Malang, PERSPEKTIF – Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) dan 18 LBH kantor melakukan pengkajian terhadap Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu) Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja (Ciptaker) dengan judul “Launching Audit Perpu Cipta Kerja” secara virtual pada Senin (30/1). Diskusi lanjutan ini menganggap Perpu tersebut mengancam sektor pertanian, hutan, dan pangan.
Kajian ini menghadirkan Ivan Wagner sebagai perwakilan dari LBH Kalimantan Barat Kluster Hutan, Abdul Malik Adam sebagai perwakilan YLBHI Kluster Pangan, dan Siti Rakhma Mary Herawati dari perwakilan YLBHI Kluster Analisis Aktor. Serta para penanggap yakni Andik Hardiyanto dari merDesa Institute, Laksmi A. Savitri dari FIAN Indonesia, dan Feri Amsari dari Pusako.
“Dalam Ciptaker ini yang pertama dia (Perpu Ciptaker, red) menghilangkan check and balancing, persetujuan rakyat, lalu kemudian merusak perimbangan kekuasaan yang sebenarnya sudah coba dibuat. Saya pikir ini menjadikan Indonesia lebih buruk dari monarki,” kata Ivan membuka diskusi.
Abdul yang membahas persoalan pertanian menyebutkan, pemerintah sekarang sedang membangun lumbung pangan, tapi di sisi lain dengan adanya Perpu Ciptaker mempersilahkan impor dengan mudah. Alhasil, ia berpendapat nantinya Perpu ini akan menyempitkan akses petani kecil dalam perumusan kebijakan di Indonesia. “Maka dari itu, kita patut bertanya tentang nasib pekerja kita di dalam negeri yang berada di sektor pertanian,” imbuh Abdul.
Siti yang membahas mengenai analisis aktor mengatakan, terdapat pihak perumus Perpu Ciptaker yang terhubung dengan perusahaan ekstraktif besar. Salah satu yang terlihat adalah Airlangga Hartanto, Menteri Koordinator Perekonomian yang juga bagian dari Tim Satgas Omnibus. Ia disinyalir terhubung dengan perusahaan tambang batubara PT Multi Harapan Utama di Kutai Kartanegara.
“Khawatirnya dalam menentukan kebijakan publik, mereka yang memegang jabatan pasti mengambil keputusan sesuai dengan bagiannya,” tutur Siti.
Andik hardiyanto selaku penanggap Kluster Hutan mengatakan Perpu Ciptaker harusnya berfokus untuk memulihkan struktur dan fungsi ekosistem hutan. Sehingga dapat mengatasi masalah perubahan iklim dan memberikan kesejahteraan bagi masyarakat.
“Sudah seharusnya pengaturan dalam Perpu itu mempertimbangkan masyarakat lokal karena pemanfaatan hutan berkaitan langsung dengan kesejahteraan masyarakat,” jelasnya.
Di sisi lain, Laksmi Ayu mengatakan persoalan industri pertanian dan pangan saat ini sedang terjebak pada jerat oligarki yang ingin menguasai kapital di sektor-sektor strategis.
“Sehingga perlu upaya koherensi parsial melalui upaya untuk memasukan para petani kecil, nelayan, dan para pelaku industri pertanian dan pangan skala kecil ke dalam suatu rantai pangan global,” paparnya.
Sementara itu, Feri Amsari mengatakan jika perpu ciptakerja ini sedari awal secara konteks formalitas pembentukannya bermasalah.
“Tidak lazim Perpu memiliki banyak pasal, sementara Perpu sendiri berdasarkan hal-ihwal kegentingan memaksa. Masa soal hal-ihwal kegentingan memaksa banyak betul problemnya,” pungkas Feri. (uaep/yn/gra)