Lompat ke konten

Kami yang Tak Sampai Tujuan

Ilustrator - Anggi Eka
Oleh: Zaskia Naura Aulia*

“Cita-cita kamu kalau sudah besar mau jadi apa, dik?”  

“Mau jadi tuan putri!” 

“Itu sih bukan cita-cita!” 

Sekelebat memori datang tanpa diundang. Kala itu, aku dan dia suka sekali duduk bersama di teras rumah selepas lelah bersepeda pada sore hari. Angin sepoi-sepoi seolah membawa kami untuk berbincang-bincang hal acak.

“Lho, kan jadi tuan putri itu cita-cita juga tahu! Emang kakak mau jadi apa kalau sudah besar nanti?”

Ia menatap ke arah langit yang kala itu sedang berawan, matanya berbinar-binar, “Mau jadi arsitek, lah!” 

Mata yang berkilaunya itu kembali menemukan netraku yang takjub, “Nanti kalau sudah jadi arsitek, aku bikinin istana yang besar buat kamu, deh.”

“Bikin yang warna pink ya!” seruku antusias.

“Warna pink mulu. Aku maunya warna biru!”

“Katanya bikinin buat aku?”

Entah apa percakapan kami selanjutnya. Satu hal yang pasti, percakapan kami selalu berakhir dengan tawa.

Tanpa sadar aku tersenyum. Sungguh masa-masa yang indah tanpa mengkhawatirkan apapun. Menunggu tenggelamnya matahari sampai Ibu menyuruh kami untuk masuk.  

But you can’t step into the same river twice.

Kesadaran membawaku kembali ke tempat aku berpijak saat ini. Aku mengedarkan pandangan ke sekitar dan kembali menatap ke depan. Menunggu giliranku naik ke atas panggung di antara nama-nama yang disebut bersusulan. 

Betapa cepatnya waktu berjalan.

Aku menoleh ke arah tempat kakak duduk. Ia tersenyum pada setiap orang yang disebut dengan gelar terbaiknya. Ah, kembali aku tenggelam dalam sosoknya. 

Kilas balik pada masa kami kecil. Bermain, tertawa, kejar-kejaran, jatuh, dan tertawa lagi. Sesederhana itu kami dibuat bahagia. Berkutat pada hal yang sama setiap harinya namun tak pernah merasa bosan.

Waktu berganti dan begitupun keadaan. Ketika sosoknya semakin dewasa dan aku merasa semakin kecil dihadapannya. Waktu yang biasa kami habiskan bersama berganti dengan waktu yang ia habiskan bersama teman-teman sebayanya. 

Mulai dari sana, sosoknya menjauh. Saat aku SMP dan ia SMA, aku ingat sekali bagaimana ia memperkenalkanku di depan teman-temannya. Tidak ada yang salah, semua menyambutku dengan baik.

“Oh, ini adikmu? Mirip sekali ya.”

“Wah, Shan. Aku tidak tahu kalau kamu punya adik.”

“Apaan? Aku sering cerita kok, ke kalian?”

“Iya, nih. Kamu gak pernah nyimak yaa?”

Dan mereka pun melanjutkan canda tawa mereka. Tidak ada yang salah. Namun saat itu aku belum sadar. 

Waktu pun kembali mengalir. Kehidupanku dan kehidupannya semakin jarang bersinggungan. Tepat ketika aku memasuki masa SMA di tempat kakak bersekolah sebelumnya, barulah aku menyadari betapa ia lebih dari hanya sosok seorang kakak saja.

“Kamu adiknya Shani ya?”

“Shani siapa, bu?”  tanya guru lainnya.

“Itu lho, siswi terbaik tahun kemarin.”

“Oalah, Shani yang itu..”

“Pak, baru lulus kemarin lho, itu.”

Telat kusadari, ternyata ia tidak hanya menjadi seseorang yang selalu aku kagumi seorang diri, di mata orang lain pun ia seseorang yang mereka kagumi. Seseorang yang baik, seseorang yang berprestasi. Seseorang yang membuatku merasa rikuh ketika berdiri di sampingnya kala itu.

Seseorang yang sosoknya selalu ingin aku kejar.

Kala itu.

Sama seperti bumi yang berputar pada porosnya, berganti siang dan malam. Dan kami penduduk bumi yang berputar pada poros kehidupan, entah membawa nasib kami ke mana.

Ayah dan Ibu meninggal tepat saat aku menginjak kelas 12. Perasaanku kala itu, entahlah. Sepertinya sudah mati. Secepat itu keadaan berputar 180 derajat. 

Hal yang mengagetkan menyusul pasca beberapa minggu setelah wafatnya kedua orang tuaku. Kakak pulang ke rumah dengan segala barang bawaannya. 

“Dik, kakak nggak akan lanjut kuliah lagi.” 

Seperti aku mendengar suara retak dalam ucapannya.

Kenapa? Ada apa? Kenapa tidak cari beasiswa?

Berbagai pertanyaan aku lontarkan padanya. Walau aku jadi jarang menghabiskan waktu bersama karena kesibukannya, itu tidak mengapa daripada melihatnya seperti ini. Aku ikut merasa jatuh.

Ia menjawab seperti ia yang biasanya, sosok yang kuat walau mungkin nyatanya tidak, “Kamu saja yang kuliah, biar kakak yang cari uangnya.”

Mendengarnya membuat hatiku teriris dan ingin menangis. Seseorang yang selalu hebat di mataku, seseorang yang selalu mengejar impiannya, melakukan semua yang terbaik, jatuh dalam impiannya sendiri. Tidak hanya kehilangan orang tuaku, aku juga kehilangan sosok kakak. 

“Ya sudah, aku juga berhenti sekolah. Mau kerja juga sama kayak kakak.” ucapanku bergetar, sarat akan panik.

Ia tersenyum kecil, mengusap kepalaku seperti dulu saat aku masih kecil. “Tugasmu belajar. Jangan pikirkan yang lain.”

Sekali lagi hidup kembali mengalir.

Aku kembali ke tempatku saat ini. Ah, hampir saatnya giliranku tiba. Aku merapikan togaku. Mempersiapkan diri. 

Sebenarnya aku tidak menyangka akan berada di titik ini. Jantungku berdebar, entah karena gugup atau bahagia. Tapi rasanya, aku tidak merasakan kedua alasan tersebut. Tidak hanya aku yang diwisuda, sebentar lagi impian kakak juga akan terwujud. 

Kala itu, di suatu malam, aku mengucapkan janji pada kakak, “Kak, biar aku aja yang capai cita-cita kakak.”

“Aku gantiin kakak buat jadi arsitek ya.” 

Aku termenung. Apakah ini hal yang benar-benar ingin aku capai?

“Sella Lestari S.Ars…”

Aku melangkahkan kakiku, naik ke atas panggung. 

Ketika sesi foto yang cepat itu, aku sekilas melirik kakak yang tengah berdiri, menangis haru, sambil bertepuk tangan. Namun secepat itu juga aku sadar. Janjiku kala itu adalah hal terbodoh yang pernah aku ucapkan.

Aku berjalan kembali ke tempatku duduk. Rasanya kakiku berat, aku menoleh kesekian kalinya ke arah kakak. Ia masih tersenyum lebar ke arahku sambil menangis dan mengangkat kedua ibu jarinya.

Satu dua detik merupakan tangisan tulus. Namun detik-detik selanjutnya aku menyadari, itu adalah tangisan yang ia lepaskan bersamaan dengan impian yang ia ikhlaskan. Atau mungkin tidak? 

Aku mengalihkan pandanganku ke depan, menatap prosesi wisuda yang masih berlangsung. Menatap panggung yang seharusnya menjadi masa depan kakak. 

Mataku terasa panas. Ternyata bukan ini yang aku inginkan. Aku hanya ingin mengejar sosok kakak di depan karena aku merasa tertinggal, merasa sendirian. Namun yang aku dapatkan adalah kesendirian yang tak berujung.

Bagaimana aku bisa meraihnya saat ia sendiri tak bisa meraih apa yang ia inginkan?

But you can’t step into the same river twice.

Harapanku adalah bisa meraihnya. Harapannya adalah bisa meraih impiannya. Baik aku maupun dia, tidak ada yang sampai tujuan.

(Visited 42 times, 1 visits today)
*) Penulis merupakan mahasiswa Psikologi angkatan 2024. Saat ini sedang menjabat sebagai anggota dari Divisi Sastra LPM Perspektif.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Terbaru

Iklan

E-Paper

Popular Posts

Apa yang kamu cari?