Lompat ke konten

Angkasa

Illustrator: Sari Rimayanti
Oleh: Diavena Alusia Tamba*

Tenang sekali, pikirku.

Aku memandangi taman tempatku berada saat ini. Rasanya masih sama seperti dulu. Aku menghirup napas dalam-dalam mencoba mengingat kembali aroma bunga-bunga yang pernah membekas dalam ingatanku.

“Samudra?”

Aku menoleh saat merasa seseorang memanggil namaku.

“Angkasa?”

Aku kaget dan tidak menyangka akan bertemu dengan seseorang yang pernah singgah di hatiku dulu.

“Samudra? Apa yang kamu lakukan disini?”

“Ohh… Aku hanya ingin mengenang masa lalu. Kamu sendiri sedang apa disini?”

“Aku kebetulan lewat sini”

Tentu saja hanya lewat. Memangnya apa yang kamu harapkan, batinku.

“Sendiri?”, tanyaku penasaran.

“Tentu saja. Memangnya dengan siapa lagi?”, ucapnya dengan tawa ringan.

Ah aku merindukan tawa itu.

“Mau jalan bareng?”, tawarku.

Samudra bodoh. Kamu pasti akan ditolak.

“Boleh”, ucapnya sambil tersenyum manis.

Bahkan senyumnya masih terlihat manis seperti dulu.

Tanpa dikomando, kami mulai berjalan berdampingan tanpa arah yang jelas. Awalnya aku senang, tapi sekarang aku mulai menyesali ajakan jalan yang mendadak ini. Selama berjalan, tidak ada satupun dari kami yang berbicara.

Canggung sekali. Apa yang harus kukatakan?

“Bagaimana kabarmu?”

Tepat ketika aku akan membuka mulut, Angkasa sudah lebih dulu bertanya. Sepertinya dia menyadari kecanggungan ini.

“Aku baik. Bahkan rasanya jauh lebih baik dari yang dulu”, jawabku sembari mengingat kembali perjalanan hidupku.

“Apa kamu bahagia?”

“Ya, aku bahagia sekarang”

“Syukurlah”

Aku dapat menangkap senyum kecil terpatri di bibirnya.

“Bagaimana denganmu?”

“Aku sangat-sangat baik. Rasanya aku tidak pernah sebaik ini”

Sekarang aku dapat melihat senyumnya yang semakin lebar. Sepertinya keadaannya memang sangat baik.

“Seingatku kita pernah mengukir sesuatu di pohon yang ada di taman ini. Ingin melihatnya?”, tanyanya tiba-tiba.

“Boleh”

Aku dan Angkasa pun memutuskan duduk di bawah sebuah pohon rindang, tempat dimana kami sempat menuliskan inisial nama kami dulu.

“Ternyata waktu cepat berlalu ya. Tidak kusangka pada akhirnya kita akan berpisah dan punya kebahagiaan masing-masing”

“Aku yang lebih tidak menyangka”, ucapku sambil tertawa hambar.

“Ceritakan padaku soal perjalanan hidupmu”

Tiba-tiba sekali.

“Kenapa harus?”

“Oh ayolah. Aku penasaran dan aku suka mendengarmu bercerita”, rajuknya.

Caranya merajuk masih menggemaskan seperti dulu.

Aku akhirnya mulai bercerita tentang kisah hidupku dimulai dari ketika kami berpisah hingga saat ini. Sesekali aku meliriknya untuk melihat reaksinya. Ekspresinya yang tampak serius dan sesekali mengangguk-angguk membuatnya tampak konyol.. atau mungkin lucu?

Kami menghabiskan waktu sore itu dengan menceritakan kisah hidupku dan saling melempar lelucon konyol andalan kami dulu.

“Sudah sore ternyata”

Lagi-lagi, ia menyadari perubahan waktu lebih dulu. Aku, seperti biasanya tidak akan ingat waktu jika sudah duduk sembari bercerita dengan Angkasa.

“Kamu tidak pulang?”

“Sejujurnya aku masih ingin disini. Aku bahkan belum mendengar ceritamu”, jawabku.

Well, ini sudah sore dan itu artinya kita harus pulang. Lagipula aku yakin seseorang pasti sudah menunggumu”

“Kamu benar”

Setelah itu, hening sejenak. Kami sempat tenggelam dalam pikiran masing-masing selama beberapa saat.

“Jadi, sampai jumpa?”, tanyaku ragu.

“Ya, sampai jumpa”, ucapnya sambil tersenyum manis.

“Apa kita masih bisa bertemu lagi?”

Tolong katakan iya.

Jujur saja aku masih ingin bertemu dengannya. Masih banyak yang ingin aku sampaikan padanya atau kalau dia mau, dia juga boleh bercerita apa saja padaku.

“Ya, aku harap kita bertemu lagi”, ucapnya sambil tersenyum lebar.

Ahh. Mata sipit itu. Mata sipit yang selalu terbentuk saat ia tersenyum lebar. Mata sipit yang menarik perhatianku sejak pertama kali aku melihatnya. Mata sipit dan senyum manis yang akan selalu kurindukan. Cinta pertamaku.

“Baiklah. Kalau begitu aku pergi dulu. Sampai jumpa Angkasa”

“Sampai jumpa Samudra”



***


Daddy

Seorang anak kecil berlari menghampiriku sambil merentangkan tangannya lebar-lebar. Ternyata itu adalah putraku yang tampan.

Daddy habis dari mana?”, tanyanya.

Daddy habis jalan-jalan di sekitar sini”, ucapku sambil menggendong putraku.

Daddy tidak takut sendirian?”

“Tentu saja tidak. Daddy kan pemberani”

Daddy keren!”

“Sayang”

Aku menoleh saat mendengar seseorang memanggilku.

“Kamu sudah bertemu Angkasa?”

“Sudah”, jawabku sambil menoleh sekilas ke taman tempat aku bertemu dengan Angkasa tadi.

“Bagaimana kabarnya?”

“Angkasa baik-baik saja dan katanya ia sangat bahagia”

“Benarkah? Syukurlah. Ya sudah kalau begitu ayo kita pulang. Sebentar lagi waktunya makan malam”

“Ayo”

Sebelum benar-benar pergi meninggalkan tempat itu, aku menoleh sekali lagi dan menatap ke arah pohon rindang tempat aku duduk tadi. Di sana aku dapat melihat Angkasa duduk tenang sambil tersenyum manis. Ia melambaikan tangannya padaku sebentar sebelum benar-benar menghilang dari pandanganku.

Sampai jumpa Angkasa. Semoga kamu selalu bahagia di atas sana.

(Visited 47 times, 1 visits today)
*) Penulis merupakan mahasiswi Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Brawijaya tahun 2017. Saat ini aktif sebagai anggota Divisi Redaksi LPM Perspektif.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Terbaru

Iklan

E-Paper

Popular Posts

Apa yang kamu cari?