Lompat ke konten

Sebuah Tempat

*Oleh: Kendita Agustin M.A.

Malam menunjukkan pukul 21:00, tapi Mey masih berkutat dengan catatan kecil di tangannya. Sesekali ia medengarkan dan sesekali menulis dengan cepat mengikuti apa yang dikatakan orang di sampingnya. Dia tidak peduli betapa berantakannya tulisan itu “yang penting bisa kubaca, nanti kusalin di word dan kubagika ke kalian,” ucap Mey ketika diledek Nina teman di sampingnya. Temannya itu hanya mnegangguk-angguk dan tertawa kecil melihat Mey yang kal ini kelihatan kuwalahan mencatat. “Rey, bisa pelan-pelan?” pinta Mey kepada teman di sampingnya. Rey menoleh. “masa nulis begitu saja kuwalahan? Rekam kalau kuwalahan,” balas Rey, gadis yang dipanggil Rey itu sepertinya juga sudah lelah dan ingin segera mengakhiri rapat kali ini. Mey pun mengerti dan hanya mengangguk saja. Oh ya Mey adalah salah satu mahasiswa di fakultas ilmu sosial dna ilmu politik, dia temrasuk mahasiswa aktif walaupun hanya mengikuti satu organisasi saja tapi segala kepanitiaan dia ikuti. Sejak semester satu dia sudah mengikuti berbagai kepanitiaan. Alasannya agar dia tidak ingin pulang terus. Namun, kenyataannya segala kesibukan itu membuatnya semakin ingin pulang.  Kali ini Me mengikuti kepanitian lomba seni yang dilaksanakan UKM seni universitasnya. Dia bersyukur karena bisa mengikuti kepanitiaan ini walaupun sejujurnya dia ingin sekali ikut lomba. Seni sepeti menjadi bagian dari hidupnya tapi dia tidak lolos audisi. Akhirnya ia memilih untuk mengikuti kepanitiaannya saja.

            Hampir dua jam mereka rapat dan merundingkan berbagai hal. Mey yan sudah mengantuk menguap dengan lebar dan tanpa sadar ditatap oleh Rey. “capek ya?” tanya Rey, merasa ditegur Mey pun menjadi malu dan tersenyum kecut “balik kos langsung istirahat,” lanjut Rey kemudian berlalu pergi. Nina yang melihat Rey tiak seperti biasanya yang cuek pun menghampiri Mey. “kenapa dia? Tumben dia bicara care begitu?” tanya Nina. Mey hanya menggeleng sambil membereskan segala alat tulisnya.

“Mey, besok ikut aku yuk,” ajak Nina tiba-tiba ketika mereka sudah dalam perjalanan pulang. Mey menoleh dan menyernyit “kemana?” padahal dia ingin beristirahat besok. Melihat Mey yang kelihatan agak keberatan, Nina pun menambahkan “Sore kok, abis Ashar, paginya kamu bisa tidur,” tambah Nina. Mey pun tersenyum “Oke, aku ikut”

***

            Mey dan Nina sudah duduk manis di angkutan kota, belum jelas kemana Nina akan membawa Mey. Di dalam angkot berbagai kalangan duduk berbaur. Ada anak sekolah yang sibuk dengan gamenya, ada ibu-ibu yang menjemput anaknya sekolah TK, ada nenek-nenek dari pasar dengan belanjaannya hingga ada pemuda dengan penampilan berantakan. tak terkecuali seorang ibu yang tampak sedikit bingung karena sejak tadi melihat jalanan. “ada yang bisa dibantu Bu?” tanya Nina dengan sopan, ibu yang kebingungan itu pun tersenyum “ini jalan Bangsa sudah terlewat belum ya nak?”

“Oh, belum Bu masih sekitar 10 menit lagi, bapak supir ibunya turun di jalan Bangsa ya,” teriak Nina sedikit ke arah pak supir, “Iyaaaaa,” balas pak supir dengan suara nyaring dan melanjutkan kegiatannya bernyanyi sambil menyupir. “terimakasih ya dik,” Nina tersenyum.

 yjadi kangen karena nggak pulang-pulang ya sudah saya yang ke sini,” jelas Ibu tersebut. Mey tersenyum, mereka pun akhirnya ngobrol dengan berbagai topik mulai dari yang normatif bertanya kuliah dimana dan jruusan apa hingga keluh kesah ketika kuliah. Mey melihat ibu tersebut hingga mengingatkan dirinya pada masa-masa mahasiswa baru. Dimana ia lebih banyak menghabiskan waktu di kota perantauan dan jarang pulang. Ibu dan ayahnya pun pernah mengutarakan keinginnaya untuk datang ke kota perantauan Mey tapi ia tak sampai hati karena jarak yang jauh. Lebih baik Mey saja yang puang tapi kapan? Sejenak Mey merasa sangat bersalah. Selama ini ya mungkin kedua orangtuanya selalu menerima alasannya tidka pulang tapi tidak tahu bagaiaman hatinya.  Dibalik dukungan itu ada harapan anaknya pulang barang empat atau lima hari di rumah. Dari dulu Mey memang sudah memiliki pola pikir bahwa saat kuliah kamu harus banyak mengikuti organisasi atau banyak kepanitiaan untuk menambah pengalaman dan menjalin relasi. Saat itu ia hanya berpikir soal pengalaman dan keseruannya menjadi orang sibuk, atau sok sibuk mungkin.

            Jalanan tampak macet, maklum ini weekend tapi sebenarnya tidak weekend pun tetap macet. Berkali-kali sopir membunyikan klakson angkotnya. Cuaca panas cukup untuk membuat setiap orang yang berada di jalanan emosi. Beberapa teriakan terdengar tapi tentu tidak membuyarkan macet. Setelah hampir setengah jam Mey dan Nina berada di angkot, mereka pun turun dan menuju ke sebuah gang kecil. Mey semakin terheran-heran, belum sepuluh meter, Mey dan Nina sudah disambut oleh keadaan gang kecil yang walaupaun kecil tetapi bersih. Banyak tanaman-tanaman di pot kecil, beberapa berbunga dan berbuah, pot-pot itu diletakkan di rak-rak daur ulang menggunakan pipa yang sudah tak terpakai. Warna-warni cat menghiasi pipa paralon itu.

“Awas-awas ada balapan,” teriak seorang anak membawa kain berwarna merah yang difungsikan sebagai bendera, anak kecil itu mengalingkan peliuit dan sesekali meniupkannya ketika ada orang yang menghalangi jalannya. Rupanya di belakang anak kecil tersebut turut berlari anak-anak lainnya dengan sepeda masing-masing. Suara khas yang diciptakan dari gelas air mineral diselipkan di roda terdengar nyaring tapi menimbulkan keseruan.Mey yang sedang memperhatikan grafiti buatan warga di tembok sedikit terkejut tapi sedetik kemudian ia tertawa kecil melihat riangnya anak-anak bermain.

“Ayo Mey,” seru Nina yang ternyata sudah di depannya agak jauh dari Mey. Rupanya Nina mengajak Mey ke rumah Bu Dhe nya untuk mengambil kue yang dipesan ibunya. Mey dan Nina duduk manis di ruang tamu sambil menikmati kue Nogosari yang disajikan Bu Dhe Nina tersebut. Tak lama suara seorang anak terdengar nyaring dari luar. “Buuuuu minta uanggg,” teriaknya sambil masuk rumah. Mey mengenali nya sebagai anak yang memegang peluit tadi. “Hey, Nano, kamu tadi balapan apa?” tanya Nina dengan sengaja mengeaskan suarnaya. Nano panik dan meletakkan telnjuknya di bbirnya seraya “Sssstttt, nanti ibu tau aku ndak dikasih uang nanti, aku mau jajan,” balas Nano dengan suara lucunya.

“Kan sudah banyak jajan di rumah No,” timpal Mey sok kenal, Nano menoleh, “Nggak mau, bosen,” ucapnya. Setelah sedikit berdebat dengan ibunya, Nano pun segera keluar dan lima menit kemudian sudah kembali menenteng es dan dengan jelas dia menenteng es seraya mengelap ingusnya.

            Mey dan Nina tidak langsung pulang mereka melanjutkan jalan-jalan di sekitar kompleks rumah bu dhe nya. Gang tersebut ternyata tidak terlalu kecil jika sudah masuk ke dalamnya. Bahkan ada lapangan untuk bermain voli. Tapi, sore itu tidak ramai dengan orang-orang bermain voli melainkan anak-anak yang entah sejak pukul berapa sudah menggerombol. Ada anak-anak perempuan yang bermain lompat tali, ada yang membawa peralatan masak mini sambil memetik bunga-bunga liar di lapangan. Ada anak laki-laki yang bermain petak umpet sampai bentnag-bentengan. Semua anak-anak tampak senang, berbanding terbalik dengan keadaan di luar sana. Mungkin orang akan melihat gang kecil di depan sana adalah gang kumuh tapi coba masuk ke dalam. Banyak sekali hal yang bisa dilihat.

            Mey tersenyum ikut merasakan kedamaian yang sudah lama ia rindukan. Kenangan semasa kecil, bermain bersama teman-teman dan pulang karena hanya ingin mandi bahkan makan pun tunggu diteriaki. Begitupun mengaji, tunggu diomel baru berangkat. Di sudut lapangan ada segerombolan ibu-ibu yang ngerumpi, ada yang ikut lari-larian karena anaknya susah makan, ada yang menggedong bayinya sambil menyuapi. Anak –anak itu tersenyum dan tertawa tanpa beban, pertengakarna kecil dan karena hal sepele menjadi hiburan bagi Mey dan Nina. Suara-suara lucu mereka dan ngambek khas anak kecil membuat Mey dan Nina tertawa lebar dan ikut bermain bersama anak-anak tersebut sampai ada yang berteriak “Sudah mau maghib ayo pulang, nanti digondol Wewe,” seorang Ibu yang memanggil anaknya, seketika anak-anak bubar dan adzan berkumandang. Tanpa sadar Mey meneteskan air mata.

“Nina, makasih sudah ngajak aku ke sini,” ucap Mey. Nina tersenyum “Iya, di sini suasananya masih alami, bahkan anak-anak di sini bertingkah selayaknya anak-anak, pasti kamu kangen sama Wati, coba ingat,” ucap Nina yang membuat Mey tertawa. “Aku sudah ingat,” ucapnya.

***

            Esoknya Mey bertemu Rey di gazebo kampus, lama Mey memandang Rey yang sedang berkutat, memilih kue yang akan dibelinya. Mey kembali tersenyum dan menghampiri Rey. “Wati, Reina Ambarwati,” panggil Mey, kemudian gadis yang masih berkutat dengan kue-kuenya itu menoleh ke arah Mey dengan terkejut. Mey kembali tersenyum,”Hai Wati, main masak-masakan yuk,” ucap Mey dengan suara kecil tapi masih bisa di dengar. Rey tersenyum lebar menyambut Mey kepelukannya.

Mahasiswa Ilmu Komunikasi UB 2016, anggota divisi sastra LPM Perspektif

(Visited 109 times, 1 visits today)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Terbaru

Iklan

E-Paper

Popular Posts

Apa yang kamu cari?