Malang, PERSPEKTIF—Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas Brawijaya (UB) berkolaborasi dengan Kepolisian Resor Malang (Polres Malang) mengadakan acara bedah buku bertajuk “Move in Silence: The Untold Story of Kanjuruhan Disaster”. Acara yang digelar pada Jumat (19/12) di Auditorium Nuswantara FISIP UB ini menghadirkan Kapolres Malang, Putu Kholis Aryana, sebagai penulis buku; Ahmad Imron Rozuli sebagai Moderator, serta Widodo, Rektor Universitas Brawijaya yang turut menghadiri dan memberikan sambutan. Membicarakan tentang tragedi Kanjuruhan, acara ini tuai rasa kecewa dari keluarga korban yang merasa tidak dilibatkan.
Buku setebal 550 halaman tersebut dipresentasikan oleh Putu Kholis, yang menjelaskan proses penulisan dan tujuan dari karyanya. Sesi kemudian dilanjutkan dengan pembahasan oleh Faizin Sulistio (dosen Fakultas Hukum UB), Arief Budi Nugroho (dosen Sosiologi UB), Makuyo Galuh Mahardika (mahasiswa Pascasarjana FISIP UB), dan Sulthan Isjad (Ketua Dewan Perwakilan Mahasiswa UB 2024).
Sesi berikutnya dilanjutkan dengan diskusi dan tanya jawab. Namun, jalannya diskusi sempat diwarnai upaya pembatasan partisipasi audiens. Setelah pemateri terakhir berbicara, Imron selaku moderator secara halus mengimbau peserta untuk tidak mengajukan pertanyaan.
“Saya mendengarkan suara hati njenengan (anda, red), ingin banyak bertanya. Tapi saya sampaikan, kita harus belajar dari perjalanan Nabi Musa dan Nabi Khidir jadi ketika Nabi Musa itu bertanya sebanyak tiga kali maka dia tidak diakui sebagai muridnya, ” ucapnya.
Ketika akhirnya diperbolehkan, salah satu audiens bertanya perihal restitusi dan santunan kepada keluarga korban. Ia menyayangkan pihak Polres Malang yang seolah-olah mengambil alih tugas Kementerian Sosial dengan memberikan bantuan sosial, dan memanfaatkan hal tersebut untuk mangkir dari proses hukum perdata.
Menanggapi pertanyaan tersebut, Putu Kholis, memberikan pembelaan. “Kalau memang niat saya seperti itu untuk apa? Untuk apa keluarga korban masih mengajukan gugatan sampai hari ini? Iya kan? Saya dari awal tidak setuju dengan pembungkaman, pengkondisian. Cara menyelesaikan masalah itu tidak sebanci itu bagi saya dan saya laki-laki. Saya punya idealisme. Saya tidak pakai kutang, saya tidak pakai daster, dan saya menghadapi masalah ini secara jelas,” jawabnya.
Hal ini ternyata berkontradiksi dengan pengakuan salah satu keluarga korban yang Tim Perspektif hubungi melalui saluran WhatsApp. Cholifatun Nur, atau yang kerap disapa Ifah menyampaikan bahwa sejak awal, keluarga korban kerap mendapatkan pembungkaman, intimidasi dan kesulitan dalam proses penyelesaian hukum.
Respons negatif juga dari pihak keluarga korban tragedi Kanjuruhan yang merasa kecewa karena tidak dilibatkan dan diundang dalam diskusi yang membahas peristiwa yang sangat berpengaruh dalam kehidupan mereka. Ifah menyampaikan bahwa kekecewaannya bertambah karena acara ini berlangsung bersamaan dengan sidang restitusi korban tragedi Kanjuruhan di Pengadilan Negeri Surabaya, yang dianggap oleh keluarga korban sebagai upaya polisi untuk memecah fokus mereka.
“Sepengetahuan saya, keluarga korban (Tragedi Kanjuruhan, red) kalau dari golongan jalur hukum tak ada yang diajak, dan tidak ada yang diinfo (diberi informasi, red),” ujarnya pada Tim Perspektif dalam percakapan WhatsApp (20/12).
Ifah juga mengungkapkan bahwa ada kejanggalan isi buku berupa ketidakkonsistenan dalam pernyataan yang disampaikan oleh pihak kepolisian. Ia menyampaikan, terdapat kontradiksi antara hal yang disampaikan di acara ini dan di Pengadilan Negeri Surabaya.
“Terus terang saya pribadi, menyikapi dari dialog yang tadi itu di FISIP UB tentang bedah buku itu, saya juga merasa ambigu antara dialog dengan kejadian yang terjadi, yang kami lakukan dan kami hadapi di PN (Pengadilan Negeri, red.) tadi,” ucap Ifah.
Masih terkait bantuan sosial, Ifah mencontohkan, dalam buku tersebut bantuan sosial yang diberikan oleh kepolisian digambarkan seolah-olah berasal dari kepedulian mereka. Namun, di hari yang sama, pada persidangan yang berlangsung, kepolisian justru menggunakan bantuan sosial tersebut sebagai alasan untuk menolak restitusi dan mangkir dari tuntutan hukum.
“Nah, anehnya kenapa (saat persidangan, red.) dihubungkan sama restitusi gitu loh, sedangkan menurut kami itu kan santunan beda dengan restitusi. Restitusi itu tanggung jawab yang harus dibayarkan oleh pihak terdakwa atau termohon kepada kami,” tungkasnya melalui saluran WhatsApp.Kritik juga datang dari kalangan mahasiswa yang menilai bahwa kampus seolah mengabaikan peran aparat kepolisian dalam tragedi Kanjuruhan. Fakultas dinilai kurang sensitif terhadap keluarga korban dan masyarakat yang masih mencari keadilan. Salah satu kritikan datang dari akun Instagram @aliansi.jingga yang mempertanyakan keberpihakan kampus pada Tragedi Kanjuruhan pada postingan Instagramnya. (hr/cns)