Lompat ke konten

Norwegian Wood

sumber gambar : Google

Judul                           : Norwegian Wood

Penulis                         : Haruki Murakami

Penerbit                       : Kepustakaan Populer Gramedia (KPG)

Penerjemah                  : Jonjon Johana

Isi                                : 426 halaman

Tahun Terbit                : Cetakan ke- 6, 2015

Nama Peresensi           : Suci Wandari

“What makes us most normal is knowing that we’re not normal”- Reiko

Kutipan dari ungkapan Reiko yang merupakan tokoh pendukung dalam perjalanan kisah Watanabe, Naoko, dan Midori. Ungkapan “Apa yang membuat kita terlihat normal adalah kita tahu bahwa kita tidak normal” sangat relate dengan kisah-kisah tokoh yang ada di novel Norwegian Wood. Semuanya kebanyakan orang yang ‘abnormal’ tetapi juga mampu dan dapat terlihat normal adalah orang-orang yang sadar diri bahwa mereka tidak normal.

Novel ini bercerita tentang banyak hal. Tidak hanya tentang kisah cinta yang suram, persahabatan, kisah rumah tangga, dan seksualitas, Haruki juga menyelipkan tentang bagaimana konstruksi sosial di masyarakat dapat menyebabkan seseorang depresi dan mengalami mental disorder. Novel ini di suatu waktu sangat menarik, tetapi juga membingungkan. Sangat bagus, tetapi kadang juga terdapat plot twist. Terasa fiksi, tetapi juga terasa nyata. Sejujurnya, peresensi agak kesulitan saat akan meresensi buku “Norwegian Wood” karya Haruki Murakami ini. Hal ini dikarenakan buku ini menjelaskan banyak hal dan sulit membedakan apakah itu fiksi atau bukan. Bahkan, rasanya sulit untuk memahami hal apa yang ingin disampaikan Haruki sebenarnya. Namun, ada banyak hal yang memberikan edukasi dalam buku ini, seperti sex education, pengetahuan tentang mental disorder, berbagai macam genre musik, dan banyak lagi yang mungkin tidak tertangkap oleh peresensi.

Novel ini menceritakan tentang kisah hidup yang suram di setiap tokoh cerita, bahkan di akhir novel pun kisah para tokoh cerita dibuat menggantung. Sehingga, pembaca pasti cukup kesal dibuat Haruki karena setelah membaca kisah sedih dan suram pada akhirnya tidak ada kepastian tentang kisah para tokoh cerita. Watanabe adalah tokoh utama cerita ini yang terjebak dalam dirinya sendiri bahkan terikat dengan kisah mendiang Kizuki (sahabatnya sekaligus pacar Naoko). Watanabe mengalami kesedihan mendalam atas kematian Kizuki yang notaben adalah satu-satunya teman dan sahabat yang ia punya. Kizuki bunuh diri tanpa meninggalkan alasan atau sebab yang jelas dan meninggalkan pacarnya yang bernama Naoko. Oleh karena itu, ia pun pergi ke Tokyo dan memilih universitas swasta yang bisa menerimanya tanpa tes yang sulit dan memulai kehidupan baru di sana. Ketika memasuki masa perkuliahan, Watanabe kembali bertemu dengan Naoko yang juga sedang kuliah di Tokyo. Tidak pernah sekalipun mereka membicarakan masalah Kizuki ketika sedang bersama. Kedekatan antara Watanabe dan Naoko pun lambat laun berubah menjadi cinta.

Namun, Naoko mengalami depresi dan harus dirawat di “Asrama Ami”. Di asrama inilah Naoko berjumpa dengan Reiko yang juga mantan pasien di sana yang telah pulih dari depresinya. Ia depresi karena seorang anak lesbian yang berusia jauh lebih muda dari dia, yaitu 13 tahun. Anak tersebut adalah muridnya yang belajar bermain piano dengan Reiko, tetapi ternyata ia adalah seorang lesbian dan juga dapat menyembunyikan fakta yang sebenarnya.

Kebenarannya adalah anak tersebut ingin berhubungan seks dengan Reiko, tetapi Reiko yang awalnya diam saja diperlakukan seperti itu langsung mengatakan kepada anak itu bahwa hubungan lesbian yang mereka lakukan tidaklah benar. Anak itu pun marah dan segera merobek pakaiannya sendiri, membuat rambutnya acak-acakan dan bibirnya berdarah lalu ia segera melaporkan kepada orangtua dan juga tetangga di sekitar rumahnya bawah Reiko adalah guru lesbian yang memaksanya untuk berhubungan seks bahkan memukulnya. Siapa yang tak percaya dengan gadis berusia 13 tahun dan berwajah polos itu? Fakta bahwa Reiko pernah masuk rumah sakit jiwa pun kembali diungkit. Lalu Reiko mengalami keterpurukan dan kesedihan medalam. Ia bahkan tak dapat mengontrol dirinya.

Akhirnya ia dirawat di “Asrama Ami”. Di sana ia mengalami peningkatan kualitas hidup yang lebih baik. Ia mengembangkan kemampuannya dalam hal musik lalu menetap disana. Menurut Reiko, di tempat itu ia menemukan dirinya. Semua orang tidak dituntut untuk melakukan hal-hal sesuai aturan sosial. Semuanya dapat menjadi dirinya sendiri lalu hidup dalam kedamaian dan saling menghargai. Akhirnya Reiko bertemu dengan Watanabe karena sering mengunjungi Naoko dan kebetulan Naoko adalah teman dekat Reiko. Naoko pun seringkali bercerita tentang Watanabe bahkan mereka bertiga menjadi sangat dekat, bertukar cerita, dan Reiko menyanyikan lagu Norwegian Wood dari The Beatles sambil membuat lelucon.

Pada perjalanannya, di antara Watanabe dan Naoko ada mendiang Kizuki yang menjadi penghubung. Kematiannya memicu banyak perubahan dalam kehidupan Watanabe (sahabatnya) dan Naoko (kekasihnya). Tidak memiliki tempat lain untuk bersandar, kedua orang yang tertinggal itu akhirnya terpaksa mencari perlindungan pada satu sama lain. Namun, sementara Naoko perlahan mulai menutup hatinya, Watanabe justru ditarik keluar oleh semangat dan kepribadian liberal seorang gadis bernama Midori. Watanabe pun dipusingkan oleh kedua gadis ini. Ia tampak memiliki perasaan untuk keduanya. Kedua gadis ini pun sama-sama tahu permasalahan apa yang dialami Watanabe. Sampai akhirnya Naoko bunuh diri tanpa alasan yang pasti seperti kisah Kizuki dan membuat Watanabe kebingungan dan tambah tertekan.

Pada akhir cerita pun Haruki menggantungkan kisah Midori dan Watanabe. Keduanya pun larut dalam pikirannya masing-masing. Secara keseluruhan, novel ini menceritakan tentang kesepian Watanabe dan kisah suram hidupnya, kehilangan yang dialami Naoko, dan rasa ingin dicintai seorang wanita liberal bernama Midori. Semua tokoh mengalami kisah yang rumit dan kompleks, beberapa ada yang terselesaikan, tetapi beberapa tak dapat diselesaikan dan berakhir tragis.

Kelebihan novel ini adalah gaya penceritaannya cukup bagus dan membuat pembaca nyaman dan mudah memahami alur ceritanya. Novel ini banyak mengandung nilai-nilai positif yang dapat menjadi pembelajaran kita seperti bagaimana cara menyelesaikan masalah dari kisah rumit tiap tokoh, pengetahuan tentang mental disorder dan bagaimana cara memperlakukan orang-orang dengan gangguan mental, sex education, dan berbagai genre musik yang menunjukkan bagaimana perkembangan seni musik di Jepang saat itu.

Adapun kekurangan dari novel ini adalah ceritanya dibuat menggantung, sehingga walaupun jalan ceritanya bagus dan alurnya cukup mudah dimengerti, rasanya sangat menyebalkan ketika kisah dari tokoh cerita pada akhirnya tidak jelas. Selain itu, novel ini terlalu vulgar dalam menggambarkan adegan seksualitasnya sehingga hanya usia 18 tahun ke atas yang dapat membaca novel ini. Cerita dalam novel pun kebanyakan kisah suram dan menyedihkan yang juga membuat pembaca cukup sedih dan kesal karena pada akhirnya kisah sedih mereka tidak jelas.

(Visited 1,058 times, 1 visits today)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Terbaru

Iklan

E-Paper

Popular Posts

Apa yang kamu cari?