Oleh: Wahyu Agung P.
Bagi sebagian orang, menjadi mahasiswa baru adalah hal yang membahagiakan. Sebagian lainnya mungkin merasa haru, mungkin ada juga yang merasa biasa saja. Perasaan yang berbeda itu tentu disebabkan oleh latar belakang tiap orang yang berbeda-beda. Semua perbedaan perasaan, pilihan dan latar belakang itu pada akhirnya akan menghadapi satu proses yang sama, yaitu proses perkuliahan (kecuali mereka yang berhenti kuliah).
Umumnya, proses perkuliahan berisi orientasi pengenalan kampus (ospek), diskusi, membaca, menulis, ketemu teman-teman baru, dosen-dosen, tugas-tugas, organisasi, penelitian, pengabdian masyarakat dan skripsi. Semua proses perkuliahan itu bisa menjadi sangat menyenangkan, tapi di sisi lain sebenarnya proses perkuliahan juga bisa menjadi begitu menggelisahkan. Kegelisahan-kegelisahan itu ada sejak dari pemaknaan “mahasiswa” sampai mereka lulus kuliah.
Kita mulai dari pemaknaan “mahasiswa”. Mahasiswa menurut pandangan umum adalah orang yang sedang menempuh pendidikan tinggi. Ada pandangan lain yang mengatakan kalau mahasiswa itu adalah agen perubahan sosial. Namun, perlu juga dipahami bahwa di sisi lain mahasiswa hanyalah orang yang mendaftar di perguruan tinggi dan membayar. Perubahan sosial hanya menjadi nilai jual perguruan tinggi yang dipasarkan kepada masyarakat.
Kita perlu menyadari bahwa biaya kuliah semakin tahun semakin tinggi. Jika diruntut, tingginya biaya kuliah disebabkan oleh kebijakan pemerintah dalam mengatur liberalisasi (membebaskan kontrol negara) untuk perdagangan 12 sektor jasa, termasuk pendidikan. Kebijakan ini diatur dalam General Agreement on Trade Service (GATS) pada tahun 2005, yang mana Indonesia sebagai anggota World Trade Organization (WTO). Setelah itu, muncullah kebijakan Perguruan Tinggi Negeri Badan Hukum (PTN-BH) yang membuat setiap Perguruan Tinggi bisa mengelola keuangannya sendiri tanpa ada kontrol dari pemerintah. Dampaknya, anggaran pendidikan yang dialokasikan pemerintah kepada perguruan tinggi semakin sedikit. Hal inilah yang menyebabkan Perguruan Tinggi menarif biaya yang lebih tinggi kepada mahasiswa baru di setiap tahunnya.
Dari beberapa gambaran itu, kita perlu menyadari bahwa sejak mahasiswa baru, kita hanyalah komoditas yang diperlukan kampus untuk meningkatkan pemasukan keuangan bagi mereka. Kita dituntut untuk berprestasi pun demi kepentingan menaikkan citra kampus, yaitu untuk meningkatkan nilai jual kampus ke masyarakat, supaya banyak orang yang mendaftar ke kampus kita. Begitulah seterusnya kira-kira.
Kita bisa mengabaikan pandangan suram seperti sejak mahasiswa baru sambil terus mengerjakan tugas-tugas kuliah sampai lulus dalam balutan kesadaran palsu. Tentu kita juga bisa menjalani semua proses kuliah sambil gelisah karena tak bisa menolak kenyataan yang suram. Jika ada hal lain yang bisa kita lakukan, mungkin dengan menjadi mahasiswa aktivis, mempertanyakan sistem pendidikan, biaya kuliah, transparansi alokasi anggaran UKT, kemudian memprotesnya ke Rektor, Menteri maupun Presiden.
Kita bisa memilih keputusan apa pun sesuai keinginan kita. Dalam kondisi sseperti ini, pertanyaannya akan semakin sederhana, “Mau melawan atau diam?” Apa pun yang kita pilih, kita akan berada di bawah sistem pendidikan yang sama. Di bawah sistem, mungkin lebih tepatnya permainan pendidikan itulah kita berada.
Ketika kita diam, kita tidak akan mendapatkan masalah-masalah kuliah seperti ancaman nilai, skorsing maupun Drop Out. Ketika kampus menyingkirkan mahasiswa yang melawan dengan masalah-masalah kuliah itu, sebenarnya kampus mencoba mencegah mahasiswa dan masyarakat luas untuk terlibat dalam menentukan kebijakan pendidikan.
Salah satu kasusnya misal seperti ini, dalam Undang-Undang no 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan nasional pasal 8 tertulis “Masyarakat berhak berperan serta dalam perencanaan, pelaksanaan, pengawasan, dan evaluasi program pendidikan”. Nah, jika dikaitkan dengan permainan pendidikan saat ini, di mana dan apa peran masyarakat?
Mungkin susah untuk diterima, tapi begitulah kenyataannya. Pemerintah maupun Birokrat kampus selalu tak memberi ruang bahkan memberi pemahaman tentang hak-hak yang dimiliki masyarakat. Ketakutan untuk memperbaiki sesuatu yang salah terus dilestarikan oleh pemerintah yang berkuasa. Melalui ancaman pidana, UU Informasi dan Transaksi Elektronik, skorsing, DO dan ancaman-ancaman mencekam lainnya.
Mungkin suatu saat kita akan menemui ucapan seperti “Gak usah cari masalah, cepet lulus, biar gak banyak tanggungan (uang), biar cepet cari kerja”. Sebelum kita meng-iyakan kalimat realistis itu, ada satu hal yang mungkin bisa menjadi pertimbangan ulang. Yaitu, kuliah tidak akan menjamin pekerjaan kita.
Dalam satu liputan di tirto.id berjudul “Pendidikan Tinggi Tak Bisa Menjamin Karier Anda”, Lilis Halim selaku Consultant Director Willis Towers Watson mengatakan, sulit terserapnya lulusan kuliah di Indonesia dikarenakan tidak adanya skill yang dibutuhkan perusahaan dan tidak punya critical skills. Hal ini dikarenakan Kampus seperti tidak memberikan peningkatan pada kemampuan sumber daya manusianya.
Berdasarkan hasil studi itu, Lilis mengatakan di era digital ini lulusan kuliah harus memiliki digital skills, (menguasai dunia digital), Agile thinking ability (mampu berpikir banyak skenario), serta interpersonal and communication skills (keahlian berkomunikasi sehingga berani adu pendapat). Nah, dengan kondisi lingkungan kuliah yang sudah dipaparkan sebelumnya, apakah fakta bahwa kuliah tidak menjamin pekerjaan kita ini bisa membuat kita berpikir ulang? Jadi, mau melawan atau diam? Mari menentukan pilihan.
Wahyu Agung Prasetyo. Aktif di Badan Pekerja Advokasi Perhimpunan Pers Mahasiswa Indonesia (PPMI). Pernah aktif di Unit Aktivitas Pers Mahasiswa (UAPM) Inovasi, UIN Malang. Serta di Paduan Suara Gema Gita Bahana, UIN Malang.
Pingback: Yang Terlewatkan dari Menjadi Mahasiswa – SIAR