Kota hujan. Kota yang seperti kota dalam puisi, kota dalam dongeng. Hujan selalu berbuah seperti tumbuhan setiap hari. – Rizkia Nur Jannah, 2014
Aku menunggu di suatu siang, di perempatan pinggiran kota, namaku sasha. Saat ini pertengahan bulan April. April yang bukan lagi milik musim kemarau, bukan pula milik musim hujan, semua bisa memiliki, tergantung siapa yang lebih dulu bagun pagi. Cahaya matahari tumpah tanpa tujuan. Udara seperti senyawa logam. Kadang kita tak bisa membedakan mana asap kendaraan bermotor, mana rasa kesal. Semua terasa sama getirnya dikota yang harusnya berhawa dingin ini.
Dari sela-sela dedaunan kulihat motor Praja mulai mengarah menujuku, tenang, seperti angin dini hari. Praja tersenyum, aku tersenyum, lalu tangannya dengan sigap mengambil helm untukku.
Aku masih sering malu-malu untuk memegang erat lingkar pinggangnya, Praja mungkin saja mengerem mendadak, atau berkecepatan lebih dari batas normal kendaraan roda dua dalam kota. Asal kau tahu, ketika di jalan raya, orang-orang di kota ini akan lupa segala sesuatu, bahkan dirinya sendiri. Tapi dia tak pernah ingin seperti lagu-lagu pop yang mengeksplorasi rasa sakit dan penderitaan. Katanya, meski yang dia punya hanyalah rongsokan besi simbol prestise rendahan kaum urban, tapi Praja bangga bisa memboncengku dengan hasil jerih payahnya.
Baru saja aku merantau dikota ini. Kota hujan. Kota yang seperti kota dalam puisi, kota dalam dongeng. Hujan selalu berbuah seperti tumbuhan setiap hari. Praja bilang langit disini seperti warna kopi susu. Sebelum berangkat dia sempat menerka-nerka, apakah akan kita petik hujan lagi hari ini ? dia harus terlebih dulu melintasi jajaran rumah sepanjang pinggir rel kereta api, deretan pohon pisang, juga perlintasan tempat mobil dan sepeda motor menyebrang. Kembali melewati gapura selamat datang, sebelum akhirnya menuju rumah berdinding ungu, menjemputku.
Aku khawatir kita akan kehabisan tiket bisokop jika tak buru-buru, tapi siapa yang mau disalahkan atas kemacetan kota ini? kendaraan sudah seperti hewan ternak yang selalu beranak pinak. Orang-orang di kota ini begitu mendambakan kota yang maju seperti kota-kota dunia pertama, namun tingkah mereka? Semakin hari semakin primitif saja. Rasanya tak perlu berkelu kesah pada pemerintah, mereka sudah terlalu kasihan untuk selalu disalahkan oleh setumpuk keluhan.
Praja kembali memacu motor, menyelinap di antara sela mobil-mobil yang ditawan kemacetan. Hal yang dibenci para pengendara mobil itu, begitupun dia.
Sebuah mall megah dan futuristik. Lagi-lagi simbol tentang tentang seberapa jauh kita telah menghancurkan kota ini. Setiap melihat bangunan-bangunan megah yang menjulang, Praja sering menceritakan tentang bayangannya, jutaan tahun kemudian ketika manusia sudah berganti generasi atau bahkan telah punah nanti, mungkin gedung-gedung ini masih tetap ada, meski hanya puing-puingnya. Tertimbun tanah dan debu-debu asteroid. Lalu manusia masa depan akan menemukan bangunan itu dan akan terkagum-kagum melihatnya. Mereka berpikir bagaimana orang primitif bisa membuat bangunan semegah ini. Mereka akan menggali, meneliti, menduga-duga, membuat hipotesis, mengenai bangunan artefak yang mereka temukan. Apakah menggunakan ilmu sihir atau matematika. Persis seperti apa yang kita lakukan pada saat meneliti sisa-sisa bangunan Romawi atau makam-makam raja Mesir kuno.
Setelah motor Praja dititipkan di parkiraan basement, kita menuju bioskop di lantai paling atas. Musim liburan, orang berlalu lalang, berbondong-bondong menuju pusat perbelanjaan. Berpasang-pasang kekasih, berpuluh-puluh keluarga, beberapa mahasiswa yang memhambur-hamburkan uang bapaknya. Memamerkan seberapa glamour penampilan mereka, memamerkan betapa mesranya mereka dengan pasangannya, memamerkan betapa bahagianya mereka berada di tempat yang megah ini, siang ini. Mall akan selalu mengabdi pada mereka yang haus akan hiburan, kemewahan, dan para pemuja konsumerisme. Puluhan butik dan departement store berjajar di setiap lantai, tempat bermain anak-anak, toko buku, restoran keluarga yang menawarkan masakan tradisional maupun fast food Amerika.
Aku salah memasuki antrian pembelian tiket, ketika keluar antrian, dia telah terlebih dulu membeli tiket. Aku hanya melempar senyum sekilas dan tak ingin memperdebat siapa yang harusnya membeli.
Kita sampai di bioskop tak terlambat, aku sempat terdiam sejenak mendengar lagu bagus yang diputar pada sebuah trailer film. Yang dibintangi oleh Chris Evant “lagunya bagus” kataku, “lagu siapa sha?” tanya Praja, “aku tak tahu tapi aku suka”, belakangan aku tau dari internet itu adalah sebuah lagu dari sebuah penyanyi John Lennon berjudul Written. Film belum juga di mulai. Kita membicarakan segala sesuatu. Tentang tugas kuliah yang tidak ada habisnya. Tentang kebiasaan aneh masing-masing teman kita. Praja lalu bercerita tentang apa yang biasa dilakukan keluarganya ketika mereka pulang kampung ke Jawa tengah. Ketika beberapa keluarga dari perantauan telah berkumpul, mereka akan mengundang wayang kulit untuk tampil semalam suntuk. Orang-orang tua akan menyimak dengan khidmat saat cerita berlangsung, dan akan terpingkal-pingkal saat para punakawan melawak. Dia lebih sering bingung, karena tidak mengerti apa yang dibicarakan oleh dalang. Praja memilih tidur saja. Aku tertawa beberapa detik lalu mencuri pandang ke arah wajahnya yang samar-samar terkena cahaya layar bioskop. Aku suka saat-saat seperti ini, kita duduk bersebelahan, kedekatan hanya dibatasi sisi kursi bioskop, semangat menyaksikan film dimulai. Tertawa lepas tanpa alasan yang jelas.
Film ini bercerita tentang pengkhianatan seorang polisi yang megambil setting di Indonesia, aku menutup mata beberapa kali ketika ada adegan pembunuhan. Dan beberapa kali pula Praja meletakkan tangannya di kepalaku.
Film usai. Orang-orang berhamburan keluar, sementara aku masih malas-malasan di kursi. Kita meninggalkan bungkus pop corn yang kita beli sebelum memasuki bioskop tadi. Begitupun dengan penonton yang lain.
Keluar dari bioskop, kita mencari tempat makan. Setelah keliling-keliling akhirnya kita memutuskan untuk makan di sebuah restoran dengan konsep kumpulan warung tradisional. Aku memesan soto Lamongan dengan teh hangat sedang kamu memilih nasi goreng ikan teri dengan teh kemasan plus es batu. Restoran ini tak cukup ramai. Aku bilang aku suka dengan restoran berkonsep klasik seperti ini, banyak gambar-gambar bernuansa vintage yang di pasang di dinding, membuat aku nyaman seperti di desa yang tenang.
Toko buku selalu menjadi tempat favorit kita ketika jalan-jalan berdua, meski beberapa minggu terakhir ini minat bacaku mengendur. Kita tetap memutuskan untuk mengunjunginya. Di dalam toko buku tersimpan kisah-kisah horror, picisan, roman, kisah budayawan, para detektif, juga cerita superhero yang lucu. Kita berpencar, saling menyesatkan diri diantara jajaran rak dan tumpukan buku. Aku mencari buku untuk anak-anak kecil didikanku. Mereka baru berumur belasan tahun tapi novel-novel remaja yang aku punya sudah habis di lahapnya. Bukan karena dia ingin lebih dulu dewasa, tapi karena dia kehabisan bahan bacaan yang cocok untuk anak seusianya. Kita seperti main petak umpet, labirin-labirin buku yang menyekat. Kita sempat saling mencari, sebelum akhirnya saling menemukan. Kamu mendapat flashdisk berwarna merah dan aku mendapat dua buku petualangan untuk anak-anak yang beranjak remaja.
Hari telah gelap. Lampu-lampu telah dinyalakan. Matahari telah dimatikan. Sebagian datang, sebagian yang lain harus pergi. Kota ini terus berjalan, tak boleh sedikitpun mati. Kamu mengantarkanku menuju kos-kosan, jalan yang mendadak benar-benar tak ku pahami. Langit memberi isyarat, malam hampir hujan. Kamu meninggalkanku di kota hujan sendirian.
Beberapa tetes hujan menyentuh punggung tanganku. Aku menutup pagar besi, kemudian tersenyum sendiri.
Bersambung….
*Rizkia Nur Jannah: Lahir di Lamongan, 28 Februari 1993, Pimpinan Umum LPM Perspektif, mahasiswi Ilmu Komunikasi UB 2011
(Visited 73 times, 1 visits today)