Sepanjang perjalanan, sejak moyangmu mengenal api, ia menjadi sahabat dekat Sapiens melintas waktu. Di Yunani, tempat dewa diciptakan sebagai tantangan hidup Manusia, alkisah lahir dari tangan seorang penyair bernama Hesiodos. Kisah yang hingga hari ini mempengaruhi cara pandang Sapiens terhadap api. Orang itu teman dari Homerus, penulis legenda klasik Yunani berjudul Odyssey. Apa yang membuatnya dianggap setara dengan Homerus salah satunya karena ia menulis tentang Prometheus. Dalam Teogoni, Hesiodos mengisahkan suatu ketika Zeus merasa ditipu oleh Prometheus yang mencuri api dari bengkel Hephaestus. Api yang semula hanya milik dewa, sekarang sudah dimiliki tangan manusia. Oleh karena itu, Manusia sedikit lebih terlihat memiliki kekuatan. Sebelumnya sebagai makhluk yang lemah di mata dewa, seluruh kehidupan manusia hanyalah titah yang diatur oleh dekrit dewa-dewa. Namun, Zeus jengkel. Ia merasa Manusia tidak layak memiliki api. Prometheus lalu dihukum dalam belenggu rantai dan hatinya terus menerus dimakan elang dan gagak tanpa kematian abadi. Manusia, dengan api pemberinan Prometheus, mampu mendaki peradaban lanjutan, membuat logam dan menaklukan malam.
Dalam tradisi Abrahamik, ada kisah serupa yang banyak dipercaya oleh sebagian manusia. Kisah itu adalah ketika Abraham melawan Nimrod Tiberias, penguasa yang mengaku dirinya sebagai Tuhan. Abraham menentang narasi Ilahi Nimrod dan meyakini tak mungkin seorang Tuhan hidup sama persis sepertinya. Abraham menantang Nimrod. Menurut versi Islam, Abraham menghancurkan berhala-berhala sebagai citra simbolik ketuhanan Nimrod. Sementara itu, menurut versi Yahudi, Nimrod adalah kepala proyek pembangunan Menara Babel dan hancur atas peringatan Abraham—wahyu Tuhan Allah. Setelah itu, Abraham didakwa sebagai pemberontak oleh Nimrod dan diikat dalam temali, ditutupi kayu bakar, lalu dibakar hidup-hidup dalam unggun. Namun, Abraham sebagai citra utusan Tuhan diselamatkan. Dengan puitik, Al-Qur’an menggambarkan Tuhan memerintah agar api di sekeliling Abraham, kuuni bardan wasalaaman ‘ala ibroohima. Jadilah dingin dan menjadi penyelamat bagi Ibrahim.
Api selalu berada dalam dua tegangan kutub kehidupan manusia. Kutub pertama, ialah letak kondisi ketika manusia mengalami kejumudan dan kemandekan kala berhadapan dengan keputusan yang harus segera diambil. Bagaimana esok hari? Apakah kita masih bisa hidup? Dalam pertanyaan gamang di hadapan misteri kehidupan yang kadang mustahil dijawab, api selalu berada di samping manusia. Namun, api pun berada di kutub lain ketika manusia mampu menjawab sebagian kecil misteri dan mengalami transisi hidup ke jenjang berikutnya. Oke, pertanyaan ini sudah terjawab, jadi kita harus melakukan A esok agar hidup bisa berlanjut. Dua tegangan keberadaan api dalam hidup manusia ini, bukan berlebihan bila Adam Sadewo, dalam artikelnya, “Cukupkah ‘Bertaruh Pada Api’ Tanpa Berserikat?” berpendapat citra api yang demikian terasa kental dalam lagu Bertaruh Pada Api yang dinyanyikan oleh Dongker.
Lalu, bagaimana cara api mendekatimu? Dengan jawaban yang berhasil kau cacah dari ingatanmu pada masa sekolah dasar, barangkali dengan mudah kau menjawab, “Konduktor”. Ada dua benda pengantar panas, dua-dua benda itu bergesekan, dari keduanya muncullah, “Eureka!”. Seperti Archimedes yang merasa mampu menjawab setengah persoalan dunia, kau tidak hanya menjawab bagaimana cara api mendekatimu, kau, menciptakan api sendiri. Berbeda dengan 4000 tahun lalu, ketika moyang sapiens masih hidup berkelana dan menciptakan api sebagai piranti memasak daging-daging hewan purba. Hari ini, semua persoalan tentang api terasa mudah dijawab. Api, hanyalah fenomena lanjut dari kehadiran panas.
Setiap fenomena yang dialami manusia, hari ini tak lagi disampirkan pada pundak dewa-dewa. Seiring perkembangan evolusi kognisi manusia, api mampu dijelaskan dengan ragam perspektif dan hukum-hukum yang berhasil dihimpun dalam sejarah tulisan manusia. Untuk menjelaskan bagaimana memantik api tanpa konduktor yang menghimpun energi panas, saat ini manusia memiliki penjelasan gelombang rambat yang dihasilkan radiasi. Untuk membuat api beragam yang tak hanya berwarna merah, manusia mampu menjelaskan tingkat oksigen yang dikandung dalam reaktor api. Karenanya, kita mengenal Api Biru, Api Jingga, Api Putih dan api-api lainnya. Barangkali juga, hari ini manusia mampu menjelaskan jenis api apa yang hadir dalam kisah Abraham dan Promotheus.
Dalam tahapannya, Api pun hari ini tak hanya berfungsi sebagai alat memasak. Energi Panas yang saling berebut tempat, kini bisa diterka kandungan dan sebab-akibat yang ditimbulkannya melalui Kalor. Energi Panas adalah sumber utama pembentukan api. Namun, berasal dari penemuan manusia terhadap Api, Panas tak lagi hanya menjadi penjelas kemunculan Api. Pelan-pelan manusia mengetahui lebih dalam, bahwa panas bersumber dari gerak kinetik atom. Panas dan Api menuntun manusia tak lagi perlu berterima kasih pada Dewa sebab yang menciptakan api adalah unsur terkecil dalam semesta raya, yaitu Atom. Melalui penjelasan itu, manusia mulai mengenal hukum Termodinamika (Dinamika Energi Panas) dan melahirkan paham Entropi. Energi tidak bisa diciptakan atau dihancurkan, tapi energi dapat berubah bentuk. Dalam penjelasan lain, Api yang didasari panas tak pernah redup. Api hanya menunggu momen kapan terlihat oleh mata telanjang dan kapan ia bergerak bebas tanpa kemungkinan diamati oleh manusia dengan mata telanjang. Api, melalui panas dan atom, terus bergerak tak teratur dan secara acak. Bila api tak pernah redup dan terus bergerak, lalu bagaimana api yang selama ini kita kenali? Ia terus bergerak tanpa perlu kita tanyakan, dan manusia, pada akhirnya jatuh pada ketidakmungkinan membaca pasti laju gerak panas yang terbentuk di tiap fenomena alam.
Entropi dan ketidakmungkinan menghiasi seluruh paham manusia pada abad ke-20 dan masa-masa mendatang. Api yang kita kenal tak lagi sama dengan api yang kita kenal berpuluh abad yang lalu. Api yang diakui sebagai simbol pengetahuan, hari ini justru menjadi simbol misteri dunia yang mustahil diketahui sepenuhnya. Dalam perkembangannya, Panas bahkan berfungsi sebagai alat manusia membaca waktu. Misteri Api, kembali pada kutub kegamangan manusia melihat dunia dan akhirnya ia akan membakar waktu yang seolah-olah selama ini dimiliki manusia.
100 Tahun, Pram bersama Api
Api membakar waktu. Bila berlebihan, waktu sejatinya tidaklah dibakar oleh api, tetapi api melekat pada waktu itu sendiri. Waktu sejatinya memang terbakar dan api bagian dari diri waktu itu sendiri. Kendati demikian, Manusia ditakdirkan hidup bersanding dengan api, dalam dua kutub tegang hidup-mati. Pramoedya adalah seseorang yang menghayati bagaimana api lekat dengan hidupnya. Semua orang yang membaca, tentu mengenal kutipannya bahwa “Menulis adalah Bekerja Untuk Keabadian”. Setiap karya yang ditulisnya berusaha keluar sebagai Kisah Abadi manusia. Dengan prinsipnya itu, ia menyadari hidup bersanding dengan api, dan ia terus menekan laju hidup manusia yang fana dengan menulis, “Upaya membekukan waktu”.
Upaya Pram membekukan waktu, selain melawan hukum alam, ia juga harus berhadapan dengan ragam fenomena dunia—dunia yang diikat oleh hukum alam. Hanya saja, ia yakin, tulisan mampu abadi. Dalam tulisan, waktu bisa dibekukan dan barangkali sampai taraf tertentu memiliki titik beku yang lama. Maka dari itu, ia menulis, dan karena itu pula ia senang membaca tulisan. Sebagai strategi, ia membentuk sistem tertutup agar api tak menjalar, agar panas mampu dikontrol. Dengan cara seperti kulkas yang tetap membuat es beku, ia memperlakukan tulisan seperti es. Setiap tulisan yang ia catat dan atau yang ia baca, segera ia bekukan dengan cara kliping. Mengawetkan kertas dalam balutan plastik agar tak mudah lapuk dan dirawat dalam bentuk pengarsipan.
Upayanya membekuk waktu dengan cara menulis telah membawanya menjadi salah satu penulis Indonesia paling produktif. Sepanjang hidupnya, di luar karya-karya sastra miliknya selain tulisan esai dan dokumentasi arsip, ia juga berhasil menulis 24 buah karya sastra, baik yang berupa novel, autobiografi, maupun cerpen. Sepenuhnya ia dedikasikan untuk mengisahkan waktu yang dialami oleh Orang Indonesia. Namun, bahkan dengan upayanya yang luruh, ia tetap dilahap api. Pasca 30 September 1965, naskah-naskah yang ditulisnya berhadapan dengan api yang dibawa oleh Serdadu. Mereka tidak berperang di medan laga, mereka mengerti nyawa melayang dan hilang dalam ingatan cenderung mudah terjadi di medan perang. Apa yang dilakukan Serdadu itu adalah membakar Naskah Pramoedya. Karyanya, Panggil Aku Kartini Saja jilid 3 dan 4, Sedjarah Bahasa Indonesia, Gadis Pantai dan Wanita Sebelum Kartini habis dibakar Serdadu Indonesia.
Menyaksikan Peristiwa itu, Pram seolah sadar sedang bersanding dengan api. Ia kemudian menulis dalam buku yang terbit pada tahun menjelang wafat, Saya Terbakar Amarah Sendirian! (2006), “Mereka membakar perpustakaan saya serta semua dokumen yang ada. Pada saat itu belum ada mesin fotokopi, jadi semua naskah dan dokumen diketik. Semua musnah hilang”. Peristiwa ini berulang terjadi dan waktu seolah tak memberi jeda agar Pram mampu melihat pada gejala apa momentum energi api berada di titik didih yang tinggi. Ia seolah digentayangi api yang tak sempat ia baca sebelum mampu mengamankan karyanya. Meskipun tentu, ia menyadari ini sebagai tantangan, bagi siapa saja yang hendak menciptakan sesuatu yang abadi.
Bertahun-tahun hidup dibakar amarah, bertahan hidup sumber amarah berasal dari luar dirinya, Pram tetap teguh, dengan cara apapun ia akan berusaha menciptakan sesuatu yang abadi. Setelah tahun 2000-an, ketika sorak sorai kebebasan memenuhi gaung kehidupan sekitarnya, Pram mulai kesulitan untuk berkarya lebih produktif dibanding masa mudanya. Kemampuannya menulis menurun seperti kemampuannya membaca. Namun, alih-alih menyerah, Pram teguh, ia ingin menciptakan keabadian, seolah Chairil berkata akan hidup 1000 tahun lagi. Apa yang tersisa, ia lakukan dengan mengedepankan tubuh dan menurunkan kinerja otak. Pada tahun-tahun tersebut, Pram mengalami stroke (gempa waktu) dan perlahan pulih. Rutinitas harian yang selalu dilakoninya setiap hari adalah membakar sampah.
Sembari tertawa, seolah menyaksikan betapa sukarnya keabadian dicapai, ketika diwawancarai oleh Majalah Playboy pada 7 April 2006, Pram menjelaskan mengapa membakar sampah. Ada kenikmatannya, aku bisa bilang: “lihat, aku bisa menghancurkan kau!”. Ia tertawa melihat sampah-sampah itu dibakar dan hancur. Pram seolah berhadapan dengan api yang membakar keabadian, api yang selalu mendampingi hidupnya selama ini. Entah apa yang dibayangkan menjelang hari kematiannya, tetapi api menjadi bagian dari diri Pram. Yang jelas, Api itu bukan api yang membakar orang lain, bukan api benci, ia melihat api yang tak dilihat orang lain. Astuti menjelaskan, perilaku ini membuat ayahnya merasa mampu meluapkan emosi, sesuatu yang tak sanggup ia tuliskan, “Dia bakar sampah sampai habis tak bersisa. Itu kepuasan buat dia,” kata Astuti. Barangkali, pada waktu yang lain, di tempat yang entah, Pram hari ini masih diselimuti Api. Tak ada keabadian, hanya ada Api yang terus membakar. Waktu terbakar.