Malang, PERSPEKTIF – Masih hangat di ingatan masyarakat saat pengunjuk rasa yang terdiri dari mahasiswa, melakukan demonstrasi menuntut Bupati Tangerang pada Rabu (13/10) lalu di Tigaraksa, Tangerang. Tuntutan mereka berisi tiga poin: pengelolaan limbah, tugas relawan Covid-19 yang sudah melenceng, serta infrastruktur daerah tersebut. Di luar tuntutan yang disuarakan, turut pula menjadi sorotan publik saat seorang polisi ‘menertibkan’ mahasiswa dengan membantingnya hingga ia dilarikan ke rumah sakit. Kejadian tersebut terekam dan viral di media sosial. Akibatnya, banyak kritikan yang ditujukan kepada kepolisian yang dinilai sewenang-wenang dalam menjalankan tugasnya.
Berbagai polemik yang berdatangan ke tubuh kepolisian bahkan mendorong netizen untuk menggaungkan tagar #PercumaLaporPolisi sebagai bentuk kekecewaan dan ketidakpuasan masyarakat, khususnya terhadap kinerja aparat kepolisian. Salah satu yang mendasari viralnya tagar ini adalah kasus pemerkosaan yang dihentikan penyelidikannya oleh polisi di Luwu Timur, Sulawesi Selatan.
“Akhir-akhir ini, masalah oleh kepolisian muncul secara masif ke permukaan. Artinya, memang selama ini masalah dari sumber daya manusia itu masih ada,” ujar Novy Setia Yunas, dosen Ilmu Politik Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas Brawijaya (05/11).
Menurutnya, akuntabilitas dan transparansi menjadi tugas polisi dalam berbenah. Artinya, pihak kepolisian harus terbuka dalam menyampaikan perkembangan tiap tahapan, mulai dari penyidikan hingga putusan perkara. Transparansi dan akuntabilitas dilakukan agar masyarakat dapat memperoleh kejelasan dan menilai kinerja kepolisian.
Selain prosedur, menurut Yunas, sikap dan tindakan kepolisian juga menjadi catatan. Perlu adanya komitmen dari pimpinan Kepolisian Republik Indonesia untuk melakukan pembenahan total pada institusi kepolisian. Berbagai permasalahan ini jelas berdampak dan mungkin lebih tepatnya tidak sesuai dengan program prioritas pada poin peningkatan kualitas Sumber Daya Manusia (SDM) yang unggul di era police 4.0. Jika di kemudian hari masih terdapat problem-problem seperti itu, maka bisa dipastikan bahwa belum adanya perbaikan citra kepolisian di mata publik.
“Masyarakat pasti saat ini sangat menginginkan polisi yang humanis dan profesional. Bukan polisi dengan ‘wajah’ arogan yang ditunjukkan melalui beberapa kasus seperti oknum polisi membanting mahasiswa, oknum kapolres yang menendang anak buahnya, dan oknum polisi yang memeriksa handphone masyarakat (tanpa landasan hukum, red)” terang Yunas.
Yunas mengungkit pasal UU Kepolisian RI Nomor 22 Tahun 2002 yang dijadikan sebagai landasan hukum yang harus dipatuhi oleh aparat kepolisian. Ia menjelaskan, “Ini negara hukum dan mereka penegak hukum. Kok, saat ini ketika saya melihat polemik yang ada itu tidak sesuai landasan hukum.”
Sebagai negara hukum, tentu saja hadirnya kepolisian adalah sebagai aparat yang menegakkan hukum, menertibkan masyarakat dan juga mendengar keluh kesah, aspirasi, serta pendapat masyarakat. Bukan justru membungkam suara masyarakat.
Hal ini disepakati oleh Axel Jhon Calfari, mahasiswa aktivis yang menyoroti adanya polisi virtual yang bisa menjegal masyarakat saat mengkritik atau berpendapat di media sosial terkait kinerja pemerintah. Tindakan represif dari polisi virtual ini menunjukkan bahwa seolah-olah suara rakyat diberangus. Isu-isu keamanan siber yang lain seperti spamming, phishing, hingga maraknya konten pornografi bahkan tidak tertangani dengan baik. Justru saat ini polisi lebih sering menangani masyarakat yang mengkritisi pemerintah.
Menurut Axel, masih ada penyalahgunaan kewenangan yang dilakukan oleh polisi, khususnya dalam menertibkan massa. Salah satunya adalah saat ada oknum polisi yang membanting massa aksi pada 13 Oktober silam di Tangerang. Ia meyakini bahwa tindakan tersebut melanggar prinsip-prinsip dari Hak Asasi Manusia (HAM). Polisi yang seharusnya menegakkan dan menjamin HAM seseorang, justru mereka yang melanggar.
“Saya menilai ada yang salah dari tubuh kepolisian hari ini, karena masih adanya penyalahgunaan kewenangan di sini. Jika bicara mengenai kepolisian dan mahasiswa, misalnya aksi massa yang lalu yaitu Hari Buruh di Jakarta, kita (massa aksi, red) sudah dibubarkan terlebih dahulu sebelum sampai di jalan. Artinya, polisi belum melindungi kemerdekaan masyarakat dalam berpendapat,” jelasnya.
Masifnya penggunaan tagar #PercumaLaporPolisi yang digaungkan oleh berbagai lapisan masyarakat di media sosial Twitter saat itu, merekam banyak cuitan-cuitan jenaka bahkan mengandung kritik pedas yang ditujukan kepada aparat. Seolah-olah kasus kepolisian terbongkar oleh masyarakat dan memperlihatkan ketidakadilan serta rumitnya melakukan pelaporan.
“Ketika kita melakukan pelaporan itu prosesnya pun sangat rumit dan adanya tagar #PercumaLaporPolisi yang sangat masif ini tentunya timbul karena polisi yang menutupi kasus, salah satunya kasus kekerasan seksual terhadap anak yang tentu ini merupakan catatan merah. Perlu adanya evaluasi besar-besaran terhadap Polri,” ujar Axel.
Haikal Azaim, mahasiswa Psikologi 2019, memaknai hadirnya tagar tersebut sebagai ungkapan hati rakyat yang selama ini dipendam dan akhirnya menemukan caranya muncul ke permukaan. Senada dengan berbagai keluhan masyarakat di dunia maya, ia merasa sangat kesulitan untuk mempercayai polisi, meskipun ia masih ingin percaya.
“Akan tetapi, saya tidak bisa menghiraukan seberapa penting fungsi instansi kepolisian dalam hidup saya sebagai individu dan sebagai warga negara,” jelas Haikal.
Haikal berharap kepada instansi kepolisian dan instansi pelayanan sipil lainnya, sudah seyogyanya menyadari bahwa tugas mereka adalah melayani masyarakat sipil dan juga sebagai pendengar aspirasi masyarakat. Akan tetapi, yang terjadi di lapangan saat ini justru tidak sesuai dengan harapannya.
“Percaya polisi, penting tetapi sulit,” tutupnya.