Hashtag #AllEyesOnPapua Juni lalu menggema beriringan dengan mencuat ke permukaan mengenai penyerobotan lahan yang terjadi di papua. Hashtag yang ramai hingga di teruskan oleh banyak orang di sosial media ini adalah reaksi masyarakat Indonesia terkait Suku Awyu dan Suku Moi di gedung Mahkamah Agung Jakarta Pusat. Dengan menggelar ritual di jalan depan MA, mereka berunjuk rasa untuk memperjuangkan hutan adat mereka yang dicaplok dan dibabat habis oleh perusahaan kelapa sawit.
Menelisik sejarah Kelapa sawit di tanah Papua sudah sejak 1980-an perusahaan kelapa sawit masuk ke tanah Papua walaupun jumlahnya pada saat itu hanya kurang dari 5 hingga sampai 2005 hanya berjumlah 7 perusahaan. Hanya dalam waktu 10 tahun sejak 2005 peningkatan besar terjadi di periode 2010-2014 hingga pada tahun 2014 terdapat setidaknya 21 perusahaan yang memiliki izin pengelolaan lahan kelapa sawit di Papua. Hal ini seperti yang dipaparkan di buku Atlas Sawit Papua yang disunting oleh Y.L. Franky dan Selwyn Morgan pada tahun 2016. Pada riset yang dilakukan di Papua Barat ini juga ditemukan bahwa di 2014 diindikasikan terhadap beberapa perusahaan ‘misterius’ yang mempelopori investasi dengan mendekati pemerintah daerah untuk mengurus izin perkebunan.
Beralih ke tahun 2024 rezim pemerintah saat ini memiliki keinginan besar untuk melakukan hilirisasi kelapa sawit secara maksimal untuk memproduksi secara besar-besaran biodiesel B60. Keinginan besar ini dapat ditemukan dari pernyataan Bahlil Lahadalia Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) pada The 7th Indonesia China Energy Forum (ICEF) di Kuta Selatan, Bali saat momen bersama Administrator of National Energy, Zhang Jianhua. Bahlil menyatakan bahwa Indonesia sedang mendorong minyak campuran antara 40% solar adn 60% dari minyak nabati yang proyek ini disebut B60. Guna menyukseskan program B60 ini Bahlil menjelaskan bahwa pemerintah Indonesia membangun sekitar 300 ribu hektar di Papua untuk Crude Palm Oil (CPO) agar minyak sawit di Papua dapat dijadikan B60.
Selaras dengan hal ini Menteri Pertanian Andi Amran Sulaiman menyatakan bahwa Papua adalah daerah strategis dan memiliki lahan yang luas. Dirinya juga menilai bahwa Manokwari, Papua Barat dapat menjadi contoh hilirisasi kelapa sawit. Dalam misi hilirisasi ini menurut Amran setidaknya membutuhkan 100-200 ribu hektar Papua untuk dijadikan lahan kelapa sawit.
Data dari Auriga Nusantara pada 2022 setidaknya sekitar 663.443 hektar hutan alam Papua habis yang sekitar setengah dari deforestasi ini disumbang oleh industri perkebunan kelapa sawit sebesar 339.247 hektar. Pada rentang 2017-2020 menurut data Badan Pusat Statistika dan Direktorat Jenderal Perkebunan, terdapat 159.000 hektar lebih di Papua adalah perkebunan kelapa sawit dan 51.000 hektar berada di Papua Barat.
Perkebunan kelapa sawit melalui studi pada daerah aliran sungai di Sorong Selatan, Papua Barat, Briantama Asmara dan Timothy Randhir dari Universitas Massachusetts Amherst menemukan bahwa perkebunan kelapa sawit memberikan dampak signifikan bagi lingkungan sekitar. Asmara dan Timothy dalam penelitiannya membuat 3 skenario yaitu data dasar historis, menggunakan data tutupan lahan dari tahun 2010–2015; serta skenario yang diubah, mewakili lanskap kontemporer dengan perkebunan kelapa sawit yang besar pada tahun 2015-2021 dan skenario masa depan 2024 hingga 2034 dengan asumsi peningkatan ekspansi penurunan stabil dan mencakup data perubahan iklim 10 tahun ke depan.
Temuan mahasiswa dan professor Universitas Massachusetts Amherst menyatakan bahwa hutan hujan yang beralih menjadi perkebunan kelapa sawit meningkatkan kelembaban tanah, curah hujan dan limpasan. Hal ini dapat membuat kualitas air memburuk sejak penanaman dimulai dengan indikator sedimentasi meningkat sebesar 16,9 persen, nitrogen 78,1 persen, dan fosfor 144 persen yang akan berimplikasi pada masyarakat adat yang ada di hilir dikarenakan masyarakat adat masih sangat memanfaatkan aliran air sungai.
Selain terhadap lingkungan, pada praktiknya ditemukan terdapat beberapa kejadian bagaimana pada proses pembukaan lahan terjadi tindak pidana penipuan, penyerobotan tanah dan pengancaman yang dilakukan oknum angkatan bersenjata. Seperti pada beberapa waktu lalu yang dialami oleh suku Awyu dan suku Moi yang berasal dari Papua selatan dan Papua Barat Daya. Kasus yang dialami oleh Suku Awyu dan warga kampung yare yang berselisih dengan Pt. Indo Asiana Lestari berawal dari proyek tanah merah yang diberikan izin oleh bupati Boven Digoel 2007 Yusak Yaluwo dengan konsesi luasnya 280.000 hektar atau 10% wilayah Boven Digoel.
Perusahaan Indo Asiana Lestari (IAL) mendapatkan konsesi sebesar 39.190 hektar lahan untuk perkebunan dan pabrik pengolahan kelapa sawit. Namun, konsesi lahan yang dipegang IAL tumpang tindih dengan wilayah adat yang dimiliki oleh Suku Awyu. Suku Awyu yang menolak memberikan lahannya, tanahnya diserobot oleh IAL. Suku Awyu melayangkan gugatan ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Manado terkait hal ini namun setelah melalui 7 bulan masa persidangan gugatan warga Suku Awyu ditolak pada 4 November 2023 dengan alasan surat dari segi wewenang dan prosedur.
Pada 14 Maret 2024 suku Awyu mendatangi mahkamah agung dengan mengajukan kasasi untuk mengadili perkara lingkungan hidup. Hingga sampai saat ini terhitung pada bulan September 2024 belum ada putusan kasasi terbaru mengenai kasasi yang dilakukan Suku Awyu.
Hutan Papua menemui nestapa, deforestasi yang terus melaju bersamaan dengan mimpi penguasa untuk menjadi pelopor minyak biodiesel B60 memberikan ancaman kedepan bagi tanah Papua. Jika mengacu pada penelitian Asmara dan Timothy di Sorong Selatan akan sangat mungkin skenarionya akan lebih buruk dari yang diperkirakan mengingat ambisi untuk membuka lahan kelapa sawit kencang hingga dikatakan oleh Bahlil Lahadalia selaku menteri ESDM akan dibuka 300.000 hektar kelapa sawit di Papua.