Alkisah, hidup sepasang laki-laki, seorang raja dan putra semata wayangnya, di sebuah negeri yang subur beraneka budaya. Di tengah padang rumput di pinggir sungai mereka menghabiskan waktu. Bukan untuk melihat rakyat menanam padi, bukan untuk melihat para budak pulang dan pergi, bukan pula untuk memantau kerajaan yang mereka kasihi, melainkan untuk melihat indahnya senja dan kereta api.
“Ayah, bolehkah aku bertanya padamu?”
Fokus menatap rel kereta yang kosong, sang ayah tidak menyadari panggilan putranya.
“Ayah.”
“Apa, Pangeran?”
Setelah putranya itu memasukkan telunjuknya ke dalam lubang hidungnnya, barulah ia sadar.
“Aku ingin bertanya sesuatu padamu.”
Seperti lagu lama, terus diputar. Sang ayah sudah bosan mendengarnya. Ketika Pangeran berkata kalau ia ingin bertanya tentang suatu hal, pertanyaan tersebut tidaklah jauh dari hal-hal yang begitu dalam dan filosofis. Bukannya tidak ingin menjawab putranya yang masih tidak tahu-menahu soal dunia, tapi sang ayah memang terlampau parah bodohnya. “Jangan sekarang, Pangeran. Ayah sedang ingin melihat kereta saja.”
“Tapi, Ayah—” gelagat manja ditunjukkan oleh Pangeran. Ia langsung memasang wajah melas sambil menarik kaus oblong yang dipakai ayahnya. “Tanya satu hal saja…”
Seperti lagu baru, gampang ditebak. Sang ayah sudah tahu kalau satu hal saja berarti dua, tiga, empat, atau berapa pun yang bisa ditanya. Tarikan napas yang begitu panjang ia lakukan, kemudian diembuskan dengan sangat pelan. “Oke, tanya satu saja. Jangan pertanyaan seperti ‘Ayah, kenapa kita dilahirkan di dunia ini?’ atau ‘Ayah, kenapa manusia terjebak dalam lingkaran lahir dan mati?’ oke?”
“Ayah, kenapa kau tidak merokok seperti laki-laki lainnya?”
Pertanyaan pertama dilontarkan oleh Pangeran, tergolong cukup mudah untuk mencari jawabannya. Merokok adalah sebuah aktivitas menyedot batangan berisi tembakau yang dibalut oleh kertas. Tinggal nyalakan korek dan puf! Entahlah, sang ayah tidak pernah merokok seumur hidupnya.
“Selain karena Ayah miskin, mungkin alasan Ayah tidak merokok adalah karena Ayah sayang padamu.” Ia berkata demikian, tersenyum, seraya mengusap kepala putranya.
Rasa bingung menjalar dengan cepat ke kepala Pangeran. Ia tidak bisa memproses apa yang dikatakan oleh ayahnya. Konsep seorang manusia yang memiliki tanggung jawab untuk melindungi manusia lainnya yang didasarkan pada kasih sayang benar-benar membuatnya hening. Atas alasan itu, Pangeran memberanikan diri untuk bertanya kembali.
“Ayah, kenapa kau sayang padaku?”
Sang ayah menoleh, memasang senyum lebar disertai mata melotot. “Satu pertanyaan, bukan?”
“Tapi, Ayah! Ini … ini untuk tugas sekolah! Sungguh!”
Sang ayah terkekeh mendengar celoteh penuh kepanikan putranya tersebut. “Baiklah, akan Ayah jawab.” Sejenak ia terdiam, berpikir keras mencari jawaban dari pertanyaan itu. Apa yang termaktub di dalam klausa penuh ketidaktahuan itu adalah sesuatu yang abstrak bagi sang ayah. Pertanyaan itu datang dengan cepat dan tiba-tiba. Bobotnya bahkan lebih berat dari pertanyaan-pertanyaan mendasar tentang kehidupan dan ketuhanan. Sebab pertanyaan itu mencoba menggali rasa kasih dalam diri manusia.
Akhirnya sang ayah menjawab, “Itu karena kamu anak Ayah. Kamu adalah seorang pangeran dan Ayah adalah seorang raja.”
“Ayah, kenapa kau memutuskan untuk menjadi seorang raja?”
Pertanyaan ketiga dilontarkan. Ketika ia sudah keluar, maka pertanyaan-pertanyaan lain sudah tidak dapat dibendung lagi. Sang ayah menekuk lututnya, menatap Pangeran dengan serius untuk menjawab pertanyaan-pertanyaannya.
“Mungkin karena Ayah sudah dewasa? Itu alasan Ayah menjadi raja. Ayah ingin membangun kerajaan Ayah sendiri.”
“Ayah, bagaimana caranya menjadi seorang raja?”
“Carilah seorang ratu, Nak. Yang cantik pastinya,” jawabnya sambil tersenyum.
“Tapi bagaimana dengan Ibu? Dia meninggalkanmu dan pergi mencari raja lain. Apa maksudnya itu?”
“Mungkin karena Ayah bukan seorang raja yang baik,” jawabnya, masih tersenyum. “Ayah terlalu naif. Delapan tahun lalu tidak seharusnya Ayah menikahi ibumu. Memangnya apa yang Ayah punya waktu itu? Ayah tidak punya apa-apa. Sedih juga kalau dipikir-pikir, tapi ibumu sekarang sudah bersama raja yang lebih baik dari Ayah.” Wajah sang ayah kini berubah muram. Di saat bersamaan kereta lewat. Embusan anginnya mengibarkan rambut sang raja dan sang putra mahkota.
“Ayah, aku punya pertanyaan terakhir.”
Sambil melihat gerbong kereta minyak yang tak kunjung habis, sang ayah menoleh kepada putranya. “Apa itu, Pangeran?”
“Kapan aku bisa menjadi raja?”
Momen ketika kalimat tersebut selesai, gerbong terakhir melintas, menyisakan sebuah perasaan yang teramat sakit pada dada sang ayah. Ia mencoba merabanya dan hanya mendapati dingin serta sesak. Hidungnya perlahan-lahan tersumbat ingus, matanya dipenuhi air seketika. Seorang raja tidak boleh terlihat lemah, pikirnya. Ia pun mencoba tetap tegar di hadapan Pangeran.
“Ketika kau siap bertanggung jawab, Nak,” ujarnya.