Lompat ke konten

Payung Sejarah

Oleh: Ade Novianto*

Lihatlah manusia itu terbang dengan bergelayut di bawah payung memandang orang-orang di bawahnya yang sedang menanam jagung dan singkong. Ia seperti menyimak sawah dan kebun itu yang dilalui para petani-petani gurem. “Lihat di atas ada orang gelayutan di payung, cepat panggil Pak Kades dan hansip, mungkin ia terbang saat menahan dagangan es tebunya yang disapu angin, ini ‘kan musim hujan, angin kencang di mana-mana.” Orang di atas itu tenang sembari melambaikan tangannya ke bawah seperti Presiden menyapa rakyat atau pendukung politiknya. Orang-orang berkerumun membanjiri lahan-lahan kosong untuk menonton pertunjukkannya yang atraktif. Orang di atas payung itu kadang seperti berselancar menggunakan zet sky di pantai kadang memutar-mutar menunjukkan seperti sepeda berputar dan berteriak-teriak manghadap awan.

Kampung yang tenang kini menjadi hingar bingar mendengar ada payung bisa terbang kesana-kemari mengajak pergi seseorang. “Hey payung, mau kau ajak aku kemana? Aku butuh kau saat daganganku laris manis seperti manisnya air tebu yang ku jual”. Anak kecil keluar rumah berlarian sambil berteriak menggendong mainannya, ibu-ibu pengajian yang baru pulang dari sanggar ikut bertepuk tangan seraya merayakan kegembiraan. Terbang berkeliaran seperti burung liar mencari kehidupan. Seperti layang-layang yang diulur dan ditarik-tarik. Dengan erat orang itu memegang gagangnya yang kuat. Tiba-tiba dari ujung gagang payung itu terdengar seperti bisikan memerintah dengan suara parau.

“Maaf tuan, aku terpaksa membawamu terbang ke tempat yang telah lama menjadi perhatian sedikit orang.”

“Hah? Apa maksudmu?”

“Aku mendengar di pusat-pusat kota akhir-akhir ini telah menemukan jawaban dari sebuah pertanyaan usang.”

“Hey, pelan-pelan, anginnya terlalu kencang, aku tidak mendengar! Berhentilah dulu.”

Berhentilah payung itu pada sebuah danau kecil yang tempatnya jauh dari keramaian. Di kesunyian danau, payung itu menurunkan tuannya dengan penuh penghormatan dan kehati-hatian. Hanya kicau burung yang terdengar. Di pinggir danau itu ia turun pada kedua kakinya yang telah lama melayang-layang bagai jemuran. Mukanya yang telah lama berkibaran bagai bendera-bendera pinggir jalan, ia agak sedikit linglung, menatap-natap payungnya dapat membawanya pergi jauh.

Di tengah kebingungannya, payung itu pergi ke tengah danau untuk menyendok air sebagai pelepas dahaga tuannya yang diajak melayang-layang tidak karuan. Dengan membalikkan posisinya payung itu berhasil merauk air dengan suka cita kemudian dibawa untuk menghadap pada tuannya. “Minumlah tuan, air di danau ini suci tidak perlu engkau masak lagi dengan kompor dan gas seperti di rumah”. Dengan rasa haus ia pun meminumnya dengan cara menyerok dengan kedua tangannya.

“Aku tidak mengerti apa maksud omonganmu tadi.”

“Mungkin Tuan tidak tahu atau jangan-jangan Tuan tidak mendengar informasi yang baru-baru ini hangat diperbincangkan.”

“Aku terlalu sibuk dengan daganganku, setiap siang aku harus meladeni pembeli yang datang dan pergi dari gerobak ku, menghancurkan puluhan tubuh tebu, menggilingnya dengan mesin, menjadikannya air yang manis untuk dapat dinikmati orang-orang atau buruh pabrik di sebelahku. Tidak ada waktu untuk mencari informasi lewat koran atau membaca pengumuman di mading kantor kepala desa.”

“Maaf Tuan, atas dasar itulah aku sebagai alatmu yang diwariskan dari bapakmu, bapakmu diwariskan lagi dari kakekmu, kakekmu diwariskan lagi dari buyutmu. Itu adalah saksi bisu yang benar-benar bisu pada kenyataan masa silam. Engkau tidak mengetahui apa yang terjadi ketika aku menjadi saksi nyata.”

Payung tua itu telah lama ingin bangkit dari kuburnya, kondisinya telah ditambal-tambal dengan macam-macam bahan dan tambalan lakban yang menjadikan satu-satunya saksi pada peristiwa pembantaian di keluarganya. Ia selalu bertahlil dikala malam jumat dengan penuh rasa bersalah karena tidak dapat melindungi tuannya seperti ia melindungi saat hujan dan terik panas. Rasa bersalah itu mungkin akan terlunaskan ketika ia akan lebih banyak lagi berbicara atas peristiwa yang mengenaskan atas perlakuan terhadap tuannya. Ia mendapat kabar ketika segerombolan orang berseragam saling bercengkrama di samping pabrik tepat bersebelahan dengan dagangannya.

***

Segerombolan berseragam saling berdiskusi dengan koran yang digenggamnya. Berdiskusi dengan sesamanya tentang berita santer yang sudah lama menjadi rahasia umum.

“Apa-apaan ini? Sejarah ingin direvisi?”

Kami yang dulu menjadi ujung tombak dari keberingasan PKI, kami yang ketika itu memperjuangkan kemerdekaan dari pemberontakkan, kami yang dulu rela pergi ke medan tempur dengan risiko mati atas nama bangsa, meninggalkan anak istri, membawa misi merdeka seutuhnya, sekarang sudah memberi pernyataan bersalah dari negara. Kami yang berseragam selalu menjaga kedaulatan atas nama negara berdaulat, diperintah untuk menertibkan dari segala rong-rongan golongan haram. Kami yang diperintah melalui Supersemar. Bagaimana kami menciptakan perpolitikan menjadi stabil, kami juga membantu para petani berswasembada pangan, beras melimpah, kehidupan tentram, warga guyub, tanpa adanya preman, sekalinya ada preman besoknya tertib. Kami yang terlatih membasmi hama-hama ancaman, kami yang terlatih bagaimana suara sniper membisu, kami dilatih membidik dengan tepat seperti membidik burung yang terbang dengan kecepatan mobil ferari, kami juga dilatih baris-berbaris membentuk pagar betis seperti pelanggaran di sepakbola. Atas nama ancaman itu semua kami sangat berharga, seperti berlian dikepung krikil-krikil jalan, sangat cekatan seperti ajudan yang selalu sedia bertempur. Darah kami sudah lebih merah seperti tidak ada yang lebih merah lagi kecuali merah darahnya kami, itu sebagai bentuk kecintaan merah putih.

***

Pada tengah hari payung tua itu pun berkeliaran bersama tuannya menuju Pusat Pemerintahan. Dengan modal nekat ia berdua melesat seperti latihan jet militer yang sering dilihat dari atap rumahnya.

“Aku tak tahu arah dan jalan ke Pusat Pemerintahan.”

“Kalau begitu mari kita tersesat bersama-sama, Tuan.”

“Jangan gila kau, itu akan memakan waktu dan sangat menghabiskan energi.”

“Tuan, begitu banyak cara untuk kita beristirahat untuk sekadar makan dan minum, aku akan terus mencari cara agar aku dapat berbicara pada peristiwa itu, btw ini hari rabu, ya?

“Memang kenapa kalau hari rabu?”

“Pucuk ujungku selalu memberi sinyal kalau besok malam waktunya tahlilan, pegang erat-erat, Tuan.”

Melesatlah payung itu ke arah sembilan mata angin demi mencari kebenaran.

Sore berganti malam. Ia melihat bitnik-bintik kuning kecil di bawah.

“Kita sudah sampai mana?”

“Sebentar, Tuan, kita turun sebentar untuk mencari informasi.”

Turunlah payung itu sebentar.

“Kita di Cirebon, Tuan.”

“Pantas saja, anginnya bau terasi, ayo kita lanjut.”

Kakinya gelantungan. Matanya membentuk garis tengah karena tiupan angin seperti tiupan trombone pada semut. Dilaluinya beberapa kota, gunung, lembah, sungai, terbang di atas mobil-mobil mewah.

“Lihat itu, manusia laba-laba.”

“Wow keren.”

“Bukan, itu terjun payung.”

“Kalo terjun payung kenapa enggak terjun-terjun?”

“Ahhh, itu manusia payung.”

“Manusia terbang pakek payung.”

“Dari mana dia? apa dia manusia jadi-jadian?

“Woy… bagaimana caranya bisa terbang?”

“Apa? Tidak terdengar!”

Setelah melewati malam. Ia pun sampai di pusat kota. Dengan rasa kepercayaan yang tinggi ia menemui gedung-gedung jangkung.

“Sepertinya kita sudah sampai di pusat kota, Tuan.”

“Aku lapar, sepertinya kita harus sarapan untuk menambah energi di perjalanan. Itu ada bubur ayam, kita turun sebentar.”

Hari semakin siang, suasana kota menjadi gemuruh melihat orang bergelayutan dengan payung. Orang-orang di dalam mobil menjulurkan lehernya ke luar jendela, ada yang berhenti sebentar sambil berfoto ria, ada juga yang menunjuk-nunjuk ke awan, para pedagang di pusat kuliner serentak menganga. “Wihh… terbang”. Satpam-satpam gedung geleng-geleng kepala.

“Ini gedung apa?”

“Ini gedung Arsip Nasional, Tuan.”

Payung itu melesat lagi.

“Orang-orang kota sulit dikenali tuan.”

“Bagaimana tidak sulit, wong pada pakek helm semua.”

Payung itu terus melesat. Menerabas angin kota yang udaranya tidak lagi sehat.

“Itu seperti bangunan Kolonial Belanda. Hey coba kau kurangi kecepatannya karena aku tak tahan asap polusinya.”

“Wah, ini sih, Museum Kota Tua.”

Tanpa sadar pucuk ujung payungnya berkedip seraya memberi informasi kalau arahnya salah jalan.

“Bunyi apa itu?”

“Sepertinya sinyal teman-temanku, Tuan, ia memberi sinyal jalan ke arah Pusat Pemerintahan.”

“Segera meluncur.”

“Laksanakan, Tuan.”

Payung itu terus mencari seperti terkoneksi radar. Payung itu putar balik.

“Itu pucuk emas!”

“Coba mendekat.”

“Ahh, ini mah Monas.”

Payung itu berputar mengelilingi Monas dan masih juga sinyal pucuk di payung itu terus-menerus berbunyi. Tanpa sadar payung itu dengan sendirinya menyasar ke arah barat. Dilihatnya hitam-hitam seperti berkerumun. Payung hitam-hitam mewarnai aspal di depan Istana Negara. Dengan wajah letih ia disambut dari bawah dengan tepuk tangan yang nyaring. Bergabung tepat pada hari kamis. Berjejer tulisan adili para pelaku HAM berat masa lalu. Foto hitam putih lelaki berkumis, perempuan, dan pria tonggos meramaikan kerumunan itu. Payung itu berbisik “Malam ini seperti biasanya aku akan bertahlil mengirimi doa untuk para leluhurmu.”

(Visited 280 times, 1 visits today)
*) Penulis adalah alumnus Hubungan Internasional Universitas Satya Negara Indonesia, pengamat kebijakan RW & jobseeker.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Terbaru

Iklan

E-Paper

Popular Posts

Apa yang kamu cari?