Lompat ke konten

Bintang Timur

Ilustrator-Muthia Fakhira
Oleh: Shine Nevsa*

Kala itu ada seorang malaikat turun ke bumi dengan misi di tangan kanannya. Malaikat itu sangat polos dan lugu, ia tidak tahu betapa kejamnya dunia manusia. Malaikat itu memiliki tiga pasang sayap. Sepasang untuk menutupi tubuhnya, sepasang untuk menutup wajahnya, dan sepasang yang lain untuk terbang.

Sang malaikat sangat percaya pada manusia. Ia menganggap ciptaan Tuhan yang digambar serupa denganNya adalah ciptaan yang patuh akan segala perintah Sang Pencipta itu sendiri. Namun, tanpa ia sadari rasa percayanya pada manusia dapat menjadi bencana bagi dirinya sendiri.

Ia menggunakan sayapnya untuk menyamar menjadi manusia. Malaikat itu menggunakan kedua kakinya untuk berjalan diatas tanah ciptaan Tuhan. Di tengah perjalanannya, ia bertemu dengan seorang pedagang yang sedang kesulitan mendorong gerobak dagangannya di jalan menanjak. Berat, gerobaknya sangat berat. Barang dagangan yang ia jual masih penuh bersarang di gerobak dagangannya. Melihat itu sang malaikat dalam wujud manusia tergerak untuk membantu mendorong gerobak pedagang itu mencapai puncak bukit. Tanpa ucapan terima kasih pedagang itu lanjut mendorong gerobak dagangannya pergi ke desa, meninggalkan sang malaikat yang letih sendirian terduduk menyandar pada sebuah batu besar. Malaikat itu sangat lugu, ia tidak peduli dengan perilaku sang pedagang.

Malaikat senang berjalan dengan kedua kakinya. Tak lama setelah berjalan menelusuri hutan, ia sampai di sebuah desa. Ia mendapati seorang perempuan yang lumpuh kakinya. Perempuan itu terjatuh dari kursi roda saat ia mencoba mengambil selendang miliknya yang tersangkut di atas pohon. Melihat itu, sang malaikat segera menolongnya. Namun, perempuan lumpuh itu berteriak sangat kencang saat sang malaikat memegang kedua bahunya berniat membantu. Seluruh warga desa menengok dan mengerumuni malaikat itu.

Malaikat itu sangat lugu. Ia tidak tahu mengapa  perempuan itu berteriak. Sang malaikat melihat sekelilingnya yang kini sudah ricuh dengan orang banyak. Ia menatap mereka dengan tatapan bingung. Kemudian, tanpa pembelaan dari sang malaikat, para warga desa menarik malaikat itu dan memukul tanpa ampun. Seperti pemangsa kelaparan melahap santapannya. Seseorang memukul wajahnya, seorang yang lain memukul perutnya, dan seorang yang lain menendang tubuh bagian bawahnya. Sisanya hanya menjadi penonton, seolah-olah hal yang mereka lihat sama dengan pertunjukan keliling yang biasanya mereka tonton bersama di balai desa.

Setelah merasa puas, mereka menghentikan tindakan kekerasan yang mereka lakukan tanpa tahu kejadian sebenarnya. Sang malaikat meringkuk diatas tanah. Darah mengalir deras dari mulutnya. Tubuhnya yang halus kini tertutup dengan memar – memar dan luka. Ia meringis kesakitan.

“Apa yang sebenarnya terjadi?” tanya seorang warga buas yang sudah menyakiti sang malaikat  atas perbuatannya pada perempuan lumpuh yang masih terduduk di tanah. Manusia memang bodoh, baru bertanya setelah menghakimi sendiri.

“Tadi di-dia memegang ba-ba-huku,” ujar perempuan itu terbata-bata.

“A-aku hanya i-ingin membantumu. Ka-kamu terlihat se-seperti butuh pertolongan,” sang malaikat meluruskan.

Kini semua pandangan warga tertuju pada sang perempuan dengan tatapan mengintimidasi, seolah menyalahkan perempuan lumpuh itu atas kemalangan yang ditimpa sang malaikat. Tidak terima dirinya disalahkan, ia segera menyeret tubuhnya ke arah sang malaikat yang kini sudah terduduk. Perempuan lumpuh itu menampar keras-keras pipi sang malaikat.

“DASAR PEMBOHONG!! MANA ADA PENJAHAT YANG JUJUR!!” perempuan itu berteriak sambil menampar keras pipi sang malaikat. 

Warga desa hanya terkesima atas kejadian tersebut. Kini darah kembali terjun dari ujung bibir sang malaikat. Sesaat setelah sang malaikat memegang pipinya yang nyeri, keenam sayapnya tidak sengaja terbuka. Melihat kejadian janggal yang tak pernah manusia lihat dengan mata telanjang, warga desa termasuk perempuan itu terkejut mematung dengan mata yang terbuka lebar.

”MA-MA-MALAIKAT!?”  perempuan itu berteriak.

Warga desa tidak tahu apa yang harus mereka lakukan. Seketika nyali ketiga pria yang memukul dan menendang malaikat itu menciut. Berlarian dalam pikiran mereka atas hukuman apa yang akan mereka terima setelah menyakiti malaikat itu.

Memecahkan keheningan, seorang pria paruh baya yang tampak tidak asing di mata sang malaikat muncul dari kerumunan dan menghampiri dirinya. Malaikat itu lugu, lagi-lagi ia berpikir manusia itu baik. Ia tidak kabur, ia hanya berpikir bahwa pria yang sudah ia tolong tadi akan menolongnya.

Namun, ternyata ia salah.

Pedagang yang tadi ia tolong mengambil golok besar di balik celananya. Sang malaikat membeku, ia tidak tahu harus melakukan apa. Tubuhnya tidak bisa digerakkan. Takut, ia sangat takut.  Rasa sakit menahannya untuk kabur menyelamatkan diri. Tanpa berpikir panjang pedagang itu mengayunkan golok yang ada digenggamannya ke arah punggung sang malaikat. Pedagang itu memotong sayap milik sang malaikat.

”AAHHHH… TOLONGG, TOLONG SAYAA!!! SIAPA PUN, TOLONG SAYAA!!! MA-MAAFKAN SAYA” Sang malaikat berteriak sambil merintih kesakitan. Ia berusaha mencari pertolongan tetapi bagi warga desa hal tersebut hanyalah sebuah pertunjukan yang menghibur. Sang malaikat meringkuk kesakitan, ia tidak sanggup bangun dari tanah para manusia.

“Saya akan jual sayap ini! Beberapa bulan akhir ini dagangan saya sudah tidak laku, mencari uang pun sangat susah, sampai-sampai saya hampir menghadap Tuhan! Saya yakin sayap asli malaikat akan terjual dengan harga tinggi!” ucap pedagang paruh baya itu tanpa menghiraukan sang malaikat yang berada diujung tanduk.

Pedagang itu bergegas pergi dengan satu sayap asli milik malaikat. Ia menganggap bahwa sayap sang malaikat dapat mengubah 180 derajat kehidupannya.

Melihat perbuatan pedagang paruh baya itu, warga desa jadi tergerak untuk melakukan hal yang sama. Perempuan lumpuh yang berada di dekat sang malaikat segera mengambil golok yang ditinggal tergeletak begitu saja  oleh pedagang gila itu. Kemudian ia memotong dua sayap milik sang malaikat.

“AAAHHH… Maafkan sayaaa!!”

Sang malaikat hanya bisa tersungkur, berbaring di atas tanah kotor dengan darah yang semakin lama semakin banyak mengucur dari tubuhnya. Ia sudah tak lagi mengenal arti rasa sakit.

“DENGAN SAYAP INI AKU JADI TIDAK PERLU DUDUK DIATAS KURSI RODA YANG TERBATAS ITU, KINI AKU DAPAT TERBANG DENGAN BEBAS!” 

Perempuan itu menggunakan kedua sayap yang ia curi dari sang malaikat dan terbang mengambil syalnya yang diam menyaksikan segala perbuatan kotor manusia dari atas pohon. Setelahnya ia terbang kesana kemari dan pergi menghilang.

Warga desa semakin bersemangat, mereka segera menghampiri sang malaikat yang terbaring basah kuyup oleh darahnya sendiri.

“Apa yang akan kita lakukan untuk malaikat ini?”

“Kita bunuh saja dia!”

“Jasadnya dapat kita simpan dan museumkan”

“Ah… benar, dengan begitu desa kita akan terkenal!”

“Terkenal berarti menjadi daya tarik wisata bukan!?”

“Benar sekali!!”

“Akhirnya desa kita akan menjadi kaya!”

Semua warga desa memikirkan hal yang sama. Ide liar itu kini menjadikan sang malaikat sebagai pajangan di museum desa. Pada akhirnya, hanya malaikatlah yang benar-benar layak tinggal disisi Tuhan dan manusia adalah iblis itu sendiri.

(Visited 51 times, 1 visits today)
*) Penulis merupakan mahasiswa sosiologi angkatan 2024.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Terbaru

Iklan

E-Paper

Popular Posts

Apa yang kamu cari?