Sudah sepuluh menit aku berdiri sambil terdiam memandangi gerbang tembok bercat hijau muda yang ada dihadapanku. Tangan kananku penuh dengan satu buket besar bunga mawar, sementara tangan kiriku sibuk meremas rok jeans selutut yang sedang aku kenakan saat ini. Mataku terasa panas, sementara kedua kakiku bergetar hebat menahan berbagai macam emosi yang sekarang sedang berkecamuk di dalam diri. Rasa takut, cemas, dan ragu benar-benar membuatku ingin berbalik arah dan meninggalkan tempat yang baru akan aku kunjungi lagi setelah hampir tiga belas bulan lamanya.
Pikiranku kembali melayang pada malam itu. Satu malam yang aku harap hanya akan menjadi mimpi buruk dan tidak benar-benar terjadi dalam hidupku. Satu malam ketika takdir kejam datang menghampiriku dan tanpa perlu permisi merenggut satu-satunya orang dapat kujadikan sandaran hidup. Satu malam yang memaksaku mengucapkan kalimat selamat tinggal kepada seseorang walaupun sebenarnya aku tidak ingin melakukannya.
Kembali mengingat malam itu membuat satu isakan yang sedari tadi kutahan berhasil lolos dari mulutku, diiringi dengan merembasnya buliran air bening dari kedua mataku. Ku pukul pelan dadaku yang entah kenapa terasa sangat sesak hingga membuatku kesulitan untuk bernapas.
Aku menghirup napas panjang, mengusap kasar buliran air mata yang terus mengalir memasahi pipiku. Menegakkan kepalaku sebelum kembali melangkahkan kakiku memasuki sebuah tempat yang dianggap menakutkan bagi kebanyakan orang. Disaat kedua kakiku sibuk melangkah diatas rerumputan yang tidak terlalu lebat, kedua bola mataku sibuk mengamati tulisan-tulisan yang sebagian sudah terlihat kusam dan pudar pada papan kayu.
Setelah beberapa menit mengamati, akhirnya mataku tertuju pada salah satu papan kayu yang ada disana. Membaca lekat-lekat sebuah nama yang tertulis pada papan kayu berwarna putih yang sedikit terlihat kusam dihadapanku. Sebuah nama yang selama hidupku tidak pernah sekalipun terlewat untuk kusebut pada setiap dialogku dengan tuhan.
Aku kembali tertunduk, berusaha menahan isak tangis yang entah kenapa sangat ingin lolos dari mulutku. Kembali mengunjungi tempat ini benar-benar sangat menguras emosi dalam diriku.
“Bapak…. Ini Rhea.” ucapku sambil mengelus lembut papan kayu yang tertancap pada gundukan tanah dihadapanku
Merasa tidak akan mendapat balasan, aku kembali melanjutkan kalimatku “Bapak apa kabar disana? Bapak selalu bilang sama Rhea kalau bapak kangen sama nenek, apa bapak sudah ketemu nenek disana? Bapak pasti seneng kan ketemu nenek?”
“Rhea disini baik pak, jadi bapak nggak usah khawatirin Rhea ya!” Masih hening, tidak ada suara apapun yang terdengar membalas kalimatku.
“Rhea kesini mau minta maaf sama bapak, karena selama ini Rhea nggak pernah jenguk bapak. Bapak pasti sedih kan karena Rhea nggak pernah jenguk bapak selama ini?” ucapku lagi masih dengan mengelus lembut papan kayu dihadapanku
“Bukan! Rhea nggak pernah jenguk bapak bukan karena Rhea sudah nggak sayang sama bapak, bukan!”
“Selama ini bapak selalu bilang kalau hal yang paling nggak bapak sukai di dunia ini adalah ketika bapak lihat Rhea sedih atau nangis. Jadi Rhea nggak mau datang kesini cuma buat ngasih tau bapak kalau Rhea lagi terpuruk dan sedih. Rhea nggak mau, pak!” Aku menjeda kalimatku, menggigit bibir bawah menahan tangis
Masih dengan suara yang bergetar aku menyambung kalimatku “Seperti apa yang selalu bapak bilang ke Rhea selama ini, Rhea harus jadi anak yang kuat, anak yang pintar, bisa sekolah tinggi ditempat bagus dan jadi anak sukses kebanggaan bapak.”
“Karena itu, Rhea memutuskan untuk hanya akan kesini kalau Rhea punya sesuatu bagus yang bisa Rhea banggakan bapak.”
Aku sedikit mengangkat kepalaku, menatap dalam papan kayu dihadapanku seakan benda itu adalah manusia yang akan menatap balik kepadaku dan membalas setiap kalimatku, “Bapak ingat nggak? Hampir dua tahun lalu Rhea pernah bilang ke bapak kalau Rhea pengen kuliah disalah satu universitas besar yang ada dikota.”
“Rhea tau waktu itu bapak ragu buat izinin Rhea, tapi meskipun begitu bapak tetep bilang iya ke Rhea. Bapak bilang bapak bakal dukung penuh Rhea buat kuliah dikota.”
Mulutku tersenyum, tetapi kedua mataku masih belum berhenti mengeluarkan buliran air mata yang membuat dadaku terasa semakin sesak. “Waktu itu Rhea juga pernah bilang ke bapak, kalau Rhea bakal masuk universitas bagus dan jadi orang sukses supaya bisa ajak bapak jalan-jalan ke mall, beliin baju koko baru biar bapak nggak lagi pakai baju koko yang kerahnya koyak.”
“Karena itu setiap hari Rhea belajar keras sampai jam 2 pagi untuk persiapan ujian masuk universitas. Rhea ingat bapak selalu nemenin Rhea belajar, selalu mengelus kepala Rhea sambil mengingatkan supaya Rhea nggak terlalu memaksakan diri karena dimanapun Rhea kuliah bapak akan tetap bangga sama Rhea.” Tangisku kembali pecah, tubuhku kembali bergetar hebat hingga membuatku jatuh terlungkup diatas gundukan tanah dihadapanku.
“Rhea minta maaf ya, pak. Ternyata Rhea belum bisa ngasih hal-hal yang pernah janjiin sama bapak. Rhea minta maaf, pak.”
“Rhea juga minta maaf karena sampai bapak meninggalpun Rhea masih menjadi beban dan nyusahin bapak. Rhea minta maaf, pak!”
Bulir-bulir air mata terus menetes membasahi pipi tembamku. Kupejamkan mataku yang mulai terasa berat, sementara otakku terus memutar memori beberapa bulan kebelakang. Mengingat bagaimana diriku yang tidak meneteskan barang setetespun air mata setelah mendengar kabar kepergian bapak. Mengingat betapa tidak punya hatinya aku yang langsung bisa fokus mengerjakan ujian sekolah satu hari setelah kepergian bapak. Mengingat bagaimana aku yang mampu berdiri tegak sambil menyunggingkan senyuman sumringah diatas podium menyampaikan pidato sebagai lulusan terbaik meskipun tanpa kehadiran bapak. Mengingat betapa tidak tau malunya diriku yang dengan percaya diri mendaftar ujian pada universitas impianku menggunakan bantuan beasiswa mahasiswa kurang mampu dengan memanfaatkan status meninggalnya bapak.
“Bapak pasti bertanya-tanya kan? Kenapa Rhea berani datang kesini padahal Rhea belum menjadi orang sukses dan hebat seperti harapan bapak?”
“Untuk sekarang Rhea memang belum menjadi orang sukses dan hebat, Rhea juga tidak bisa menjamin apakah dimasa depan Rhea akan menjadi orang sukses seperti yang bapak harapkan. Bahkan mungkin, Rhea tidak akan pernah bisa menjadi orang hebat dan sukses?”
“Meskipun begitu, hari ini Rhea punya hadiah untuk bapak. Kalau bapak berfikir hadiah yang Rhea bawa adalah buket bunga ini, bapak salah!” Ucapku sambil menggoyangkan buket bunga mawar besar yang ada ditanganku.
Aku sedikit memutar badanku, menghadap papan berwarna putih itu sebelum kembali melanjutkan kalimatku, “Bapak ingat kan dulu bapak pernah bilang kalau bapak sering bayangin bagaimana cantiknya Rhea kalau memakai setelan jas?”
“Memang sekarang Rhea belum bisa pakai setelan jas, tapi bapak liat kan pakaian yang Rhea pakai sekarang?” ucapku bangga memperlihatkan jas almamater berwarna biru dongker yang saat ini sedang aku kenakan.
“Iya pak, ini hadiah Rhea buat bapak. Jas almamater universitas impian yang selalu Rhea ceritain ke bapak. Gimana? Rhea cocok kan pak pakai jas ini?” tanyaku antusias, meskipun aku sendiri tau bahwa tidak akan ada siapapun yang menjawab pertanyaanku.
“Rhea tau hadiah ini terlalu sederhana mengingat berapa lama Rhea tidak menjenguk bapak hanya untuk mempersembahkan hadiah ini.”
“Tapi bapak tidak usah khawatir, karena setelah ini Rhea akan belajar lebih giat supaya Rhea bisa jadi orang sukses dan hebat seperti yang bapak inginkan.” Aku terdiam cukup lama, memandang kosong papan kayu itu sambil membayangkan bagaimana wajah seseorang yang sudah setahun lebih berada di dalam gundukan tanah ini saat mengetahui anak kesayangannya berhasil masuk universitas impiannya. Tentu akan terlihat sangat bahagia bukan?
“Karena hadiahnya sudah Rhea kasih ke bapak, Rhea pamit pulang dulu ya pak. Nanti Rhea kesini lagi kalau Rhea sudah punya hadiah yang lebih hebat dari yang Rhea kasih hari ini buat bapak”
“Bapak istirahat saja yang tenang disana, karena Rhea disini juga bakal berusaha untuk terus bahagia.” Ucapku sambil meletakkan buket bunga mawar yang sedari tadi tak pernah kulepas dari genggaman tanganku. Kembali mengelus lembut papan kayu dihadapanku sebelum kemudian berdiri dan melangkah pergi.
“Bapak, entah berapa lama lagi Rhea bisa datang kesini dengan membawa hadiah yang dapat Rhea persembahkan untuk bapak. Mungkin saja Rhea tidak akan pernah bisa datang menemui bapak lagi karena Rhea tidak punya apa-apa untuk ditunjukkan. Walau begitu tetap tunggu dan percaya sama Rhea ya, pak!”
Saya jujur menginginkan lebih dari ini, kenapa begitu?! 1. Pada paragraf pembukaan itu adalah klimaksnya, aneh rasanya ketika awal-awal kita sudah diberikan perasaan dan emosi yang kuat.
2. Setelah paragraf kedua, semuanya adalah antiklimaks. Yang mana bisa kita temukan di beberapa epilog. Atau dalam hemat saya memang epilog.
2. Kedua bahasa yang digunakan masih menggunakan sudut pandang pertama, saumpama menggunakan sudut pandang kedua (kau, kamu) mungkin akan lebih terlihat cirikhasnya dan kita sebagai pembaca lebih berempati.
3. Yang saya lihat, penulis masih kurang referensi dalam membaca buku atau cerpen.
4. Anggap semua ini omong kosong saja.
5. Doain gua Lulus, punya pacar, dan kaya dong.
6. Terimakasih sudah menulis.