“Alangkah mengerikannya menjadi tua dengan kenangan masa muda yang hanya berisi kemacetan jalan, ketakutan datang terlambat ke kantor, tugas-tugas rutin yang tidak menggugah semangat, dan kehidupan seperti mesin, yang hanya akan berakhir dengan pensiun tidak seberapa.”
-Seno Gumira Ajidarma-
Chairil bersandar pada pilar masjid seusai melaksanakan salat. Letih badannya bekerja seharian. Duduk di depan komputer sepanjang hari pun juga menghabiskan banyak tenaga, terutama pikiran. Begitulah ia melewati hari-harinya, hampir tujuh hari dalam seminggu, belum lagi ditambah pekerjaan tambahan yang harus dilakukan di luar kantor.
Karyawan muda itu banyak menggerutu. Dunia kerja seolah-olah menjadi pabrik percetakan yang menghasilkan manusia-manusia dengan pola dan bentuk yang sama. Barangkali bukan lagi manusia, tapi mesin! Begitu kutuk Chairil dalam hati. Jiwa pecinta kebebasan yang dimilikinya mungkin tidak cocok dengan lingkup pekerjaan yang seputar berangkat-kerja-pulang-gajian saja. Tidak ada tantangan, hanya ada beban. Entah memang seperti itu adanya, atau Chairil saja yang tidak terbiasa.
Baru dua bulan ini dia bekerja, tapi sudah mengalami kesuntukan yang luar biasa. Tekanan tinggi di mana-mana. Tidak bisa berekspresi. Hampa. Itulah pikiran-pikiran negatif yang juga menjalari tubuhnya. Pekerjaan sebagai tim creative marketing perusahaan, yang sejatinya dicintai Chairil, seolah tak membuatnya terpacu lagi.
“Kenapa, Anak Muda?” tanya Subagio, memecahkan lamunan Chairil yang masih bersandar pada pilar. Karyawan senior yang ramah itu baru saja selesai sembahyang.
“Anak muda seperti kamu ini harusnya bertenaga. Masa kalah sama saya,” celetuk Pak Bagio diiringi tawa kecil yang tanpa sadar menyentil Chairil.
“Ah. Saya jenuh, Pak, ternyata suasana kerja begitu-begitu saja,” jawab Chairil lesu. Matanya redup, butuh suntikan semangat. Tubuhnya kokoh, tak ada kurang apapun, hanya saja seolah tak ada jiwa yang mengisinya.
“Hmm,” lelaki yang nyaris seluruh rambutnya berwarna putih itu berdeham, menggetarkan kumis yang menghiasi wajahnya. Matanya takzim menatap Chairil. “Berbiasalah. Pekerjaanmu yang banyak adalah impian para pengangguran,” katanya perlahan.
“Lagian, kamu masih punya tanggung jawab terhadap atasan, lebih-lebih terhadap orang tuamu. Ini bukan tentang dirimu seorang. Jangan disia-siakan,” ujar Pak Bagio beruntun. Nampaknya ia belum selesai bicara.
“Jangan dijadikan beban, nak, berbahagialah. Tetaplah berpergian, carilah hiburan, jika memang kamu membutuhkan. Jenuh itu wajar, tapi jangan sampai meninggalkan pekerjaan,” terang Pak Bagio. Ditepuk-tepuknya pundak lawan bicaranya.
Chairil terpaku. Kata-kata Pak Bagio barusan menyambar sanubarinya. Tanggung jawab. Rasa syukur. Menjaga motivasi. Hal-hal krusial yang terlupa! Selama ini ia terlena akan rasa malas, beban berat, segala kerumitan yang bisa jadi ia ciptakan sendiri. Matanya terbuka lebar. Bukan lingkungan pekerjaan yang menentukan siapa dirinya. Dia sendirilah yang punya kuasa. Chairil seorang manusia yang punya kemampuan mengatur diri, bukan sebongkah mesin yang diatur kerjanya. Semangat yang lama hilang mulai membuncah dari dalam hatinya. Ia hanya perlu mencari hiburan, barangkali sebuah perjalanan.
Pak Bagio masih berbicara satu-dua patah kata. Chairil yang mafhum tinggal manggut-manggut saja. Tak lama kemudian mereka berpamitan, kembali ke kesenangan masing-masing yang disebut rumah. Berdamai sejenak dari hiruk pikuk pekerjaan.
***
Di balkon rumah kosnya, Chairil bersantai sendirian. Panorama Gunung Arjuna terpampang di ujung pandangan. Sabtu pagi itu semakin tenang karena tak ada telepon mendadak dari bosnya, yang mengharuskan dia melakukan pekerjaan tambahan. Secangkir kopi hangat pun terasa nyaman kala melewati kerongkongan.
Perjalanan. Kata inilah yang sepanjang malam kemarin memenuhi kepalanya. Yang menjadi masalah, tak banyak waktu yang tersedia. Senin besok ia harus kembali berjibaku dengan keseharian. Di saat sempit seperti ini, Chairil teringat kawan baiknya semasa SMA, Ihsan. Mereka pernah melakukan perjalanan dalam waktu yang singkat, namun memberikan makna yang mendalam.
Pagi itu juga ia mengontak Ihsan. Sahabat lamanya itu bekerja lepas sebagai fotografer dan penulis kisah perjalanan, maka ia tak begitu diikat rutinitas, pikir Chairil. Ternyata, semesta mendukung. Ihsan yang asli Malang, sedang tidak ke mana-mana dan juga gatal untuk berjalan-jalan. Pilihan mereka pun jatuh kepada pendakian gunung. Mengingat waktu yang tak begitu banyak, keduanya memilih menuju Gunung Panderman. Gunung yang sudah pernah mereka taklukkan semasa SMA.
Diraih lagi barang-barang petualangannya yang terkungkung di lemari tua. Daypack, sepatu gunung, dan tenda kecil miliknya sudah diselimuti debu, lama tak dijamah. Sejak lulus kuliah, lalu sekembalinya dari rumah di Batam, Chairil tak pernah lagi berkelana menapaki alam. Kembali ke Malang pun semata-mata karena alasan pekerjaan. Tapi hari ini, ia pergi untuk mencari kebahagiaan!
***
Siang harinya, dengan mengendarai sepeda motor, Ihsan menjemput Chairil di rumah kosnya. Bagi Chairil, hal ini mengingatkan kenangan seputar tahun pertamanya di SMA: Ia selalu membonceng Ihsan ke mana-mana, karena sebagai anak rantau ia tak langsung dibekali sepeda motor. Dan kali ini, mereka berdua berboncengan menuju titik awal pendakian Gunung Panderman.
Canda tawa, umpatan, dan sumpah serapah kedua sahabat lama ini memecah dinginnya semilir angin sepanjang perjalanan menuju Kota Batu. Percakapan nostalgia jadi alat mencari kebahagiaan yang tertinggal di belakang. Perlahan-lahan, Chairil menemukan kembali suasana hatinya.
Menjelang sore mereka sudah sampai di titik awal pendakian. Setelah menyelesaikan seluruh urusan administrasi, sambil istirahat sejenak, mereka melengkapi perbekalan dengan membeli di toko kecil yang ada di sekitar. Barulah mereka mulai melangkah.
“Kakimu yang dipakai kerja terus itu masih kuat mendaki gunung nggak, Ril?” tanya Ihsan meledek.
Chairil tersenyum pahit. “Heleh, kuat ini, Bos!” celetuknya. Gelak tawa mereka berdua menyusul kemudian, di tengah perjalanan menyusuri hutan.
***
Pendakian Gunung Panderman sejatinya tak memerlukan waktu lama, cukup 2-3 jam untuk mencapai puncaknya. Hanya saja, karena tak selincah dulu, langkah Chairil sedikit lambat. Medan yang licin juga menambah kesulitan. Chairil beberapa kali terpeleset, tapi ia berpikir di situlah letak kebahagiaannya. Ia dan Ihsan pun baru mencapai puncak ketika langit sudah gelap, tak sempat menyaksikan matahari yang kembali ke peraduannya dari atas sana.
Mereka pun beristirahat dan mendirikan tenda, lalu setelahnya menikmati kopi seduhan Chairil dalam dekapan langit malam. Tidak seperti akhir pekan biasanya, Gunung Panderman kali ini cukup sepi, tak banyak pendaki lain. Tapi hal tersebut bukan masalah, karena mereka tak ke gunung untuk mencari keramaian.
Obrolan meluas ke sana kemari, berdesir kencang bak angin malam. Bergelas-gelas kopi habis, berlinting-linting rokok lenyap diisap. Menemani obrolan dua sahabat lama seputar dunia yang fana. Tanpa sadar dini hari sudah datang, memaksa mereka memejamkan mata sejenak. Mengumpulkan energi untuk menyambut matahari pagi.
“Ril, bangun, Ril! Sunrise, sunrise!” teriak Ihsan sambil menggoyang-goyangkan tubuh Chairil. Ia sudah siap dengan kamera yang talinya melingkar pada lehernya.
Chairil sayup-sayup membuka matanya, menggumam tidak jelas untuk merespon Ihsan. Perlahan-lahan ia bangun, lalu keluar dari tenda. Di luar, samudera awan terpampang sejauh matanya memandang, dihiasi sinar kemuning matahari yang bangkit dari tidurnya.
Ihsan sudah sibuk dengan kameranya, mencari sudut terbaik untuk mengabadikan keindahan ciptaan-Nya. Sementara Chairil hanya memandang takzim ke arah matahari pagi. Meski tak berkata apa-apa, hatinya luar biasa bungah. Ia menyadari, selama ini hanya lupa bersyukur dan berbahagia.
Padahal, bahagia hanya sesederhana itu.