Lompat ke konten

Dari PSBB Hingga PPKM Mikro: Banyak Perubahan, Minim Sosialisasi

Ilustrasi: Fadya Choirunnisa
Oleh: Muhammad Reza Pahlevi*

Pada 2 Maret 2020, Indonesia mengumumkan kasus positif Covid-19 pertamanya. Berbagai upaya telah dilakukan pemerintah untuk mencegah penyebaran virus yang berasal dari Wuhan, China tersebut.  Begitupun yang dilakukan negara-negara lainnya di seluruh dunia. Penyebaran virus ini begitu cepat karena dipengaruhi juga oleh tingkat mobilisasi manusia di era globalisasi ini. Semua kehidupan yang awalnya berjalan dengan normal menjadi sangat berbeda dengan kehadiran virus Covid-19. Keadaan pada awal penyebaran Covid-19 juga semakin parah dengan belum ditemukannya vaksin, sehingga jalan keluar pada saat itu dilakukan dengan cara mengurangi segala aktivitas yang melibatkan banyak orang. Jalanan sepi, berbagai sarana umum ditutup, dan interaksi sosial beralih menjadi daring.

Kondisi seperti itu lumrah dilakukan negara-negara di dunia dengan istilah lockdown. Dalam skenario kebijakan tersebut, pemerintah suatu negara menutup segala akses pergerakan warganya, baik di warga lokal maupun luar negeri yang akan masuk ke negaranya. Akan tetapi, tidak semua negara menerapkan kebijakan lockdown ini. Kebanyakan negara dengan GNP dan pendapatan perkapita yang tinggi saja yang menjalankan salah satu kebijakan rekomendasi dari WHO ini. Hal tersebut disebabkan dari dampak kebijakan lockdown ini telah mematikan berbagai sektor vital negara, khususnya sektor ekonomi. Tidak adanya aktivitas manusia yang berjalan berarti tidak ada aktivitas ekonomi yang berjalan, dalam hal ini adalah perdagangan. Kondisi lockdown pada awalnya dijalankan negara-negara di dunia pada kurun waktu 14 hari saja dengan harapan virus tersebut bisa dikendalikan.

Akan tetapi, banyak negara yang terpaksa melakukan lockdown tersebut hingga berbulan-bulan karena virus Covid-19 ini telah menjadi pandemi di seluruh dunia. Banyak negara yang akhirnya mengalami krisis ekonomi karena kebijakan ini. Dari banyak negara yang memperlakukan lockdown, Indonesia adalah sebagian kecil negara yang tidak menerapkan kebijakan tersebut karena banyak pertimbangan dari pemerintah -terutama dalam persoalan pemenuhan kebutuhan masyarakat yang harus ditanggung oleh pemerintah jika lockdown terjadi. Sebagai gantinya, pemerintah memberlakukan kebijakan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) pada tanggal 31 Maret 2020. Kebijakan tersebut berdasarkan Peraturan Pemerintah nomor 21 tahun 2020 yang ditandatangani oleh Presiden Joko Widodo. Dengan diberlakukannya PSBB, maka segala kegiatan masyarakat dibatasi dan harus mendapatkan izin rekomendasi dari Kementerian Kesehatan dan Satgas Covid-19 di daerah masing masing, terutama jika kegiatan tersebut dapat memicu kerumunan yang dapat berpengaruh terhadap penyebaran virus Covid-19.

PSBB ini pada implementasinya tidak berjalan serentak di seluruh provinsi di Indonesia, karena setiap provinsi harus mendapatkan izin pemerintah pusat terlebih dahulu sebelum melakukan PSBB di provinsinya masing-masing. Berjalannya PSBB ini menuai pro dan kontra, khususnya pada sektor ekonomi. Pemberlakuan PSBB dianggap masyarakat dan beberapa ahli ekonomi akan dapat mematikan pergerakan ekonomi di Indonesia. Di sisi lain, PSBB dianggap mampu menekan laju infeksi corona di Indonesia dengan jumlah positif per 21 Maret 2021 adalah 1,46 juta kasus positif dari 266,7 juta jiwa penduduk Indonesia. Hingga akhirnya, pemerintah mengeluarkan kebijakan pelonggaran yakni PSBB transisi atau new normal dengan memberlakukan protokol kesehatan yang ketat pada 1 Juni 2021 silam.

Pada era new normal, terjadi pelonggaran pada beberapa sektor vital seperti ekonomi, pangan, wisata, tetapi dengan pemberlakuan kegiatan yang terbatas. Kebijakan ini juga menuai pro kontra di masyarakat hingga salah interpretasi dari kata new normal itu sendiri. Banyak masyarakat yang menganggap bahwa Covid-19 sudah menghilang, sehingga aktivitas masyarakat sudah bisa berjalan dengan normal lagi tanpa ada pemberlakuan protokol kesehatan sesuai standar WHO. Meskipun sudah berjalan lebih dari satu tahun di Indonesia, Covid-19 belum juga hilang dan terus menginfeksi dengan berbagai mutasinya. Terlebih dengan kehadiran varian baru Covid-19 B.1617 (Varian Delta) dari India. 

Sebagai bentuk pertanggung jawaban antara kesehatan masyarakat dan berjalannya ekonomi di Indonesia, maka pemerintah mengubah kebijakan yang berawal dari PSBB menjadi Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) Jawa-Bali berskala mikro. Kebijakan PPKM ini diatur dalam Instruksi Menteri Dalam Negeri nomor 3 tahun 2021. Terdapat delapan provinsi yang menerapkan kebijakan baru ini, antara lain Banten, DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY), Jawa Timur, dan Bali. Adapun penerapan PPKM di setiap provinsi diputuskan oleh pemerintah pusat dengan beberapa kriteria tertentu.

Berawal dari PSBB berganti menjadi PSBB transisi (new normal), hingga PPKM berskala mikro, ketiga kebijakan tersebut merupakan bukti bahwa pemerintah masih serius memperhatikan kesehatan warganya di tengah ancaman resesi ekonomi akibat pandemi ini. Namun sangat disayangkan, seringnya perubahan nama dan kebijakan penanganan Covid-19 di Indonesia menimbulkan kebingungan bagi masyarakat umum. Kurangnya sosialisasi di tengah masyarakat menjadi salah satu penyebab tidak efektifnya komunikasi politik pemerintah kepada masyarakat dalam kebijakan pencegahan Covid-19 ini. Masih banyak masyarakat melakukan pelanggaran dari kebijakan tersebut akibat ketidaktahuannya tentang kebijakan yang terus berganti. Selain itu, pelanggaran masyarakat diperparah lagi dengan desakan ekonomi di kondisi yang serba sulit selama pandemi, sehingga tidak ada cara lain untuk terus beraktivitas.

Kebingungan masyarakat ini masih belum menemukan solusinya, karena pendekatan yang dilakukan pemerintah kepada pelanggar kebijakan tersebut seringkali menuai penolakan dari masyarakat. Seharusnya, masyarakat memperoleh edukasi atau sosialisasi mengenai kebijakan PSBB hingga PPKM mikro. Namun sebaliknya, justru masyarakat malah mendapatkan sanksi yang kurang relevan. Hal ini membuat masyarakat semakin menjauh dari berbagai sosialisasi yang dilakukan pemerintah karena menganggap bahwa pemerintah sendiri sudah tidak berpihak lagi kepada masyarakat dalam menangani pandemi Covid-19.

Bentuk pendekatan yang humanis, sosialisasi yang tepat sasaran, serta edukasi yang komunikatif merupakan beberapa solusi yang bisa diambil oleh pemerintah agar masyarakat dapat memahami dan mendukung kebijakan yang telah dibuat. Ketika sudah muncul kesadaran di masyarakat, maka setiap kebijakan pemerintah untuk mengendalikan pandemi ini dapat dilaksanakan dengan baik oleh masyarakat secara umum. Perubahan memang tidak bisa dihindari, namun perlu persiapan untuk beradaptasi dengan kondisi yang berubah tersebut. Jangan sampai sosialisasi yang diberikan tidak komunikatif, sehingga memicu ketidakpahaman masyarakat terkait pandemi maupun kebijakan pencegahannya. Bahkan, ketidaktahuan tersebut yang menyebabkan masyarakat melanggar protokol kesehatan. Jika masyarakat patuh, bukan tidak mungkin gelombang pandemi Covid-19 di Indonesia akan segera surut. 

(Visited 143 times, 1 visits today)
*) Muhammad Reza Pahlevi, mahasiswa aktif Program Studi Hubungan Internasional Angkatan 2019. Penulis saat ini aktif sebagai anggota tetap LPM Perspektif di Divisi PSDM.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Terbaru

Iklan

E-Paper

Popular Posts

Apa yang kamu cari?