Hari Minggu adalah hari yang paling dinantikan oleh semua orang di muka bumi, terutama oleh siswa sekolahan seperti diriku, karena aku tidak perlu bangun pagi dan pergi ke sekolah untuk belajar. Namun sayangnya, Minggu ini berbeda dengan minggu-minggu sebelumnya.
Selepas sholat subuh tadi, aku sudah rapi dengan setelan kebanggaan siswa SMA di seluruh Indonesia. Yap, apalagi kalau bukan seragam putih abu-abu. Kutatap pantulan diriku di cermin panjang yang terletak di sudut kamarku. Mataku dengan gesit mengabsen satu persatu atribut yang telah kukenakan dari mulai atasan putih, rok abu-abu, dasi, ikat pinggang, kerudung putih hingga yang terakhir papan nama bertuliskan Inara Putri Asteria. Setelah memastikan bahwa tidak ada satupun atribut yang terlewat, aku pun memberikan sentuhan terakhir yang akan menyempurnakan penampilanku hari ini. Kusemprotkan parfum dengan wangi cherry blossom kesukaanku ke seluruh bagian tubuh tanpa ada yang terlewat.
“Perfect!” ujarku puas sambil meletakkan botol parfum ke tempat asalnya.
Setelah siap dengan penampilan, aku turun menuju meja makan untuk menyelesaikan persoalan perutku yang keroncongan minta diisi. Sesampainya di meja makan, aku langsung melahap sepotong roti tawar dengan olesan selai kacang yang telah Ibu siapkan sebelum pergi ke halaman rumah untuk menyiram tanaman. Benar sekali, karena masih sangat pagi untuk sarapan, dapat dipastikan bahwa saat ini aku sedang duduk sendirian di meja makan sambil menyantap sarapanku. Ayah masih sibuk membaca buku di kamar, sedangkan adikku masih asyik menyambung mimpi selepas solat subuh tadi.
Setelah menyantap habis sarapan yang Ibu siapkan, akupun langsung berangkat menuju sekolah diantar Ayah. Jalanan masih sangat sepi. Mobil Ayah bisa dengan bebas melenggang menyusuri jalanan kota. Jika hari ini adalah hari biasa atau hari dimana aku terlambat pergi ke sekolah, maka aku akan sangat bersyukur karena jalanan tidak macet. Namun, entah kenapa hari ini aku sangat berharap agar jalanan macet saja dan aku terlambat sampai ke sekolah.
“Ra, it’s ok kalau kali ini gagal lagi. Ayah tahu kamu udah berusaha yang terbaik. Dengan kamu mau terus berpartisipasi mewakili sekolah setelah banyak kegagalan yang kamu terima itu udah keren. Yang terpenting disini adalah kamu memiliki keinginan. Kamu memiliki keinginan untuk terus bangkit dan tidak larut dalam kegagalan.” ucap Ayah seperti melihat kecemasan dalam wajahku.
“Rara takut, Yah. Rara takut ngecewain Ayah, Ibu, guru dan juga temen-temen Rara yang selama ini selalu support Rara untuk ikut olimpiade.” ucapku lirih dengan susah payah menahan air mata yang sebentar lagi akan jatuh.
“Dengarkan Ayah! No great achievement is possible without persistent work. Pencapaian besar tidak datang hanya dengan kegagalan kecil, sayang. Semakin kamu banyak menghadapi kegagalan, semakin besar pencapaian yang akan menantimu di depan sana. Ayah, Ibu, guru dan temen-temen kamu percaya bahwa kamu mampu. Karena itu, kita selalu berada di sisimu dan mendorongmu untuk tidak menyerah.” hibur Ayah dengan mata tetap fokus melihat ke arah jalan raya.
Seperti yang telah kalian ketahui, hari ini aku akan mengikuti olimpiade Ekonomi. Memang wajar jika seseorang merasa gugup dan cemas saat akan mengikuti sebuah kompetisi, apalagi yang aku ikuti adalah kompetisi ekonomi tingkat nasional yang diselenggarakan oleh salah satu universitas negeri favorit di Indonesia. Namun, yang membuatku sangat cemas saat ini adalah karena ini bukan pertama kalinya aku mengikuti olimpiade. Jika dihitung sejak pertama masuk SMA, ini adalah olimpiade Ekonomi tingkat nasional ke-9 yang aku ikuti. Kalian jangan berpikir aku adalah siswa teladan yang sangat hebat sehingga berhasil mengikuti olimpiade sebanyak itu. Karena pada kenyataannya, dari semua olimpiade yang aku ikuti aku tidak pernah sekalipun menjadi juara. Jangankan menjadi juara, lolos seleksi tahap pertama pun aku tak pernah.
Aku memang siswa berprestasi di sekolah. Aku selalu menyabet peringkat paralel pertama jurusan IPS. Aku juga selalu mendapatkan nilai nyaris sempurna pada setiap ujian ekonomiku. Bahkan ketika mengerjakan soal ujian nasional bekas kakak kelasku, aku hampir selalu menjawab 39 benar dari total 40 soal yang diberikan. Itulah alasan kenapa aku selalu dipercaya untuk mewakili sekolah dalam setiap perlombaan ekonomi.
Aku hanya mengangguk patuh mendengar nasihat Ayah. Setelahnya aku terus terdiam hingga tak terasa mobil Ayah telah memasuki gerbang sekolah. Rasa gugup dalam diriku yang sedari tadi aku coba tahan mulai bertambah ketika kulihat guru pembimbing dan temanku yang juga akan ikut olimpiade sudah bersiap di depan ruang resepsionis sekolah. Sebelum aku keluar dari mobil, Ayah dengan lembut memegang tanganku dan mengatakan bahwa semua akan berjalan dengan lancar sesuai dengan kerja keras yang selama ini sudah aku lakukan.
“Rara…. ” sapa temanku yang juga akan mengikuti olimpiade.
“Pagi Rhea, gimana belajarmu semalem?” sapaku balik kepada temanku yang bernama Rhea.
“As always. Aku baru tidur jam 01.00 tadi, tapi jam 04.00 harus udah bangun lagi. Tapi gapapa, ini semua demi mengharumkan nama sekolah. Iya kan?” jelasnya dengan penuh semangat.
Akan kuceritakan sedikit tentang Rhea. Dia adalah teman seangkatanku. Seperti yang bisa kalian lihat, dia adalah anak yang ceria dan penuh semangat. Sejak tahun pertama, aku dan Rhea selalu mengikuti olimpiade ekonomi yang sama. Tak ada olimpiade yang aku ikuti yang tidak diikuti Rhea, begitupun sebaliknya. Dia adalah anak IPA dan tidak pernah menduduki peringkat satu dikelas, apalagi peringkat satu paralel. Meskipun demikian, Rhea telah berhasil lolos lima kali dalam babak penyisihan pertama dan dua kali lolos babak semifinal. Karena itulah aku selalu iri pada Rhea. Meskipun demikian, aku tak pernah bisa membencinya. Kehadiran Rhea adalah seperti matahari bagiku. Ia selalu bisa membuat siapapun nyaman bila berada didekatnya. Ia juga bukan anak yang sombong. Ketika dia lolos pada tahap penyisihan dan aku tidak, ia akan seharian menghiburku dengan mengajakku bermain sehingga aku dapat sejenak melupakan kegagalanku.
Total siswa yang akan berangkat untuk mengikuti Olimpiade hari ini adalah 5 orang. Dua diantaranya berasal dari kelas 12; yaitu aku dan Rhea, dua orang lagi berasal dari kelas 11; yaitu Melian dan Nilsa, serta satu lagi adalah siswa kelas 10 bernama Nesta. Setelah semua siswa berkumpul kami pun segera masuk ke dalam mobil dan berangkat menuju universitas tempat olimpiade diselenggarakan.
Dalam perjalanan, Rhea dan juga teman-teman yang lain sibuk membuka buku catatan untuk kembali mengulas materi yang telah mereka pelajari selama pembinaan intensif beberapa hari ini. Sedangkan aku sedari tadi hanya menahan gugup sambil berdoa kepada Tuhan agar kali ini aku diberikan kesempatan untuk lolos barang hanya pada tahap pertama. Karena sebelum lulus dari sekolah ini, aku ingin membuktikan kepada semua orang yang mendukungku selama ini bahwa dukungan yang mereka berikan kepadaku selama ini tidaklah sia-sia.
Sibuk terlarut dalam kecemasan, aku sampai tak menyadari kalau mobil kami telah memasuki area parkiran kampus. Keringat mulai bercucuran di wajahku. Meski demikian aku mencoba untuk tetap tenang. Aku sudah bertekad akan lolos bapak penyisihan kali ini demi orang-orang yang telah mendukungku. Untuk itu, dengan mengambil napas berat aku mulai turun dari mobil diikuti dengan Rhea dan teman-teman yang lain.
“Tidak semua peserta dalam kompetisi bisa menang. Jadi kalah bukanlah sesuatu yang harus disesali. Yang patut disesali adalah ketika kamu gagal dan tidak mau mencoba untuk kembali bangkit. Jadi jangan tegang ya Ra, berikan yang terbaik dalam dirimu maka hasil yang terbaik akan mengikuti usahamu.” ucap Pak Arif –guru pembimbing siswa olimpiade- sesaat sebelum aku masuk ke dalam ruangan dimana nomor ruangan peserta akan dibagikan.
***
Pada akhirnya aku kembali ke tempat ini. Tempat dengan puluhan pasang meja dan kursi yang terjajar rapi memenuhi ruangan. Kuedarkan pandanganku ke seluruh ruangan bercat putih itu sambil menunggu kakak-kakak panitia berjas biru yang membagikan lembar soal. Sesaat mataku tertuju pada gadis dengan rambut tergerai sebahu yang berada dua baris di depanku sedang komat-kamit entah mengucapkan mantra apa. Ya, dia adalah Rhea. Satu hal yang patut aku syukuri hari ini, yaitu berada pada satu ruang ujian dengan Rhea. Selama ini aku selalu mengerjakan soal olimpiade dalam ruangan yang dipenuhi oleh orang-orang yang sama sekali tak kukenal. Itu adalah salah satu faktor yang membuatku tak nyaman hingga membuyarkan konsentrasiku dalam mengerjakan soal. Untunglah hari ini aku berada satu ruangan dengan Rhea, dan semoga saja hal ini akan memberiku keberuntungan dengan hasil yang memuaskan.
Kertas soal telah dibagikan 20 menit lalu. Empat puluh menit tersisa dan aku telah mengerjakan 25 dari 60 soal yang diberikan. Seperti olimpiade lainnya yang telah kuikuti, soal terdiri dari 25 soal berbahasa Inggris dan 35 soal berbahasa Indonesia. Tentu saja aku akan langsung mengerjakan soal dengan bahasa Inggris. Karena soal berbahasa Inggris hanya akan menanyakan pertanyaan-pertanyaan dasar seputar ekonomi yang dapat terbilang mudah.
Tak terasa 60 menit sudah aku berkutat dengan lembar soal dan kalkulator berwarna pink yang sudah agak butut. Setelah bel berbunyi, kakak-kakak panitia dengan jas biru dan id-card yang tergantung dilehernya mulai berkeliling ruangan untuk mengumpulkan lembar jawaban kami. Aku mengambil napas panjang sebelum menyerahkan lembar jawabanku kepada kakak panitia tersebut.
“Tuhan, ini adalah kesempatan terakhirku mengikuti olimpiade. Aku tidak meminta hasil yang sempurna. Setidaknya izinkanlah aku merasakan bagaimana rasanya lolos pada babak penyisihan.” gumamku saat kakak panitia itu berjalan menjahuiku setelah mengambil lembar jawaban.
“Oke temen-temen, lembar jawaban sudah terkumpul. Pengumuman peserta yang lolos tahap penyisihan akan diumumkan pada pukul 19.00 WIB nanti. Untuk peserta yang lolos tahap penyisihan bisa langsung menghubungi nomor yang sudah tertera di papan” terang kakak itu sambil menunjuk nomor telepon yang entah sejak kapan sudah tertulis rapi di papan tulis.
“Kerja bagus untuk hari ini, temen-temen bisa langsung pulang dan beristirahat,” lanjutnya sembari berjalan keluar ruangan.
***
Sudah hampir lima belas menit aku berada di depan laptop untuk menatap laman web dimana pengumuman akan dibagikan. Belum ada tanda-tanda file berisi pengumuman itu akan muncul pada layar laptopku. Benar saja ini masih pukul 18.00. Masih satu jam dari waktu yang dijadwalkan. Kalian jangan menganggapku bodoh. Aku sengaja masuk web lebih awal karena takut server akan down saat nanti 1000 peserta olimpiade mengakses dalam waktu yang bersamaan.
Kupandangi jam berwarna biru muda yang tergantung di dinding kamarku. Entah kenapa aku merasa bodoh saat ini. Kenapa juga aku harus bersusah payah mengeluarkan tenaga untuk mengangkat kepalakku melihat jam dinding. Padahal didepan mataku laptop sedang menyala yang menampilkan jam dipojok layarnya.
18.55
Lima menit lagi pengumuman akan diunggah di laman web. Keringat dingin mulai mengucur deras membasahi kerudung bergo berwarna hitam yang kukenakan.
18.59
Aku mulai menghitung mundur dari 60, 59, 58,57,56………………..
Dan yap, tepat pukul 19.00 file berisi pengumuman itu telah diunggah dan muncul pada laman web. Kulihat ada banyak file disana. Tentu saja karena ini adalah olimpiade tingkat nasional yang diikuti oleh total 1000 peserta. Jadi, untuk memudahkan peserta menemukan namanya dalam daftar, panitia olimpiade kemudian membagi pengumuman tersebut berdasarkan provinsi asal peserta.
Kugerakkan tanganku untuk menekan file yang bertuliskan “Jawa Timur”. Dengan menutup setengah mataku, kugerakkan kursor untuk scroll deretan nama yang tertera dalam file. Setelah melihat beberapa nama dalam daftar, aku mengetahui satu fakta. Bahwa nama peserta yang lolos dalam babak penyisihan akan diberikan tanda berwarna kuning cerah. Sudah beberapa menit aku mencari-cari keberadaan namaku, tapi tak kunjung kutemukan. Kuulangi lagi untuk melihat dari atas, namun hasilnya tetap saja nihil.
Astaga, benar saja! Gara-gara menekan kursor dengan mata setengah tertutup aku sampai tidak sadar kalau salah menekan file dengan judul “Jawa Tengah”.
“Huh!”
Gara-gara terlalu tegang aku malah bertindak seperti orang bodoh hari ini. Oke! Kali ini aku sudah memantapkan hatiku. Aku tidak akan menutup sebelah mataku seperti apa yang telah kulakukan beberapa saat lalu. Dengan penuh keberanian ku tekan file dengan judul “Jawa Timur” yang berada satu baris dibawah file dengan judul “Jawa Tengah”. Aku mulai menggerakkan kursor dengan hati-hati, takut kalau-kalau namaku akan luput dari pandangan mataku. Dalam sampul tertulis ada 89 peserta yang berasal dari Jawa Timur. Pada urutan keempat ku temukan nama Rhea Angelina ditandai dengan warna kuning cerah. Sudah kuduga dia juga akan lolos kali ini. Aku terus menggerakkan kursor ku semakin kebawah. Namun, sudah pada urutan nomor 58 aku belum juga menemukan namaku. Aku sudah hampir menyerah karena semakin kebawah sudah tidak ada nama lagi yang ditandai dengan warna kuning cerah.
Hampir saja kugerakkan cursor untuk menekan tanda silang di pojok tampilan layar laptop, sebelum aku melihat ada satu nama di urutan paling bawah yang diberikan tanda berwarna kuning. Dan ketika kuintip ternayata itu adalah namaku?
“AAAAAAAAAAAA!!!” teriakku kegirangan menggema ke seluruh ruangan. Untung saja adikku sedang di tempat bimbel dan orangtuaku pergi ke acara kantor Ayah. Kalau tidak mungkin mereka sudah berbondong-bondong ke kamarku dengan wajah cemas.
Namun lupakan semua itu. Ini benar namaku kan? Kakak panitia itu tidak melakukan kesalahan saat memberikan tanda pada namaku kan?
Kalian tidak akan tahu bagaimana ekspresi wajahku saat ini. Kalian juga tidak akan tahu bagaimana perasaan bahagia yang meluap-luap dalam hatiku ketika melihat namaku lolos pada babak penyisihan ini. Aku benar-benar senang sampai tak sadar satu tetes air bening telah mengalir dari mataku. Bukan, ini bukan tangis kesedihan yang biasanya aku lakukan ketika pengumuman seperti ini dilakukan. Tapi ini adalah tangisan kebahagiaan, tangisan kebahagiaan karena telah mendapatkan pengumuman bahagia sebagai jawaban Tuhan atas usaha, doa, kerja keras serta penantian yang selama ini telah kulakukan dengan sabar dan sepenuh hati. Tuhan, terimakasih atas jawaban indah yang telah kau berikan kepadaku lewat pengumuman bahagia ini.