Lompat ke konten

Rindu

Judul Novel : Rindu
Penulis : Tere Liye
Penerbit : Republika
Tahun Terbit : 2014
Jumlah Halaman : 544 Halaman
Nama peresensi : Suci Wandari

“Bukankah banyak kerinduan saat kami hendak melupakan? Dan tak terhilang keinginan melupakan saat kami dalam rindu? Hingga rindu dan melupakan jaraknya setipis benang saja.”

Novel ini memberikan makna rindu dalam artian yang lebih luas. Rindu dalam novel ini didefinisikan dalam banyak hal. Tere Liye menggambarkan rindu dari beragam sudut pandang dan berhasil menelanjangi pikiran pembaca bahwa rindu tak selalu soal jarak, waktu atau mendambakan orang terkasih. Cerita dimulai dari perjalanan haji yang dilakukan pada tahun 1938, dimana untuk menempuh perjalanan haji pada saat itu membutuhkan waktu berbulan-bulan. Dengan latar cerita pada masa penjajahan Hindia Belanda, suasana dalam cerita begitu menggelitik perasaan pembaca.

Tere Liye sepertinya meminta pembaca untuk mengeluarkan semua emosi yang ada saat membaca novel ini. Emosi kagum pada kewibawaan seorang Gurutta Ahmad Karaeng yang merupakan ulama terkenal dari Makassar yang sedang mengikuti perjalanan haji dengan kapal dan tokoh-tokoh penting dalam novel ini.

Ulama ini digambarkan sebagai orang yang sangat bijaksana dan mampu memberikan jawaban yang membuat orang mengamini atas setiap jawabannya. Disisi lain, Gurutta Karaeng ini sendiri tak mampu menjawab pertanyaan yang ada dalam benaknya sejak lama. Lalu diceritakan juga tentang kisah kasih sayang antara dua orang yang tua renta yang juga merupakan penumpang kapal yang akan melakukan perjalanan haji. Mbah Kakung dan Mbah Puteri yang disebutkan dalam novel ini sama-sama meninggal dalam perjalanan haji. Mbah Puteri meninggal terlebih dahulu dalam cerita ini, lalu jasadnya dihanyutkan di lautan. Mbah Kakung pun tampak sangat murung dan bersedih sepeninggalan istri tercintanya. Kemudian Mbah Kakung menyusul istrinya karena sakit juga, akhirnya mereka berdua kembali bertemu di lautan. Mereka berdua seperti wujud dari cinta mati dan cinta sejati yang sering dibualkan oleh penulis dalam cerita romansa.

Adapula kisah memilukan seorang guru ngaji yang merupakan keturunan Cina. Ia mengajar ngaji anak-anak di mushola kapal, Bonda Upe panggilannya. Tak hanya parasnya yang cantik, sikapnya juga. Oleh sebab itu, banyak anak-anak yang menyayanginya termasuk Elisa dan Anna yang merupakan anak Daeng Andipati yang juga tokoh penting dalam novel ini. Siapa sangka dibalik kesempurnaan yang tampak diluar, Bonda Upe dirundung kesedihan karena dosanya di masa lalu. Hingga tiap malam ia selalu menangisi kesalahannya itu.

Kisah yang paling menyedihkan adalah kisah Ambo Uleng. Ia adalah seorang pelaut yang direkrut oleh kapten Philips. Ia hanya menghabiskan hidupnya di lautan, tanpa ada tujuan yang jelas. Ia hanya ingin pergi yang jauh meninggalkan kisah-kisah memilukan yang ia alami. Ambo uleng digambarkan sebagai pelaut yang pendiam dan selalu murung namun ia tetap terlihat gagah dan berani. Seringkali dalam setiap keadaan darurat ia berperan sebagai orang yang mampu menyelesaikannya dengan sangat baik dan cekatan.

Kisah lain yang tak kalah menyedihkan adalah kisah ayahnya Anna dan Elisa yaitu Andipati Daeng. Ia digambarkan sebagai orang sukses yang memiliki kekayaan di usia muda serta selalu tampak bahagia dengan anak dan istrinya. Siapa sangka dibalik sosok tersebut tersimpan rasa benci yang tak seharusnya ia miliki. Ia membenci ayahnya sendiri, sampai ayahnya mati pun ia masih amat sangat membencinya.

Tiap kisah dalam novel ini digambarkan satu persatu dan membuat pembaca bertanya-tanya. Setiap lembaran menimbulkan pertanyaan baru atas tiap kisah, oleh sebab itu novel dengan jumlah halaman lebih dari 500 ini tidak membuat pembaca bosan tetapi semakin penasaran. Penggambaran kisahnya juga sangat bagus dan menggunakan bahasa yang indah sehingga membuat kita semakin menyukai novel ini. Latar penjajahan juga digambarkan secara jelas, tentang bagaimana peristiwa pengeboman di Surabaya saat jamaah haji turun dari kapal untuk berlabuh sebentar. Cerita Gurutta Karaeng yang menulis berbagai buku untuk membangkitkan semangat perjuangan dan kisah-kisah lainnya yang digambarkan dengan sangat jelas.

Akan tetapi, sayangnya novel yang telah disulap sedemikian apik oleh Tere Liye juga memiliki kekurangan yaitu kalau pembaca hanya membaca bagian awal cerita saja akan merasa bosan karena latar cerita hanya disekitaran kapal saja. Oleh sebab itu, jika membaca novel itu jangan langsung cepat menyimpulkan karena keseruan kisah tiap tokoh benar-benar menguras emosi pembaca dan membuat ingin membaca halaman selanjutnya lagi dan lagi.

Peresensi bernama Suci Wandari, merupakan mahasiswi Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik angkatan 2017. Saat ini aktif sebagai Pimpinan Divisi Markom LPM Perspektif

(Visited 1,576 times, 2 visits today)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Terbaru

Iklan

E-Paper

Popular Posts

Apa yang kamu cari?