Lompat ke konten

Polemik Penyelesaian Kasus HAM Masa Lalu Belum Menemui Ujung

mcw diskusi ham (20-4)
Babur Rahman (kanan) selaku moderator, Otto Nur Abdullah (tengah) dan Johan Effendi (kiri) tengah berdiskusi dalam Acara NGOPI di Wisma Kalimetro Rabu Malam (20/4). (Ade/Perspektif)

Malang, PERSPEKTIFKomunitas Kalimetro, sebuah komunitas sosial,budaya,dan juga seni bersama dengan Malang Corruption Watch (MCW) menyelenggarakan sebuah acara ‘Ngobrol Pintar’ (NGOPI)  yang membahas mengenai penegakan dan persoalan Hak Asasi Manusia (HAM) di Indonesia. Seorang Komisioner Komisi Nasional (Komnas) HAM yaitu Otto Nur Abdullah serta Johan Effendi selaku Kepala Bagian (Kabag) Biro Pengaduan Komnas HAM diundang sebagai pembicara. Acara ‘NGOPI’ ini berlangsung pada Kamis malam (20/04) di Wisma Kalimetro, Jalan Joyosuko Metro No.42A Merjosari, Malang.

“Segala sesuatu di samping kita, yang kita alami sehari-hari sebenarnya adalah HAM itu sendiri. Hak kita atas lingkungan yang sehat, hak pelayanan publik, hak atas kesehatan reproduksi bagi perempuan, hak eksistensi, semua adalah HAM,” ucap Babur Rahman selaku moderator dalam membuka acara.

Permasalahan mengenai HAM semakin marak terjadi di Indonesia, mulai dari permasalahan HAM ringan hingga yang berat yang menyangkut permasalahan hajat hidup orang banyak dimana HAM mereka dilanggar. Komisioner Komisi Nasional (Komnas) HAM, Otto Nur Abdullah mengungkapkan pentingnya HAM bagi setiap individu,untuk seorang yang terlibat dalam gerakan masyarakat sipil seperti kemanusian dan juga HAM.

“Instrumen yang bisa memproteksi diri kita adalah HAM. Kita bukan kelompok bersenjata, senjata kita adalah HAM. Tidak ada alat untuk melindungi kita selain HAM,dan tidak ada senjata tempur yang bisa kita gunakan dalam gerakan sosial dalam gerakan protes selain HAM bagi orang yang terlibat dalam gerakan sipil,” tutur Otto.

Selanjutnya Otto mencoba berbagi cerita mengenai permasalahan HAM yang menyangkut masalah permasalahan HAM yang terjadi di masa lalu. Otto menjelaskan bahwa di Komnas HAM ada yang dikenal dengan kasus-kasus masa lalu sampai gerakan tahun 1998, diantaranya kasus Semanggi, Talang Sari, Trisakti, Tanjung Priok, hingga kasus tahu ‘65. “Kasus-kasus tersebut masuk dalam keranjang masa lalu yang berkasnya telah masuk ke Jaksa Agung. Namun terjadi ‘pingpong’, dimana berkas-berkas dari kejaksaan dikembalikan ke Komnas HAM, (lalu) dari Komnas HAM dikembalikan (lagi) ke Jaksa Agung ” ungkapnya.

Permasalahan yang terjadi antara Komnas HAM dan Jaksa Agung tersebut mengakibatkan kasus-kasus yang terjadi di masa lalu itu belum sepenuhnya terselesaikan. Maka,ketika rezim pemerintahan Jokowi-Jusuf Kalla  melalui Nawacita yang menjanjikan bahwa kasus-kasus tersebut (kasus masa lalu seperti kasus ‘65, Trisakti, Tanjung Priuk, red.) akan diselesaikan.

“Hal yang terjadi pertama adalah melalui Polhukam (Politik Hukum dan Keamanan ,red.) yang diinstruksikan bahwa kasus ini (kasus-kasus masa lalu, red.) untuk diselesaikan,lalu muncul agenda pembedahan kasus bersama Komnas HAM, Polhukam dan Kejaksaan Agung di bulan Maret 2016,” terang pria kelahiran Yogyakarta tersebut.

Lebih lanjut, Otto menerangkan bahwa dalam penyelesaian kasus-kasus masa lalu mengenai HAM tersebut, ketiga pihak yang bersangkutan yaitu Komnas HAM, Polhukam, dan Kejaksaan Agung dituntut untuk memperhitungkan bagaimana metode mereka dalam penyelesaian kasus tersebut.

“Hal yang perlu diperhatikan dan diperhitungkan adalah pertama mengenai kasus yang mana yang perlu untuk diselesaikan dahulu, apakah kasus ’65 ataukah kasus yang lain. Kedua, tidak berdampak politik nasional ataupun dampak yang dapat menggoyahkan posisi rezim. Ketiga, sebelum 2017 atau batas penyelesaian kasus ini harus sudah selesai,karena setelah 2017 maka  akan masuk perhatian orang ke  2019 ke pemilihan. Jadi,jika tidak ada tanda-tanda akan selesai katakanlah akhir Agustus maka kasus ini tidak akan dibahas lagi,” jelas Otto yang merupakan lulusan dari Universitas Gajah Mada (UGM).

Setelah mengetahui pilihan pertama, maka kasus ’65 dipilih untuk diselesaikan pertama kali sehingga dipisahkan dari kasus-kasus masa lalu lainnya. Selanjutnya,diadakan simposium yang berfungsi sebagai langkah awal mempertemukan para pihak untuk mencari solusi penyelesaian.

“Terdapat pihak kiri yang menuntut ‘truth seeking’, pihak  kanan menuntut ‘truth history’ (menjawab persoalan ada masalah apa di negara ini sehingga timbul kasus ‘48 sampai kasus ‘65). Pihak kanan juga menuntut bahwa membahas ’65 harus dari kasus ’48. Maka, simposium membahas dari ’48 dan diselesaiakan secara ‘truth history’,” terang Otto.

Otto mengakui bahwa memang belum ada kejelasan mengenai penegakan HAM untuk menyelesaikan kasus masa lalu khususnya kasus ’65 yang masih terbengkalai. Menurutnya,pihak-pihak saat ini dalam menyelesaikan kasus pelanggaran-pelanggaran HAM di masa lalu tersebut mengikuti filosofi orang Jawa dalam memakan bubur panas.

“Apa yang dilakukan oleh pihak-pihak sekarang adalah seperti memakan bubur panas dari tengahnya, bukan dari pinggir. Hal tersebut karena ’65 dulu yang diselesaikan. Sebenarnya ada pemikiran alternatif dengan mempertimbangkan dampak nasional dan sebagainya, yaitu dengan melakukan regionalisasi terhadap masalah. Artinya masalah Talang Sari diselesaikan di Lampung, Tanjung Priuk di Jakarta, kasus ’65 di Palu. Tidak secara nasional, supaya mengurangi efek domino,” ungkap Otto.

Adanya ketidaksejalan­­­­­­­­­­­an berfikir antara Komnas HAM dan Kejaksaan Agung mengenai pencarian bukti yang berpacu pada Undang-Undang Nomor 26 juga ikut menghambat dalam penegakkan HAM untuk kasus-kasus masa lalu.

“Jadi cara berfikir Jaksa Agung itu dalam melihat Komnas HAM seperti Jaksa Agung melihat pihak kepolisian yang punya kewenangan penyidikan. Jadi ketika berkas itu (berkas masalah kasus masa lalu,red.) masuk ke Kejaksaan Agung sudah harus ada dua bukti yaitu bukti permulaan dan penyidikan. Itu prinsip secara Yuridis, ndak sanggup itu. Tidak usah ‘65 apalagi 48, kasus Aceh kemarin saja sulit mendapatkan itu (bukti, red.),” tegas Otto yang sebelumya juga menjadi seorang aktivis.

Otto mengatakan, oleh sebab itu penyelesaian jalur Yudisial semakin kecil peluangnya, sehingga tergeser ke penyelesaian Non-Yudisial yang artinya pembangunan Komisi Kebenaran. Namun, sebelumya Otto mengungkapkan bahwa pemerintah tidak akan meminta maaf,namun hanya menyampaikan penyesalan atas terjadinya peristiwa itu (kasus ’65, red.).

“Muncul statemen pemerintah tidak akan meminta maaf. Padahal kalau dibangun komisi kebenaran, otomatis pemerintah akan meminta maaf. Tapi ketika pemerintah sudah mengatakan tidak akan meminta maaf, maka penyelesaian Non-Yudisial tidak akan berjalan melalui Komisi Kebenaran,” Melihat hal tersebut, Otto menambahkan, “Kalau itu tidak terjadi, apakah penyelesaian kasus akan terjadi, tentu tipis,” tutup pria berkumis tersebut.

Menanggapi kebuntuan solusi untuk mengatasi masalah HAM di Indonesia, Johan Effendi memberikan alternatif lain. Menurutnya, permasalahan HAM ini tidak akan mudah untuk selesai jika tidak adanya suatu dorongan besar bersama. “Penegakan Hukum HAM tidak akan bisa mengatasi segala permaslahan jika tidak ada gerakan nasional,” ujarnya.

Gerakan sosial yang massif ini menjadi penting agar Komnas HAM tidak bekerja sendiri. Karena kerja Komnas HAM tidak pada tataran pengambilan keputusan. “Komnas HAM hanya rekomendasi saja, karena itu perlu adanya gerakan sosial,” terang pria berjaket kulit itu.

Karena itu, Komnas HAM pun sering mengadakan diskusi semacam ini untuk membangun kesadaran masyarakat. Ia berpikir bahwa masyarakat Indonesia ini terbagi-bagi (terfragmentasi), yang bisa disebabkan karena perbedaan geografis dan budaya. ”Komnas HAM berusaha untuk menjahit fragmen masyarakat di Indonesia untuk bersatu,” aku Johan. (ank/ade)

 

(Visited 213 times, 1 visits today)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Terbaru

Iklan

E-Paper

Popular Posts

Apa yang kamu cari?