Malang, PERSPEKTIF—Himpunan Mahasiswa Politik (Himapolitik) bersama Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas Brawijaya (UB) menggelar acara bertajuk “DISKUSI JINGGA X DIALOG CENDEKIA” pada Rabu (28/4). Diskusi yang membahas tentang UU ITE dan Polisi Virtual: Indikasi Kemunduran Demokrasi ini dilaksanakan melalui Zoom Meeting dengan menghadirkan tiga pemateri, yaitu Andrean Saifuddin dari Perhimpunan Mahasiswa Hukum Indonesia (PERMAHI); Dosen Ilmu Komunikasi FISIP, Anang Sujoko; serta founder Total Politik, Arie Putra.
Ramainya pembahasan mengenai kontroversi UU ITE dan Polisi Virtual dikalangan masyarakat melatarbelakangi diadakannya diskusi ini. Acara dibuka dengan sambutan dari ketua Himapolitik 2021, Ariena Azizah, dan Presiden BEM FISIP 2021, Muhammad Nurcholis Mahendra.
Materi pertama disampaikan oleh Andrean yang mengupas UU ITE dan Polisi Virtual dari sudut pandang hukum. Andrean mengatakan bahwa UU ITE melanggar beberapa hak berekspresi masyarakat serta banyak digunakan untuk modul kriminalisasi penguasa terhadap masyarakat yang menyampaikan kritik.
“Presiden sempat menyatakan untuk membedakan antara kritik dengan cemooh, fitnah, dan nyinyir. Sementara dalam UU ITE terkait kritik, ujaran kebencian, dan seterusnya itu batasannya tidak jelas,” tutur Andrean.
Beberapa pasal dalam UU ITE, kata Andrean, tidak sinkron dengan jaminan konstitusi dan berbagai konferensi internasional tentang Hak Asasi Manusia. Selain itu, perumusan norma pada beberapa pasal terbukti menimbulkan penafsiran secara personal maupun oleh aparat penegak hukum.
Sedangkan untuk Polisi Virtual, Andrean mengatakan bahwa kebijakan ini tidak disertai dengan mekanisme banding atas peringatan polisi terhadap suatu unggahan di media sosial serta mempersulit pembelaan bagi korban dengan dalih polisi telah memperingatkan.
“Dengan adanya virtual police, ruang demokrasi masyarakat untuk berbicara kritik menjadi lebih terbatas,” ucap Andrean.
Sependapat, Arie Putra menyampaikan bahwa substansi UU ITE perlu dikaji lebih mendalam.
“Ada substansi UU ITE ini yang bisa dianggap progresif dan terbuka. Namun masalahnya, substansi yang progresif saja tidak cukup dalam mewujudkan masyarakat yang demokratis,” kata Arie.
Lebih lanjut, Arie mengatakan perlu adanya perlindungan data pribadi sebagai pelengkap UU ITE. Aturan mengenai perlindungan data pribadi penting agar dapat memilah antara informasi yang sifatnya publik dan informasi privat.
Materi terakhir dari Anang menyampaikan bahwa UU ITE merupakan dilema. Dalam komunikasi, penyampaian ekspresi merupakan kebutuhan yang akan menjadi bom waktu jika tidak tersalurkan. Salah satu medium menyampaikan ekspresi adalah media sosial.
“Media sosial juga sebagai penegak pilar demokrasi, maka eksekutif itu adalah orang yang harus dikontrol oleh siapapun. Sehingga jangan lah eksekutif, yudikatif, dan legislatif menggunakan aparatur negara dalam rangka menyakiti atau membatasi kebebasan warga,” ucap Anang.
Di akhir diskusi, Anang mengatakan bahwa kritik masyarakat merupakan keniscayaan dalam demokrasi. Oleh karena itu, perlu untuk memposisikan masyarakat sebagai rekan dalam penyelenggaraan pemerintahan.
“Literasi adalah kunci dan keterdidikan adalah jawaban. Revisi dalam UU ITE perlu dilihat dari substansi, kultur, struktur, dan polisi virtual perlu ditinjau kembali,” ucap Andrean menutup diskusi. (uaep/laa/ais)