Oleh: Rifky Pramadani J.W.*
Karikatur oleh: Faizal Ad D.
Indonesia saat ini berstatus sebagai negara dengan populasi muslim terbesar di dunia, menurut data Badan Pusat Statistik hampir 90% penduduk Indonesia beragama islam dan sebagian lainnya adalah pemeluk agama lain. Walaupun tidak semua penduduk Indonesia adalah muslim tetapi fakta tersebut secara tidak langsung mengkonstruksi masyarakat Indonesia sebagai masyarakat yang religius. Yang harus dicermati adalah apakah kondisi sosialnya benar-benar mencerminkan religiusitas, jika nantinya data tersebut hanya menjadi sekedar data yang sifatnya administratif.
Tak perlu jauh-jauh untuk meneliti seluruh masyarakat Indonesia yang ruang lingkupnya sangat luas, mempersempit ruang lingkup dengan menjadikan mahasiswa sebagai sampel. Mengingat jumlah mahasiswa di Indonesia sangat besar, kurang lebih berjumlah 4,8 juta (Kompas Online, Minggu 23 November 2014), tentu bukanlah jumlah yang main-main.
Jika dirata-rata setiap kampus ada sekitar 10.000 mahasiswa, sangat masuk akal jika banyak pihak akan memanfaatkannya sebaik mungkin untuk mendulang rupiah dengan jumlah yang fantastis. Sudah menjadi rahasia umum jika di sekitar kampus-kampus bermunculan tempat-tempat hiburan yang menjajakan kesenangan dan kepuasan instan. Kondisi ini didukung kecenderungan mahasiswa yang memiliki kemampuan financial diatas rata-rata yang lebih memilih untuk bersenang-senang atau berperilaku hedonis. Pihak-pihak yang mengambil keuntungan dari bisnis ini justru “memfasilitasi” perilaku hedonis dengan pelaku anak-anak muda utamanya mahasiswa. Padahal dengan menjamurnya bisnis-bisnis hedonis yang menjadi pertaruhan adalah ranah moral, agama utamanya nilai-nilai keimanan mahasiswa.
Nilai etik kebudayaan luhur khas ke-timur-an yang sangat lekat dengan konsep religiusitas dan wahyu mulai luntur dan perlahan digantikan dengan nilai-nilai ke-barat-an yang menuhankan individualisme. Kedua kebudayaan yang membawa nilai-nilai tertentu ini akan saling berbenturan, seperti yang diungkapkan Huntington dalam Benturan Antar Peradaban.
Apakah dengan dalih “agama adalah urusan privat” lantas nilai-nilai wahyu dikesampingkan? Tidak sesederhana itu bukan? Apalagi dengan bangga mempertunjukkan hidup yang tak memiliki wahyu keimanan. Padahal doktrin keimanan sudah dibuat sedemikian rupa untuk dapat dibumikan sehingga tidak mengawang-awang dan doktrin keimanan tersebut disebarkan oleh “manusia pilihan” atau “rasul” Tuhan sehingga jelas sasarannya adalah sesama manusia.
Yang banyak dikhawatirkan dari perilaku-perilaku hedonis ini bukan hanya sekedar pertaruhan keimanan, tetapi juga berpeluang “mematikan” Tuhan lewat pertaruhan keimanan tersebut. Pertaruhan keimanan dengan pola perilaku hedonisme ini mungkin cocok jika dikaitkan dengan ungkapan seorang filosof Friedrich Nietzsche dalam bukunya, Sabda Zarathustra. Nietzsche menyebut dalam diri manusia yang hanya berburu kesenangan dan kepentingan duniawi, tuhan telah mati. Tentu ungkapan Nietzsche tak bisa diartikan secara literal, karena selanjutnya Nietzsche juga menyebut bahwa tuhan telah mati karena dibunuh oleh makhluknya sendiri. Jika dikaitkan dengan nilai-nilai keimanan, ungkapan tersebut bermakna sangat filosofis. Yakni berkeinginan untuk menunjukkan kepada masyarakat bahwa hidup harus selaras dengan nilai-nilai keimanan, tidak mungkin hidup tanpa kawalan nilai-nilai keimanan. Jika Tuhan hidup dalam dirinya tentu manusia tidak mungkin dia berpikiran atau bahkan berkeinginan untuk “mematikan” Tuhan dalam kehidupannya.
Lantas yang menjadi pertanyaan adalah apakah keimanan masih menjadi pondasi berkehidupan dan menjadi landasan berpelikaku dan bermasyarakat? Perlu ada pengawalan khusus terhadap pola perilaku mahasiswa yang berpandangan hedonis, terlebih terdapat kecenderungan di masyarakat yang mulai menganggap wajar perilaku hedonis. Padahal mahasiswa dipandang sebagai kaum intelektual dan digadang-gadang menjadi penerus bangsa sehingga wajar jika sorotan terhadap kehidupan mahasiswa sangat tinggi. Harus mulai ditumbuhkan kesadaran dalam diri mahasiswa bahwa kehidupan mahasiswa bukan hanya kehidupan duniawi, masih ada kehidupan rohani yang tidak bisa dipisahkan darinya. Sebab kehidupan rohani dan keimanan itulah yang seharusnya menjadi pondasi bagi mahasiswa dalam bermasyarakat.
Tidak adil rasanya jika hanya berpandangan mahasiswa adalah pelaku-pelaku hedonisme, jika dipandang dari sisi lain harus dipahami bahwa mahasiswa hanyalah korban dari pelaku bisnis yang memberi tempat bagi mahasiswa berpandangan hedonis. Harus ada keteguhan pendirian pada diri masing-masing mahasiswa untuk tidak sampai jadi korban dari tekanan-tekanan perilaku hedonis serta ada komitmen untuk menegakkan supremasi keimanan dalam berkehidupan. Hal tersebut bisa dijadikan modal bagi mahasiswa untuk bermasyarakat sesuai dengan tuntutan moral. Dengan demikian mahasiswa sebagai kaum intelektual juga dipandang sebagai masyarakat yang memiliki keberadaan keimanan.
*)Mahasiswa Hubungan Internasional 2013
Anggota Divisi Sastra LPM Perspektif 2015
(Visited 200 times, 1 visits today)