Dulu tahun 2015 ketika fase awal sebagai mahasiswa baru, teman-teman dari kampus lain mengibaratkan Universitas Brawijaya (UB) sebagai kampus jin. Penyematan kata “jin” bukan untuk memberikan label bahwa UB adalah kampus horor, namun sebagai bentuk satire mengenai pesatnya pembangunan infrastruktur, terutama gedung-gedung di UB dibanding dengan kampus sekitarnya. “Mungkin jinnya dateng malem-malem, lihat saja itu besok gedung udah jadi, terus pasti bangun lagi,” gurau seorang teman.
Pembangunan gedung-gedung tersebut memang sejalan dengan penerimaan mahasiswa baru yang dari tahun ke tahun berjumlah belasan ribu orang. Untuk 2018 saja, UB menerima sebanyak 11.700 mahasiswa baru (maba), bahkan menjadi kampus yang menerima mahasiswa paling banyak. Di satu sisi orang boleh saja memberikan apresiasi, tapi UB abai terhadap konsekuensi.
Pada 2016 lalu saja UB menerima sebanyak 12.050 orang. Lalu 2017, mengalami pemangkasan sehingga menjadi 10.000 orang dan 2018 sebanyak 11.700 orang. Jadi jika ditotal, dalam periode tiga tahun saja UB telah menampung sebanyak 33.750 mahasiswa. Jumlah tersebut tergolong fantastis, coba saja bandingkan dengan kampus tetangga seperti Universitas Negeri Malang (UM). Dilansir dari laman resminya, dalam dua tahun terakhir UM hanya menerima maba dikisaran angka 8000-an. Pada 2017, menerima sebanyak 8.167 orang, kuota maba naik pada 2018 dengan menerima sebanyak 8.521 orang.
Gap tersebut juga menjadi sangat kontras jika dibandingkan dengan Universitas Islam Negeri (UIN) Maulana Malik Ibrahim Malang. Berdasarkan rilis dari website resmi kampus tersebut menyatakan bahwa tiap tahunnya hanya dapat menampung tidak lebih dari 3.500 orang maba. Hal itu karena kapasitas mahad, yang merupakan tempat pemondokan wajib bagi maba UIN memiliki kapasitas terbatas.
Maka dengan jumlah mahasiswa di UB yang begitu banyak membuat kampus tersebut menyisakan berbagai permasalahan, salah satunya adalah mengenai parkir kendaraan. Tata kelola parkir di UB adalah isu yang selalu mencuat tiap tahunnya. Berbagai kebijakan pun telah diterapkan, namun hasilnya nihil, tidak mampu mengatasi penumpukan kendaraan bahkan tergolong melebihi kapasitas.
Menilik ke belakang, polemik mengenai parkir pertama kali mencuat pada 2012. Ketika itu pihak rektorat memberlakukan tarif parkir kendaraan dengan menjual stiker seharga Rp50.000 untuk parkir kendaraan selama satu semester. Penolakan muncul dari pihak mahasiswa dengan membentuk Gerakan Sepuluh Ribu Mahasiswa Menolak Biaya Karcis Masuk Universitas Brawijaya (Gesek Biadab) yang melakukan aksi di depan rektorat sehingga kebijakan tersebut dihapuskan. Selang 3 tahun, melalui Surat Edaran Rektor No: 7479/UN.10/TU/2015, UB menerapkan kembali penggunaan stiker. Namun, kebijakan yang bertujuan untuk menghindari tingginya volume kendaraan di dalam UB ini hanya bertahan dalam hitungan bulan.
Gagalnya penerapan kebijakan tersebut tak cukup membuat UB merasakan asam garam. Pada awal 2019, penerapan kebijakan stiker tersebut diberlakukan lagi. Hasilnya pun sama, nihil, hanya bertahan dalam kurun waktu tiga bulan. Tak hanya melalui stiker, upaya untuk mengurangi padatnya kendaraan dilakukan dengan melarang maba membawa kendaraan selama satu semester. Hasilnya pun sama nihilnya. Tidak ada pengawasan yang ketat dari pihak rektorat maupun pemberlakuan sanksi, sehingga maba tetap membawa kendaraan masuk ke UB.
Bongkar pasang kebijakan parkir yang dipraktikkan pihak Rektorat UB tak ubahnya oase di tengah padang pasir. Solusi yang ditawarkan sesungguhnya tak pernah menyentuh inti permasalahan, yakni berjubelnya jumlah mahasiswa yang tidak sebanding dengan lahan kampus itu sendiri. Hal ini pun diakui oleh Kepala Bagian Sarana dan Pra-sarana, Marpu’ah, seperti dilansir pada laman LPM Perspektif.
Lalu pertanyaannya, mengapa pihak Rektorat UB tidak memangkas saja kuota mahasiswa dengan mengadaptasi kuota mahasiswa di UM atau bahkan di UIN? Mudah saja mungkin dalam bayangan kita. Fakta menyatakan tidak pernah semudah itu, dalam Rencana Strategis UB 2014-2019 tertulis dalam analisis SWOT bahwa salah satu yang menjadi kelemahan UB adalah masih bergantungnya pendapatan kampus pada Sumbangan Pembinaan Pendidikan (SPP) atau yang sekarang sudah berbentuk Uang Kuliah Tunggal (UKT).
Dokumen tersebut menuliskan bahwa 60% pendapatan UB berasal dari UKT mahasiswa dari total jumlah pendapatan sebesar 1,3 triliun pada 2017, berdasarkan Laporan Keuangan UB yang telah diaudit. Bisa dibayangkan jika terjadi pemangkasan kuota maka kegiatan operasional di UB mandek di tengah jalan. Sebenarnya mudah saja melakukan pemangkasan kuota mahasiswa, namun tidak mudah bagi UB untuk melepaskan diri dari logika bisnis pendidikan.
Berjubelnya jumlah mahasiswa juga dirasakan oleh pihak dosen. Sebagai contoh, di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) dalam satu ruangan kelas bisa diisi lebih dari 50 mahasiswa, belum lagi dosen mengampu bisa lebih dari 30 mahasiswa. Ini tentu dikeluhkan oleh dosen, seperti yang telah dilaporkan pada buletin LPM Perspektif FISIP UB edisi 3 tahun 2016.
Kembali ke permasalahan parkir. Jika ditilik kembali, pada 2012 setelah dihapuskannya kebijakan stiker, pihak rektorat menerapkan rencana parkir terpusat untuk memecah padatnya kendaraan di UB. Parkir terpusat tersebut akan dibangun di samping gedung FISIP dan akan direalisasikan pada 2015. Namun, angin segar tersebut tersapu begitu saja oleh logika bisnis pendidikan yang diterapkan UB. Lahan kosong tersebut saat ini telah dibangun Gedung C FISIP, yang nantinya difungsikan untuk ruang prodi/jurusan dan juga direncanakan sebagai pusat konsultasi psikologi, yang tentunya mendatangkan pendapatan baik untuk Fakultas maupun Universitas. Sebenarnya di samping gedung tersebut ada pula lahan kosong yang sebelumnya dijadikan lahan parkir, namun logika bisnis kembali membabat semua itu. Kini lahan tersebut dimanfaatkan untuk membangun asrama, yang intinya satu, memperluas sayap bisnis Universitas.
Menurut saya sah-sah saja kampus mengusahakan pendapatan melalui cara tersebut. Akan tetapi, apakah logika bisnis tersebut dapat diterima dengan mengorbankan pelayanan serta penyediaan sarana dan pra-sarana kepada mahasiswa. Tentu yang menjadi pertanyaan lagi adalah, jika kegiatan bisnis tersebut dilakukan untuk mendatangkan pendapatan, lalu mengapa UB masih saja menggantungkan pendapatan dari UKT mahasiswa berdasarkan laporan keuangan yang telah diaudit dari 2015 sampai 2017? Dari kasus parkir kita dapat merefleksikan dan membaca logika bisnis UB mau untuk siapa?
Lalu Theo Ariawan Hidayat merupakan jurnalis pada salah satu media di Kota Surabaya. Dulu pernah berproses sebagai pemimpin redaksi LPM Perspektif tahun 2017.