Lompat ke konten

Only Lovers Left

Ilustrasi oleh Fadya Choirunnisa
Oleh: Nazwa R.*

Ini sudah hampir bulan keempat aku kembali bersama malaikat kecilku. Gadis manis yang selalu tersenyum kepadaku dengan mata coklatnya yang berbinar seindah bintang. Hal ini menurutku lucu, bagaimana seorang Iblis bersama dengan seorang malaikat yang kehilangan sayapnya. Aku seperti menemukan gadis yang tersesat di tepi sungai di tengah hutan dan membawanya pulang.


Namun, aku rasa dia sudah bukan malaikat yang bersinar di mataku. Aku pikir diriku hanya merasa tersesat setelah menetap terlalu lama di underworld. Tetapi setelah aku amati lama, gadisku tidak memberikanku kebahagiaan kembali. Aku rasa ini seperti.. hal yang sama dengan apa yang terjadi tahun lalu. Saat dimana aku meninggalkan malaikat kecilku karena aku pikir sudah tidak menyukainya namun berakhir merindukannya seperti orang gila.


Aku mulai berpikir dia seperti anak kecil yang butuh untuk selalu diperingatkan akan hal yang seharusnya menjadi realitas pahit di dunia. Bagaimana dia harus membela diri walau sayapnya menghilang. Lalu dia yang harus bisa mencari seorang teman dan tidak bergantung padaku. Terakhir, bagaimana dia bisa menghadapi realita bahwa aku bukanlah manusia biasa namun seorang putra Hades. Aku yang memiliki logika iblis untuk menjalani hidupku dan tidak membutuhkannya untuk mengatasi urusan neraka.


Dia tidak memahamiku. Aku mulai merasa lelah dengan dia yang berusaha ikut campur dalam urusanku di underworld. Aku paham kalau dia hanya ingin selalu bersamaku, tetapi tidak kah kau pernah merasa cukup? Aku rasa kehilangan sayapmu berarti adalah kehilangan akal sehatmu sebagai seorang malaikat. Kamu semakin mirip dengan manusia kotor yang ada disekitarmu. Egois dan tamak.


Disisi lain, aku selalu berusaha untuk menjernihkan pikiranku. Apakah benar kau begitu memuakkan atau aku hanya iblis egois yang ingin kebebasan. Aku pun mulai membendung jarak diantara hubungan kami. Meninggalkan secercah surat yang bertuliskan aku butuh waktu untuk menenangkan pikiranku.


Kutinggalkan surat itu dengan harapan saat aku kembali nanti keputusan terbaik akan kubawa dari underworld. Satu bulan berlalu, hari itu aku kembali untuk mengucapkan selamat hari jadi kami yang ke 5 bulan setelah kami bersama kembali. Namun, aku tidak hanya kembali untuk bersama dengannya. Aku kembali untuk mengakhiri segala yang telah aku mulai. Sesuatu yang seharusnya aku akhiri semenjak tahun lalu.


Aku tidak mengerti mengapa ingin bersama dengannya kembali setelah kami mengakhiri hubungan kami tahun lalu. Hal yang kuketahui adalah fakta bahwa aku merasa bersalah dan ingin membayar apa yang seharusnya dia miliki. Seorang kekasih yang menyayanginya bagaikan sang tuan putri. Aku melakukan hal yang benar selama beberapa bulan terakhir, mewujudkan impiannya. Sangat disayangkan segalanya harus berakhir.

Kukatakan bahwa aku telah hilang perasaan dengannya dan memberikannya seribu ucapan yang mengingatkannya mengenai “Seberapa malang nasib saat sayapmu hilang, ingatlah bahwa kau tetap seorang malaikat”. Tidak ada penolakan saat kami mengakhiri hubungan. Dia menerima dengan senyuman dan sedikit kecupan di pipi ku. Kurasa aku berbohong. Kurasa aku benar-benar lelah dengannya. Hanya saja kali ini perasaannya hilang bagaikan air yang menguap di panasnya api neraka.


Lucu, bagaimana aku menceritakan segalanya kepada Jake sahabatku. Kami duduk di bar sehari sesudah aku memutuskan hubunganku dengan sang malaikat. Aku dan Jake berbicara singkat mengenai kebenaran dan seberapa muaknya aku dengan hubungan itu. Kami tertawa sembari menyesap cocktail di bar malam itu. Benar, hanya sesama makhluk neraka yang memahami diriku. Begitulah seberapa aku senang bersama sahabatku Jake, pria tampan yang memiliki paras seindah Aphrodite, ibunda nya.


Hanya selang beberapa hari berlalu. Aku mendapatkan pesan dari malaikat kecil itu. Dia mengajakku untuk bertemu, hanya sekedar berbincang sebagai teman sebagaimana aku berjanji padanya bahwa kami masih bisa berhubungan sebagai teman. Aku mendatangi apartemen nya malam itu. Suasana dingin di gedung tinggi pencakar langit. Langkah demi langkah aku hentakkan di dalam gedung tinggi yang kuyakin berisi manusia yang penuh dengan harta kekayaan.


Aku menekan tombol pada pintu apartemennya. Dia membuka dengan ekspresi yang tak aku sukai. Mata sembab dan senyum yang terpaksa. Gadis itu mempersilahkan aku masuk dan aku dengan nyaman melangkah sembari duduk di sofa yang biasanya digunakan sebelum kami putus. Dia hanya menyajikan teh melati sebagaimana favorit ku.


“Jadi, apa kabar dirimu Willisa?”
Aku memulai percakapan karena ingin segalanya berakhir dengan cepat. Kami memulai percakapan seperti biasa. Menanyakan kabar dan bercerita sedikit tentang keseharian masing-masing. Kurasa ini bermula dengan ketidak spesialan. Sedikit membosankan, aku juga lelah karena baru kembali dari underworld.


Sampai di titik aku sudah cukup muak, dengan berani kucoba tanyakan hal yang seharusnya tidak dipertanyakan.
“Jadi, bagaimana perasaanmu setelah kita berakhir?” Dia hanya termenung dan berbohong berkata bahwa semuanya baik-baik saja. Aku bisa melihat dari sorot matanya yang penuh kesedihan. Aku mencoba menanyakan pertanyaan yang sama dengan dalih dia harus berkata jujur.


“Tak ada yang bisa kuubah walau aku berkata jujur, bukan?”
Aku paham dengan kenyataannya, Tapi, inilah bagian yang membuatku muak dengannya. Dia tidak melawan atau berusaha protes. Hanya menerima dengan lapang dada seperti orang bodoh. Aku lelah dengan itu.

Eksperimen yang kulakukan padanya tidak berhasil. Dia tidak berubah walaupun dia ingin aku menolongnya agar menjadi lebih baik. Aku mengusap wajahku dan memulai kejujuran. “Kau tau, aku paling tak suka dengan dirimu yang seperti ini.” Dia menatapku dengan mata yang berbinar. Kurasa dia akan menangis.


“Kau selalu diam dan menerima segalanya seolah kau tak punya kesempatan untuk melawan. Proteslah jika itu tak menyenangkan hatimu. Aku menghilang seperti tahun lalu namun kau hanya diam? Kurasa kau tak berubah sama sekali Willisa.” Amarahku berusaha kutahan sekuat mungkin walau perkataanku menyakitinya.


“Kalau aku bisa jujur, sebenarnya aku lelah denganmu yang tak kunjung sembuh. Kamu berkata membutuhkanku maka aku disana bersamamu. Namun, kau tak pernah mau menerima saranku untuk maju. Kamu lelah dengan kondisi buruk itu tetapi tidak pernah mau protes atau mengucap satu katapun.” Ini buruk, aku terbawa suasana dan dia menitikkan air mata.


Aku menghela nafas. Kurasa aku harus berhenti tetapi kata terus keluar.
“Tidakkah kamu lelah?” Pertanyaanku dijawabnya pelan sembari menahan air mata yang terus mengalir di pipinya. “Aku lelah..” ujarnya sembari terisak.


Aku berusaha memperbaiki dudukku agar lebih tegas. “Lalu, mengapa kamu tidak mau merubah keadaan itu? Aku tau itu susah, aku pernah melewatinya. Aku berusaha, menerima seberapa sering aku melakukan kesalahan. Diriku ku hujani dengan besi neraka untuk menghukum kesalahanku sendiri. Namun, setelah itu aku memperbaikinya. Bisikan iblis itu berkata aku harus memperbaiki semua kesalahan yang ku buat. Tidakkah kamu merasa demikian?” Jelasku padanya tanpa rasa empati.


Lelah kurasakan dan tangisnya yang semakin menjadi. Air matanya terus mengalir dan dia menutup wajahnya enggan menatapku. Aku tak berhenti, ku lanjutkan semua keluhan ku dapatkan darinya.


“Masalahnya, bagaimana aku bisa mencintaimu kalau kamu tak mencintai dirimu sendiri?” Dia mengangkat kepalanya dan menatapku dengan mata sembab. Aku berusaha menetralkan segala rasa empati yang kumiliki.


“Kamu tak pernah mencintai dirimu atau sekedar memuji diri kamu sendiri. Berkali-kali aku ucapkan bisikan manis tapi kau selalu menolak. Lantas, untuk apa sebenarnya tujuanku bersamamu kalau kamu sendiri tak mencintai dirimu sendiri. Siapa yang harus aku cintai dan sayangi kalau kau tak melakukan hal itu pada dirimu sendiri terlebih dahulu, Willisa?”


Deru nafas saling bersahutan di ruangan yang hening. Aku berusaha menarik nafas dalam di dalam diamnya gadis di hadapanku. “Coba lah percaya pada dirimu sendiri atas segala pencapaian hebat yang kamu miliki. Aku bisa melihat semua kehebatan dalam dirimu, namun kau sendiri buta akan hal itu.” Dia hanya termenung diam dalam air mata. Aku tak tahan ini.

“Aku paham kalau kau selalu tersesat dan tak punya tujuan hidup. Dengan segala ajaran yang telah kuberikan padamu, seharusnya kamu sendiri paham dan ingin berubah. Kamu berharga Willisa, katakan pada dirimu sendiri.” Nafasku mulai menderu, aku menarik nafas panjang.


“Aku paham orang-orang sepertimu yang tersesat tapi aku rasa sudah cukup jalan kubuka untukmu. Dan ini adalah kali terakhir kita bisa bertemu Willisa.” Air mata di sapu dari wajahnya. Dia menatapku nanar dengan penuh kesedihan.


“Baik, terimakasih telah mengatakan sejujurnya. Aku akan mencoba berubah Tristan.” Helaan nafas kembali keluar dari mulutku dengan pikiran apakah kali ini akan menjadi omong kosong? Tapi ini bukanlah tanggung jawabku lagi. Kami memang tidak seharusnya bersama, sedari awal hubungan kami memang tidak disetujui oleh semesta walau aku sang putra Hades melawan sekalipun.


“Tak perlu terburu-buru. Aku percaya suatu hari cahaya terang akan datang padamu. Itu bukanlah aku tapi kuharap semuanya akan baik-baik saja.” Ucapan selamat tinggal kami lontarkan satu sama lain. Bersamaan dengan kutinggalkan apartemen dingin itu untuk entah sampai berapa lama dengan harapan aku tak akan kembali.


Iblis, itulah isi pikiranku. Namun apa salahnya aku membela diriku dengan berusaha membebaskan diri dari belenggu yang membuatku sesak selama ini. Dengan lega aku berjalan ke arah bar di ujung kota. Mata ku menerawang seluruh ruangan dan menemukan Kana disana. Pria manis yang telah dilirik oleh seluruh pengunjung bar dengan keberadaannya di ujung ruangan.


Aku menebarkan aura hades disekitarku dan berjalan menuju Kana, sahabatku. Memesan segelas whiskey untuk meringankan isi kepalaku sembari berbicara dengan putra Poseidon yang jauh-jauh dari olympia hanya untuk mendatangiku.


“Minuman disini sedikit nikmat, Tris.” Aku tertawa kecil dengan pujiannya. Memang benar saja, ini merupakan satu satunya bar yang menurutku layak untuk didatangi di District 9. Aku duduk penuh dengan keluhan yang keluar dari mulutku. Kana paham dengan baik inimenyangkut hubunganku dengan Willisa.


Kuceritakan segala kejadian yang telah kulewati dari apartemen Willisa. Kana tertawa mendengarnya. Menertawakan seberapa menyedihkan kehidupan seorang gadis malang yang dulu kutemukan di tengah hutan. Kana paham dengan baik seberapa lelah aku dengan segala
kondisi yang ada. Dan benar saja dia mendukung bahwa hal ini terlalu melelahkan ditambah dengan urusan neraka yang tak kunjung selesai.


“Itu adalah keputusan yang benar, Tris. Dan yaa.. kurasa dia memang memiliki takdir yang buruk. Tapi it’s not your tanggung jawab lagi. Sudahi saja.” Ada benarnya juga ucapan Kana. Ya, dia bukan tanggung jawabku lagi. Yasudahlah aku akhiri saja malam ini dengan sebotol whiskey yang rasanya tak seburuk itu.

(Visited 143 times, 1 visits today)
*) Penulis merupakan mahasiswi Sosiologi angkatan 2022 Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Brawijaya. Saat ini aktif sebagai staff magang di divisi redaksi LPM Perspektif.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Terbaru

Iklan

E-Paper

Popular Posts

Apa yang kamu cari?