- Buletin Bulanan 2017 Edisi 1: Menyoroti Tata Kelola Kantin
- Buletin Bulanan 2017 Edisi 2: Menggugat Otonomi Kampus
- Buletin Bulanan 2017 Edisi 3: Mata-mata Kampus
- Buletin Edisi Khusus Tahun 2017
- Buletin Bulanan 2017 Edisi 4: Usut Aset-aset UB
- Buletin Bulanan 2017 Edisi 5: Carut Marut UKM UB
- Buletin Bulanan 2018 Edisi 1: Pembungkaman Kebebasan Berekspresi dan Berpendapat
- Buletin Bulanan 2018 Edisi 2: Menilik Seratus Hari Kerja Nuhfil Hanani
- Buletin Bulanan 2018 Edisi 3: Wajah Kampus Ramah Difabel
- Buletin Bulanan 2019 Edisi 1: Ragam Soal Wisuda UB
- Buletin Bulanan 2019 Edisi 2: Simpang Siur Tata Kelola Kendaraan di UB
- Buletin Edisi Khusus Tahun 2019
- Buletin Bulanan 2019 Edisi 3: Bangkitnya Kopma UB
- Buletin Bulanan 2020 Edisi 1: Kesehatan Mental dan Badan Konseling Mahasiswa
- Buletin Bulanan 2020 Edisi 2: Dasar Hukum dan Kasus Kekerasan Seksual
- Buletin Bulanan 2021 Edisi 1: Lika-Liku Pandemi Tahun Kedua
- Buletin Redaksi Edisi 2 Tahun 2021: Dinamika Kuliah Daring Universitas Brawijaya
- Buletin Redaksi Edisi 3 Tahun 2021: Diorama Kampus Merdeka
- Buletin Redaksi Edisi 1 Tahun 2022 : Getar - Getir Nasib Pekerja
- Buletin Redaksi Edisi 2: Papua [Nestapa] yang Istimewa
- Buletin Redaksi Edisi 3: Dramaturgi Anugerah Honoris Causa
Editorial - Pengintai Kampus
Intelijen dan Organisasi Kemasyarakatan (Ormas) mengintai aktivitas akademik di Universitas Brawijaya (UB), dampaknya adalah beberapa intervensi seperti pemasangan spanduk untuk menjauhi ideologi tertentu serta pembubaran dan pembatalan diskusi yang mengangkat isu-isu sensitif.
Padahal kebebasan mimbar akademik bagi sebuah institusi Perguruan Tinggi telah dijamin oleh konstitusi diatur dalam Undang-Undang Dasar 1945 pasal Pasal 28E ayat (3) UUD 1945 yang menyatakan, “Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat” dan juga berdasarkan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi pada pasal 11 di bahas terkait civitas akademik yang memiliki tradisi untuk mengembangkan budaya akademik.
Pada poin (3) dan (4) berbunyi.
(3) Pengembangan budaya akademik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan interaksi sosial tanpa membedakan suku, agama, ras, antar golongan, jenis kelamin,kedudukan sosial, tingkat kemampuan ekonomi, dan aliran politik. (4) Interaksi sosial sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dilakukan dalam pembelajaran, pencarian kebenaran ilmiah, penguasaan dan/atau pengembangan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi serta pengembangan Perguruan Tinggi sebagai lembaga ilmiah.
Kalaupun dikhawatirkan oleh pihak birokrat kampus, bahwa gerakan seperti Komunisme maupun beberapa diskusi, yang akan menimbulkan keadaan yang tidak kondusif, hal itu harus ditanggulangi secara akademis juga. Ruang-ruang diskusi mengenai pemahaman komunis, serta kajian mengenai Lesbian, Gay dan Transgender (LGBT), dibuka, diperdebatkan melalui berbagai perspektif. Begitupula dengan diskusi yang dikira nantinya mengancam kondusifitas kampus, sangat tidak akademis bila dibatalkan langsung secara sepihak, perlu ada dialog terlebih dahulu, serta duduk bersama untuk mendiskusikan hal tesebut, hal itu nantinya akan menumbuhkan dialektika antar berbagai sudut pandang.
Laporan mengenai mulai tumbuhnya gerakan Komunisme serta LGBT juga harus dilakukan secara trasnparan dan akuntabel, karena jika terburu-buru menyimpulkan hanya melalui penelusuran simbol- simbol hal itu tentu tidak berdasar, hanya akan menjadi sebuah propaganda semata. Pihak birokrat kampus juga tidak perlu khawatir akan tumbuhnya ideologi maupun pemahaman, yang ditakutkan nantinya memecah belah bangsa dan negara, jika iklim akademis di kampus terus dipacu, tanpa membatasi diskusi-diskusi serta memasang spanduk propaganda untuk menjauhi gerakan serta paham tertentu.