Lompat ke konten

Memaknai Arti Secangkir Kopi dalam Organisasi Berbasis Kaderisasi

Ilustrasi: Puri
Oleh: Imanuella A. Arumdapta*

Satu sendok kopi bubuk, sesendok gula, lalu tambahkan air panas. Biarkan kopi mengendap sebentar sebelum disajikan. Terdengar sederhana bukan? Sepertinya semua orang dapat melakukannya dengan mudah. 

Menariknya, di salah satu organisasi kampus hal ini menjadi sebuah “tradisi”. Di mana anggota baru secara khusus diajari dan dibiasakan untuk membuatkan kopi bagi senior mereka. Tunggu, hal ini mungkin terdengar aneh sebab untuk apa membuat kopi yang sepertinya merupakan suatu hal yang mudah malah diajarkan dan dianggap sebagai budaya dalam organisasi itu. Terlebih, dilakukan oleh anggota baru kepada anggota lama. Apakah ini merupakan suatu bentuk dari adanya senioritas dalam organisasi tersebut?

Budaya Membuatkan Kopi Sebagai Upaya Mendekatkan

“Buatkan kopi.” Dua kata yang sudah terbiasa didengar anggota baru sedari awal masuk organisasi. Kopi biasanya disajikan ketika terdapat forum yang berlangsung. Tidak jarang pula, segelas kopi juga diberikan saat anggota baru ingin berkonsultasi dengan anggota lama mengenai suatu program kerja organisasi. 

Dibalik secangkir kopi yang tersaji sebenarnya terdapat suatu filosofi: ketika seorang anggota lama minta dibuatkan kopi kepada seorang anggota baru, itu artinya ia sedang berupaya menjalin relasi. “Tetapi, mengapa harus membuat kopi?” menjadi pemikiran yang kerap ada di benak anggota baru. Padahal jika ditilik lebih jauh, permintaan itu sebenarnya masuk akal.

Pertama, forum-forum dalam organisasi umumnya diadakan waktu malam. Itu artinya dibutuhkan tingkat fokus harus terjaga sehingga forum dapat berjalan dengan maksimal. Di sinilah peran kopi menjadi dekat dan kesempatan itu dimanfaatkan oleh para anggota yang sudah lebih dulu bergabung dengan organisasi untuk membangun hubungan dengan mereka yang masih baru. Atau dengan kata lain, membangun kedekatan melalui hal lain yang sifatnya dekat.

Kedua, anggota baru dapat melatih sikap cepat tanggapnya yaitu ketika hari semakin larut dan forum mulai berjalan lambat, cangkir kopi dapat segera diisi kembali. Ini juga menunjukkan bentuk kepedulian anggota baru terhadap berjalannya forum organisasi. 

Merubah Mindset soal Dominasi Kuasa

Sayangnya, tidak semua anggota baru menyambut permintaan membuat kopi dengan gembira. Beberapa anggota justru menganggap bahwa budaya tersebut merupakan suatu bentuk senioritas dalam organisasi. Mereka merasa menjadi “junior”, berada di posisi inferior sementara anggota lama berada di posisi lebih superior karena mereka adalah senior.

Pemikiran tersebut tidak sepenuhnya salah. Anggota baru memanglah junior karena mereka belum lama bergabung, dan anggota lama memanglah senior karena lebih dulu bergabung. Akan tetapi, anggota baru justru melihat dalam perspektif yang relatif sempit dikarenakan mereka merasa persoalan junior dan senior adalah soal adanya upaya mendominasi pihak yang lain. Atau dalam konteks ini, senior menyuruh-nyuruh junior untuk melayani mereka dengan membuatkan kopi. Padahal apa yang dimaksud soal posisi senior dan junior di sini adalah anggota baru sebagai pihak yang masih awam soal organisasi dapat belajar dari senior yang wawasan soal organisasinya lebih luas. 

Situasi demikian dapat dikaitkan dengan konsep relasi kuasa milik Michel Foucault. Foucault memandang “kuasa” bukan bukan soal satu pihak menjadi penguasa dan lainnya dikuasai, melainkan kuasa merupakan suatu aspek yang sifatnya netral dan ada dalam diri tiap orang.

Relasi kuasa tampak dalam hubungan antar-manusia. Kuasa menyebar di mana-mana dan tidak dapat dilokalisasi. Di mana ada struktur dan relasi antarmanusia, di sana ada kuasa. Ia menentukan aturan secara internal dan tidak tergantung pada sumber yang ada di luarnya. Dalam konteks ini berarti, junior membuatkan kopi bagi senior sudah menjadi budaya turun-temurun dan merupakan fase tidak terhindarkan bagi mereka yang baru bergabung dalam organisasi tersebut. Para senior pun dulunya membuatkan kopi bagi anggota-anggota dari angkatan di atas mereka. 

Persoalan Merasa Inferior

Pokok pikiran Foucault lainnya adalah kuasa dilihat sebagai mekanisme atau strategi yang memberikan penekanan pada praktik. Kuasa dilaksanakan dalam banyak posisi yang dihubungkan secara strategis satu dengan yang lain. Senior minta dibuatkan kopi mungkin terkesan memuat unsur senioritas, dan tidak menutup kemungkinan menimbulkan perasaan inferior dalam diri anggota baru. Hal ini sebenarnya dapat dirasionalisasi jika melihat perjalanan anggota baru sejak rangkaian masa pendidikan lanjut. Anggota baru sudah dilatih akan adanya konsekuensi jika terdapat suatu kesalahan. Dan senior menjadi pihak yang memberi konsekuensi. Ketika seseorang tidak menangkap maksud konsekuensi sebagai efek dari sesuatu yang tidak tepat, dan malah mengartikannya sebagai hal lain, misalnya perundungan, mungkin sudah terbangun rasa inferior dari sana dan turut dilekatkan pula ke permintaan membuat kopi.

Maka dari itu, sebenarnya yang diperlukan adalah perubahan sudut pandang dari anggota baru. Timbulnya “jarak” atau kesenjangan antara anggota baru dan anggota lama semasa rangkaian pendidikan lanjut kemarin, berupaya diperbaiki oleh anggota lama dengan membangun kedekatan baru lewat budaya membuat kopi. Lagipula saat hendak konsultasi dan anggota baru diminta membuat secangkir kopi, apa salahnya membuat sedikit pengorbanan demi mendapat suatu pengetahuan? Di sisi lain, anggota baru juga perlu memahami bahwa organisasi yang mereka ikuti memiliki basis kaderisasi. 

Basis Kaderisasi

Tidak dapat dipungkiri bahwa masing-masing individu dalam organisasi ini memiliki posisinya masing-masing. Kaderisasi berarti proses pembinaan supaya mereka yang dikader memiliki atau mewarisi karakter organisasi. Berada dalam organisasi berbasis kaderisasi berarti seseorang yang baru bergabung akan mendapat wawasan atau pengetahuan dari senior yang telah berpengalaman. Wawasan diberikan secara cuma-cuma. Di sisi lain, pengalaman tidak selalu didapat secara mudah dan cuma-cuma. Dalam konteks organisasi ini, sebuah pengalaman bisa saja memiliki banyak tantangan dan pengorbanan, bahkan sampai mempertaruhkan nyawa. Dengan demikian, sikap hormat terhadap mereka yang sudah berpengalaman ini harus dijunjung tinggi. 

Sehingga pengorbanan untuk menyajikan secangkir kopi, apakah terlalu berat jika dibandingkan dengan pengorbanan yang dilalui senior untuk memperoleh pengetahuan yang kini hendak ia bagikan dengan juniornya?

(Visited 32 times, 1 visits today)
*) Imanuella A. Arumdapta merupakan mahasiswa Ilmu Komunikasi angkatan 2023 dan saat ini aktif sebagai staf magang Divisi Markom LPM Perspektif

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Terbaru

Iklan

E-Paper

Popular Posts

Apa yang kamu cari?