Oleh: Fajar Ramadhan*
Tangis bayi pagi ini.
Mengalun perlahan, menemui jiwa –jiwa yang kebingungan,
Matanya tak kuasa terbuka,
Mulut yang menganga dan tetes air mata,
Memancing sumpah serapah, Sampah.
Dia tak mampu bicara, namun tubuhnya adalah bahasa.
Di atas tanah yang semakin menyiksa, Dia berusaha tega.
Menolak takdir, yang membawanya terlahir.
“jangan turunkan aku pada keluarga melarat”, ucapnya murni,
Dari hati yang tak berani bermimpi.
Tangis bayi pagi ini.
Dua-tiga bayi diayun diatas pelukan ibunya.
Ibu yang murung dirundung derita.
Selendang mengikat erat mereka berdua,
Terus mengayun,
Terus berpura-pura,
Terus bernyanyi,
Tapi tangis tak kunjung berhenti.
Ayahnya baru saja dipecat dari tempat kerja,
Tangis bayi semakin menjadi.
“jangan aku dilahirkan di masa ini”.
Bayi itu tak tega menghisap susu ibunya,
Yang makin hari semakin hambar tak ada rasa,
Air susu yang mengandung perjuangan orang miskin,
Yang menandingi semua jenis vitamin.
Derita dan putus asa, dihisap habis tak tersisa.
Berusaha tegar dan bertahan,
Keluarga itu tetap berdiri melawan wabah mematikan.
Tangis bayi pagi ini.
Memberitakan kepada semesta.
Ibu yang kelaparan,
Bapaknya tak punya penghasilan,
Mencari pinjaman, tapi tak mau disepelekan,
Bayi itu menolak dilahirkan.
Tangis bayi membawa siang,
Tangismu abadi.
Deritamu abadi.
*)Penulis merupakan mahasiswa Ilmu Pemerintahan angkatan 2019 Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Brawijaya. Saat ini aktif sebagai anggota Divisi Litbang LPM Perspektif.