkan sisa-sisa air kotor di sekujur badan kucing itu.
“Hei, apa yang kau lakukan? Apa kau bisa berbicara dengan kucing itu?”
“Ya, manusia memang sama saja. Bodoh.” jawab Ara lirih tanpa bermaksud didengarkan Ari. Sebab tentu saja, pertanyaannya sangat bodoh, tak perlu membuang energi untuk menjawab pertanyaan konyol seperti itu.
Ari menatap gadis di depannya itu, gadis yang sedang membersihkan kotoran got dari tubuh belang kucing yang berjalan tanpa dosa di tengah lapangan saat upacara tadi pagi. Ari merenung, meratapi setiap perkataan manis yang keluar dari mulut gadis itu, “Gadis ini, Ara memang tidak sama.”
“Kenapa kau melihatku seperti itu? Kau membuatku risih.” tanya Ara ketus.
“Lalu, apa kau tidak risih memegang kucing menjijikkan itu?” timpal Ari.
“Akan ku tampar kau kalau sekali lagi bilang kucing ini menjijikkan.”
“Kenapa aku tidak bisa sepertimu?” tanya Ari seketika. Ara terdiam, mengerti. Mengerti pada Ari yang tidak ikut menertawakan kucing kotor ini saat upacara, mengerti pada Ari yang tidak ikut mengolok Agus dan mengerti pada Ari yang geram dengan dirinya karena harus berbohong pada dirinya sendiri.
Hening mengisi ruang di antara keduanya. Sesekali suara kucing mengeong menjalin tali komunikasi diantara mereka yang saling diam. Berpikir, tentang rasa kemanusiaan yang terasa hambar, tentang kucing yang menjadi santap cacian dari mulut manusia bodoh, dan tentang manusia seperti Ari dan Ara. Kedua manusia yang sama, sama-sama berbeda.
“Kau tahu Ri, kau bisa sepertiku. Bahkan, kau sudah sepertiku. Namun, kau seperti kucing ini.” kata Ara memecah keheningan antara mereka. Ara menunjuk ke kucing yang sadari tadi dia bersihkan dari kotoran yang mulai menghilang. Menunjukkan kulitnya yang belang oranye dan cokelat tidak beraturan.
“Kucing ini bulunya sangat indah. Memang sedikit berbeda dengan lainnya, tapi kurasa itu hal yang sangat unik dan membuatnya elok dipandang. Namun, sepertinya kucing lainnya iri dengan keelokannya dan mengucilkannya, sehingga dia tidak mau menunjukkannya lagi. Aku tidak tahu pasti, aku bukan orang yang bisa berbicara dengan hewan seperti yang kau sangka. Namun, kurasa karena itulah dia selalu mengotori bulunya. Padahal, aku yakin kalau dia berani untuk menunjukkannya pasti banyak yang akan menyanjungnya dan menghormatinya. Pasti teman temanmu itu tidak lagi mengejeknya.”
“Menurutmu, aku harus mengatakannya kepada teman-temanku?”
“Akhirnya, sudah bersih.” ucap Ara mengabaikan ucapan Ari. Itu adalah pertanyaan yang harus dijawabnya sendiri.
Kucing itupun lari dengan riangnya.