Lompat ke konten

Catatan dari Sepat: Kriminalisasi, Obsesi Ciputra, dan Pelanggaran HAM

20 Juli 2019: Foto waduk sepat yang telah dipagari, terdapat musholla warga didalamnya. (Surya Elok)

Tindakan Kekerasan dan Kriminalisasi

Konflik antara pembangunan dan lingkungan seakan tidak pernah mati. Konflik tersebut seringkali memberikan dampak negatif bagi masyarakat yang bermukim di sekitar pembangunan. Pembangunan yang dilakukan seringkali tidak memperhatikan aspek kelestarian lingkungan (alam, sosial, ekonomi, dan budaya) yang melingkupi masyarakat sekitar. Alhasil aktivitas pembangunan cenderung menimbulkan kerusakan lingkungan yang merugikan bagi masyarakat (Yosef, 2013).

Konflik tersebut makin diperparah dengan adanya upaya kriminalisasi bagi aktor-aktor yang memperjuangkan lingkungan hidupnya dari dampak buruk pembangunan. Berdasarkan informasi yang diperoleh dari Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) Jawa Timur, setidaknya terdapat 38 aktivis lingkungan hidup yang mendapatkan kriminalisasi dari pihak korporat pengembang pembangunan, aparat keamanan, dan otoritas terkait. Tidak hanya itu, aktivis tersebut seringkali mendapatkan tindak kekerasan dari aparat keamanan ketika menyuarakan pendapatnya. Adanya tindak kekerasan dan kriminalisasi kepada para pejuang lingkungan hidup akan mengancam keamanan individu untuk mengakses lingkungan yang lestari (Axworthy, 2001).

Tindakan kekerasan dan kriminalisasi salah satunya menimpa warga Sepat yang memperjuangkan eksistensi Waduk Sepat dari aktivitas pembangunan PT Ciputra Surya, Tbk (yang selanjutnya disebut Ciputra), di Dusun Sepat, Lidah Kulon, Kecamatan Lakarsantri, Surabaya. Konflik tersebut bermula dari Surat Keputusan Walikota Surabaya No. 188.45/366/436.1.2/2008 yang melepaskan tanah di Waduk Sepat kepada Ciputra. Adanya surat keputusan itu, merupakan bagian dari obyek tukar guling antara Pemerintah Kota Surabaya dan Ciputra berdasarkan Perjanjian Bersama Nomor 593/2423/436.3.2/2009 dan Nomor 031/SY/sm/LAND-CPS/VI-09, 4 Juni 2009.

Dalam sertifikat Hak Guna Bangunan (HGB) yang dikeluarkan pasca tukar guling tersebut, wilayah Waduk Sepat dinyatakan sebagai tanah pekarangan. Padahal hingga kini, kawasan tersebut masih berfungsi sebagai waduk. Keberadaan Waduk Sepat memiliki fungsi yang cukup vital bagi masyarakat, yaitu untuk menjaga kelestarian lingkungan (sosial maupun ekonomi) dan menghindarkan dari adanya bencana ekologis, seperti banjir (Walhijatim.or.id, 2019).

Protes demi protes pun dilayangkan kepada Pemerintah Kota Surabaya dan Ciputra selaku aktor yang berperan atas terjadinya alih fungsi waduk. Aksi penolakan atas alih fungsi Waduk Sepat dilakukan sebagai upaya menyelamatkan kelangsungan hidup masyarakat sekitar. Sayangnya, upaya penolakan warga yang dilakukan sejak 2011 hingga 2019, harus berakhir dengan tindak kekerasan dan kriminalisasi yang dilakukan oleh otoritas terkait.

Penulis berkesempatan bertemu dengan Rochim selaku penggerak Selawase. Sembari menenggak kopi, ia menceritakan bahwa tindak kekerasan dari aparat kepolisian kepada warga yang sedang melakukan aksi seringkali berupa pemukulan dan penendangan. Rochim menyayangkan tindakan dari aparat kepolisian tersebut, pasalnya warga melakukan aksi damai yang bertujuan untuk menjaga waduk sebagai bagian ruang hidup mereka.

”Kejadiannya tahun 2015, tapi saya lupa persisnya kapan. Jadi, warga melakukan aksi di wilayah Waduk Sepat setelah mendengar kabar bahwa waduk akan dipagari oleh Ciputra. Kemudian kami kumpul disana untuk aksi. Aksi diawali dengan istighosah bersama,” ujar Rochim.

Rochim mengungkapkan bahwa warga tetap kukuh untuk menduduki wilayah Waduk Sepat meskipun mendapat desakan dari pihak aparat. Kemudian, terjadilah pengosongan paksa yang diikuti dengan tindak kekerasan dari aparat kepolisian. ”Warga dipaksa keluar dari waduk. Dari situ ada yang dipukul, ada yang ditendang, bahkan ada yang jatuh pingsan karena didesak terus,” ungkapnya.

Sedangkan bentuk kriminalisasi kepada warga, yakni berupa pelaporan dari Ciputra atas adanya tindak pidana yang dilakukan warga. Rochim menuturkan bahwa ia dan warga, sepanjang tahun 2011-2019 kerap mendapat panggilan pemeriksaan dari kepolisian. Hal inilah yang menyebabkan menurunya partisipasi warga terkait upaya penolakan penggusuran waduk. ”Dari tahun 2011 sudah sering terjadi. Tiap kali ada pemanggilan, partisipasi warga semakin menurun. Jadi, sekarang kalau dihitung-hitung sedikit yang ikut, awal-awal yang ikut hampir seluruh RT,” tuturnya.

Obsesi Ciputra  “Memenjarakan Warga”

Obsesi menurut Lennard J. Davis (2008) adalah sebuah pikiran atau rangsangan yang timbul dengan tiba-tiba untuk melakukan sesuatu tanpa pertimbangan, yang mana pikiran atau rangsangan itu yang bersifat meresahkan, gigih, dan  berulang. Apabila sesuatu tersebut belum dilakukan maka akan membuat resah, sehingga akan dilakukan secara gigih dan berulang. Jika dilihat tabel di atas, sepanjang tahun 2011-2019, Ciputra terlihat jelas memiliki obsesi untuk dapat memenjarakan warga, yang aktivitasnya dianggap “meresahkan” mereka. Obsesi itu dapat dilihat dari adanya pengulangan  pola tindakan kriminalisasi yang digunakan Ciputra untuk mengerdilkan gerak-gerik para warga, yang melindungi lingkungannya dari aktivitas pembangunan Ciputra. Pengerdilan gerak tersebut dapat dirasakan dengan menurunya partisipasi warga dalam upaya penolakan pembangunan Ciputra di wilayah waduk sepat. Seakan belum puas apabila belum ada yang dipenjara, maka Ciputra dengan gigih mengulang pola tindakan kriminalisasi yang sama. Adapun pola tindakan kriminalisasi yang digunakan Ciputra yakni dengan melaporkan warga kepada kepolisian atas tindak pidana memasuki pekarangan tanpa izin dan melakukan pengerusakan property.

Namun, Ciputra baru berhasil mewujudkan obsesinya di tahun 2018-2019, dengan ditahannya Dian dan Darno. Obsesi dari Ciputra yang begitu kuat, untuk memenjarakan warga yang memerjuangkan lingkungannya, dapat dilihat dari irasionalitas atau kejanggalan selama prosesi pemenjaraan Dian dan Darno. Terdapat berbagai hal yang seolah janggal dan dipaksakan dalam prosesi itu. Dalam konteks ini, langkah hukum tidak lagi menjadi jalan untuk memperoleh keadilan, kepastian, dan kemanfaatan, tetapi lebih pada pemenuhan obsesi itu tadi.

Penulis menemui Dian atau yang biasa dipanggil Cipeng, sehari setelah ia dikeluarkan dari penjara. Saat ditemui, Ia sedang berkumpul bersama warga sepat lainnya. Dian menuturkan bahwasanya ia merasa dikriminalisasi dan tidak melakukan sebagaimana yang dituduhkan padanya, mengenai pengerusakan property. Dian menegaskan jika kasus yang menimpa dirinya merupakan kasus yang dipaksakan. Ia merasa kesaksian yang didatangkan oleh pihaknya tidak dipertimbangkan dengan bijaksana oleh hakim.

Iyo lah (merasa dikriminalisasi) ancen gak melakukan perbuatan yang dituduhkan kok, Yo bukane nggak diterima, cuma kan ancen (memang) kasus iki dipaksakan. Jarena kerusakan 20 Juta kan nggak masuk akal. Wong kerusakan gembok dan seng ae 20 juta. Padahal nggak ada yang rusak,” cetusnya.

Rochim yang saat itu juga sedang berkumpul pun menambahkan jika terdapat kesaksian yang kontradiktif antar saksi yang dihadirkan dari pihak jaksa di persidangan. “Dari keterangan saksi dari itu kontradiktif, tidak sama keterangan satu saksi dengan lainnya. Saksi dari kita, cerita apa adanya. Tidak sama dengan dari saksi lawan, yang satu ngomongnya gembok itu diambil setelah warga keluar dari waduk, satunya bilang gembok itu diambil ketika warga masuk. Ini kemudian yang menjadi kontradiksi,” tambahnya.

Diwaktu yang berbeda, Jauhar selaku kuasa hukum atas kasus yang menimpa Dian dan Darno memaparkan fakta persidangan yang janggal. “Itu hanya satu orang yang mengatakan bahwasannya pak darno yang menyuruh anak-anak kecil itut untuk mendobrak pagar, pagar yang ada di area waduk, hanya satu orang saksi,” tegas Jauhar.

Jauhar menjelaskan lebih lanjut jika terdapat kegagalan pembuktian dari jaksa, sehingga keputusan yang diambil hakim terkesan dipaksakan. “Yang lainnya mengatakan tidak ada yang melihat Pak Darno melakukan itu sehingga berkesimpulan jaksa gagal untuk membuktikan, tetapi pengadilan tetap memutuskan bersalah,” kelasnya.

Dalam siaran pers WALHI Jatim yang berjudul Bebaskan Pejuang Lingkungan Waduk Sepat Surabaya Barat (Darno Dan Dian) menunjukkan bahwa terdapat kejanggalan dalam prosedur hukum dari dikeluarkannya penetapan penahanan tanggal 24 Mei 2019 oleh Pengadilan Tinggi Jatim. Jaksa mengajukan banding pada tanggal yang sama dengan dikeluarkanya keputusan Pengadilan Negeri tanggal 23 Mei 2019. Kemudian, Pengacara dari Dian dan Darno mengajukan banding tanggal 29 Mei 2019. Namun, akta banding belum diberikan, dan akan diberikan sampai setelah lebaran.

Kejanggalan itu terlihat dalam prosedur hukum. Pasal 238 ayat 3 KUHAP menjelaskan, dalam waktu 3 hari sejak menerima berkas perkara banding dari Pengadilan Negeri, Pengadilan Tinggi wajib mempelajarinya untuk menetapkan apakah terdakwa perlu tetap ditahan atau tidak, baik karena wewenang jabatannya atau atas permintaan terdakwa. Oleh karena itu, seharusnya jika pengadilan tinggi taat prosedur maka tidak bisa mengeluarkan keputusan penahanan tangal 24 Mei 2019. Hal ini dikarenakan berkas perkara belum dikirim ke Pengadilan Tinggi hingga tanggal 29 Mei 2019.  Kejanggalan-kejanggalan di atas yang dapat menjelaskan bahwa ciputra memiliki obsesi untuk memenjarakan pejuang lingkungan, yang mana dalam konteks ini adalah warga sepat.

4 Juli 2019, aksi warga sepat dan solidaritas dari FSPMI, menuntut pembebasan dian dan darno di depan pengadilan tinggi jatim

Warga Sepat dalam Pusaran Ancaman SLAPP dan Pelanggaran HAM

 Seumpama bunga

Kami adalah bunga yang tak

Kau hendaki tumbuh

Engkau lebih suka membangun

Rumah dan merampas tanah

(Wiji Thukul, Bunga dan Tembok)

Penggalan puisi Wiji Thukul di atas merupakan ungkapan yang tepat untuk menggambarkan kondisi sengketa di Waduk Sepat, antara warga dengan korporat beserta kroni-kroninya. Selayaknya bunga yang tidak dikehendaki tumbuh, warga Sepat hanya mendambakan kelestarian lingkungan. Tetapi, malah mendapatkan pemberangusan, dikerdilkan gerak-geraknya, dan dibungkam suaranya dalam penjara, oleh pihak-pihak yang hanya memikirkan keuntungan pribadinya semata. Mereka senang membangun rumah dan merampas tanah. Selama Ciputra beserta kroni-kroninya masih bercokol di wilayah Waduk Sepat, selama itu pula warga Sepat berada dalam pusaran ancaman SLAPP (Strategic Lawsuit Against Public Participation) dan Pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM).

Pusaran ancaman tersebut dapat ditinjau dari rentetan tindakan kekerasan aparat dan kejanggalan yang terjadi saat proses hukum bergulir. Hal ini menandakan terdapat obsesi dari pihak terkait (red. Pihak Ciputra maupun aparat penegak hukum) untuk menghentikan langkah warga. Mulai dari upaya penjeratan menggunakan pasal pidana itu-itu saja, yaitu tuduhan masuk pekarangan tanpa izin dan pengrusakan properti, hingga adanya gonjang-ganjing selama persidangan mengenai kesaksian yang entah datang darimana dan ketidaktaatan prosedur hukum. Akhirnya yang menjadi korban adalah warga.

Upaya warga selama ini hanya untuk melindungi waduk Sepat sebagai bagian ruang hidup mereka, tapi justru mendapati kekerasan dan kriminalisasi dari pihak-pihak tertentu. Rochim dan Dian menjelaskan bahwa dalam upaya melindungi Waduk Sepat, warga melakukannya tanpa “tedeng aling-aling”. Semuanya atas kesadaran dan inisiatif bersama. Bahkan, warga pun siap jika harus meninggalkan pekerjaan.

SLAPP sendiri merupakan sebuah upaya atau strategi hukum yang digunakan oleh korporat yang ditujukan untuk individu atau organisasi masyarakat sipil. Hal itu dilakukan sebagai langkah untuk mematikan suara dan gerak dari individu atau organisasi masyarakat sipil  atas sebuah permasalahan tertentu, sosial, politik, lingkungan, dan sebagainya. Korporat umumnya memasukkan klaim terlalu tinggi atas kerusakan dan tuduhan yang sengaja dirancang untuk menjerat individu dan organisasi masyarakat sipil, yang dianggap “menganggu” aktivitasnya (Annalisa Ciampi, 2017).

Menurut Rachmad Safaa’at, Dosen Hukum Lingkungan Fakultas Hukum (FH) Universitas Brawijaya (UB), korporat seringkali menjerat para aktivis lingkungan menggunakan pasal-pasal seperti pengrusakan dan memasuki pekarangan tanpa izin. Saat ditemui diruangannya, Rachmad menjelaskan alasan mengapa korporat sering menggunakan strategi hukum untuk menjerat pejuang lingkungan. Ia menuturkan, seringkali pejuang lingkungan, baik individu maupun organisasi masyarakat sipil, dianggap menganggu aktivitas korporat.

“Dari WALHI, ICEL, masyarakat setempat itu dianggap menganggu, karena dia kan seringkali tidak memiliki dukungan politik, sementara pengusaha itu dekat dengan kekuasaan. Maka dia (red. pengusaha) akan bayar kekuasaan itu untuk menghabisi atau menyingkirkan para penganggu, termasuk aktivis. Ketika bisnis dia diganggu kan dia rugi, kalau ada yang nggak beres, dia bermain dengan aparat,” cetusnya.

Perlindungan pada para aktivis lingkungan hidup, secara normatif telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (UU PPLH) Pasal 66. Adapun semangat yang diusung dalam pasal tersebut, yakni Anti-SLAPP, untuk melindungi peran serta para aktivis yang memperjuangkan hak mendapatkan lingkungan yang lestari. Tetapi, menurut Rachmad dari sisi telaah hukum telah terjadi policy non –enforcement.

“Sesuatu diatur secara normatif, tentang penegakan hukum, tentang tuntutan pidana dan perdata, perlindungan peran serta masyarakat diatur. Tapi dalam hal tertentu itu aturan sengaja tidak ditegakkan oleh aparat tertentu atau karena tekanan politik tertentu maka aturan itu tidak efektif tidak ditegakkan. Di bidang lingkungan paling parah,” ujarnya.

Rachmad mengungkapkan bahwa penegak hukum yang memiliki relasi kuat dengan pengusaha, kerap kali menggunakan pasal-pasal pidana untuk menutup pasal 66 UU PPLH. “Bisa jadi aktivis lingkungan itu tidak melakukan tapi, ada yang memprovokasi merusak, terus malam-malam merusak masuk kelokasi membongkar bangunan, biasanya polisi menggunakan kejadian itu,” ungkap lelaki yang pernah menjabat sebagai Dekan FH UB itu.

Ia menyayangkan adanya tindakan para penegak hukum yang tidak tidak adil, dan tidak mengerti aturan main. Mengadakan bukti lain untuk menutupi pasal 66 UU PPLH, sehingga dapat menjerat para aktivis lingkungan hidup. Menurut Rachmad, seharusnya undang-undang itu dibaca dengan moralitas.

Annalisa dalam The United Nations Special Rapporteur On The Rights To Freedom Of Peaceful Assembly And Of Association menyebutkan bahwa SLAPP merupakan bentuk pelanggaran HAM. Hal ini karena SLAPP dapat melemahkan kemampuan masyarakat sipil untuk secara efektif menggunakan hak mereka atas kebebasan berekspresi, berkumpul dan berserikat. Arief Setiawan, Dosen Ilmu Hubungan Internasional Fakultas Ilmu Sosial Dan Ilmu Politik (FISIP) UB, yang memiliki fokus kajian tentang International Human Rights, menjelaskan bahwa SLAPP dan tindak kekerasan dari aparat yang terjadi pada warga Sepat dapat disebut sebagai bentuk pelanggaran HAM. Hal ini dikarenakan warga Sepat, yang memperjuangkan waduk Sepat sebagai bagian dari ruang hidupnya, dapat digolongkan sebagai human rights deffender. Upaya-upaya warga dinilai termasuk memperjuangkan hak asasi atas kelestarian lingkungan, yang mana seringkali berhadapan dengan hukum. Oleh karena itu, warga-warga tersebut membutuhkan perlindungan khusus.

“Jadi aktivis lingkungan itu bagian dari human rights defender. Human rights defender itu secara idealnya mereka ada perlindungan khusus. Karena aktivitas-aktivitas mereka Seringkali sangat kritis dengan berlawanan hukum. Misalnya mereka melakukan pendampingan terhadap korban-korban kekerasan atau korban penggusuran. Nah ini kan jadi dikatakan dengan mudah sebagai provokator. Padahal tujuan mereka untuk bagaimana meluruskan ini, mencari solusi-solusi agar masyarakat yang menjadi korban terkena gusur tidak dirugikan,” jelasnya.

Lebih lanjut, Arief menjelaskan bahwa secara internasional human rights defender sudah diakui mekanisme HAM di PBB melalui revolusi Majelis Umum PBB 8 Maret A/LES/53/144/1999, sudah diatur sedemikian rupa tentang  bagaimana seharusnya negara memperlakukan para pejuang HAM. Menutup pembicaraan, Ia menegaskan bagaimana peran negara seharusnya dalam upaya penegakan HAM.

“Negara harus mengambil tindakan sesuai konstitusi. Konstitusi yang berpihak pada masyarakat bukan berpihak pada pemodal. Harus kita pahami hukum itu adalah produk politik, merupakan produk negosiasi-negosiasi disinilah dituntut peran para pembuat hukum untuk berpihak pada masyarakat,” tegasnya. (zul, pat, ptr, dic, dat)

(Visited 453 times, 1 visits today)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Terbaru

Iklan

E-Paper

Popular Posts

Apa yang kamu cari?