Malang, PERSPEKTIF – Terpilihnya rektor baru Universitas Brawijaya (UB), Nuhfil Hanani, menjadi harapan baru bagi UB. Sejak dilantik pada 28 Juni lalu, Nuhfil mulai menjalankan tugasnya sebagai rektor UB. Sebagai rektor baru, Nuhfil langsung dihadapkan berbagai masalah yang ada di UB. Salah satu permasalahan yang terjadi di UB antara lain masuknya UB dalam daftar kampus yang terpapar paham radikalisme, yang dirilis oleh Badan Nasional Pemberantasan Terorisme (BNPT) pada bulan Mei lalu.
Menanggapi hal tersebut, Nuhfil Hanani saat ditemui awak Perspektif (20/09) menyampaikan bahwa pada dasarnya UB bertujuan untuk mencetak lulusan yang cinta terhadap negara, memiliki toleransi tinggi terhadap sesama, dan tidak memiliki pehamanan ekstrim. Akan tetapi dengan adanya permasalahan tersebut, ia menuturkan bahwa UB membutuhkan wadah untuk menyaring hal tersebut. “Karena ada aliran-aliran luar yang masuk ke sini, itu perlu kita saring. Dalam tanda kutip yang tidak sesuai dengan agama apalagi dengan kenegaraan,” ujarnya.
Oleh Karena itu, ia menuturkan bahwa akan segera dibentuk Peraturan Rektor yang mengatur tentang pencegahan organisasi terlarang dan radikalisme. “Jadi saya meneruskan dari Prof. Bisri (red: rektor sebelumnya), setelah kita masuk di nomor tujuh atau berapa itu (red: dalam daftar BNPT) beliau segera membentuk tim untuk merumuskan Peraturan Rektor,” tutur mantan Dekan Fakultas Pertanian (FP) UB.
Menanggapi hal serupa , Heri Al-Ghiffari, Menteri Koordinasi Pergerakan Eksekutif Mahasiwa (EM) UB menyatakan bahwa pembuatan peraturan tersebut merupakan respon cepat dari pimpinan UB atas pencatutan nama UB yang dilakukan BNPT dalam daftar kampus radikal. “Maka dari itu, gerak cepat dari pimpinan Brawijaya adalah membuat sebuah aturan gitu, yang bisa menjadi dasar kita menanggulangi hal itu,” ungkapnya pada (25/9).
Alfian Tanjung, Ketua Dewan Perwakilan Mahasiswa (DPM) UB menuturkan Peraturan Rektor yang akan dibuat merupakan kepanjangan dari peraturan pemerintah. Ia mencontohkan terkait organisasi terlarang, bahwa memang ada beberapa organisasi yang sudah jelas dilarang oleh pemerintah. “Contoh kayak PKI melalui Ketetapan MPR, melalui Peraturan Presiden seperti Lia Eden, HTI dan sebagainya, juga masalah terorisme. Jadi di sana memang benar-benar diatur yang memang kepanjangan dari peraturan pemerintah,” jelas Alfian ketika ditemui awak Perspektif pada (20/9).
Selain membahas tentang paham organisasi terlarang dan radikalisme, Nuhfil menjelaskan bahwa di dalam Peraturan Rektor tersebut juga akan mengatur tentang narkoba dan perilaku asusila. “Karena yang nampak di UB itu sebenarnya dua kasus, narkoba dan LGBT (red: Lesbian, Gay, Biseksual dan Transgender),” terang mantan Dekan Fakultas Pertanian UB.
Lebih lanjut ia menjelaskan bahwa adanya penangkapan salah satu mahasiswa UB terkait kasus narkoba dan adanya kegiatan LGBT di area kampus menjadi salah satu pencetus dibuatnya peraturan tersebut. Nuhfil juga menceritakan bahwa ketika ia masih menjadi Dekan Fakultas Pertanian, ia pernah membubarkan kegiatan LGBT yang tidak mengantongi izin. “Saya bubarkan, ini bahaya. Itu kan menyimpang dari agama dan norma,” tambahnya.
Ketika ditanya tentang sejauh mana perkembangan dari rumusan Peraturan Rektor tersebut, Nuhfil menjelaskan bahwa sudah dilakukan pertemuan di Batu pada bulan Juli 2018 lalu. Pertemuan tersebut dihadiri oleh beberapa pihak antara lain, pimpinan UB, pimpinan fakultas di UB, BNPT, Badan Intelijen Negara (BIN), Badan Narkotika Nasional (BNN), beberapa perwakilan Organisasi Masyarakat (Ormas), serta perwakilan dari mahasiswa. “Nah di pertemuan itu, peraturannya disuruh bagi jadi tiga, jangan dicampur karena hukumannya beda-beda. Ya sudah saya ngikut ahlinya.”
Ia juga menuturkan bahwa peraturan tersebut sudah hampir selesai hanya tinggal membaginya menjadi tiga poin. Diperkirakan olehnya, peraturan tersebut akan rampung pada tahun ini. “Mungkin gak sampai tahun depan, bulan depan peraturan radikalisme mungkin sudah selesai. Saya minta peraturan tentang radikalisme didahulukan,” pungkasnya.
Disisi lain, adanya peraturan ini menimbulkan kekhawatiran sendiri akan adanya upaya merepresi mahasiswa. Heri menyatakan bahwa ia secara pribadi mengkhawatirkan hal tersebut bisa menjadi salah satu upaya meredam gerakan-gerakan mahasiswa. “Itu kalau dikalangan kita ya, teman-teman yang senang bergerak dan segala macem berpikir kritis pasti ada pemikiran seperti itu. Dan saya pribadi ada pemikiran seperti itu, ini adalah salah satu meredam kampus-kampus.”
UB Turun Peringkat
Selain permasalahan mengenai radikalisme, narkoba dan perilaku asusila, Nuhfil juga dihadapkan pada permasalahan lainnya yaitu turunnya peringkat UB yang dirilis oleh Kementerian Riset, Teknologi, dan Perguruan Tinggi (Kemenristekdikti). Ketika ditanya mengenai turunnya peringkat UB di tingkat nasional, ia mengatakan bahwa sudah membentuk tim percepatan untuk mengidentifikasi penyebab turunnya peringkat UB. “Saya jadi rektor saya membuat tim percepatan untuk itu. Mengidentifikasi apa yang harus dipercepat segala macamnya,” jelas Nuhfil.
Ia menambahkan, belum menjadinya UB sebagai PTN-BH merupakan salah satu indikator turunnya peringkat. Maka ia akan mengusahakan supaya UB untuk segera menjadi PTN-BH. “Kita percepat juga proses PTN-BH. Kalau itu yang memang menjadi masalahnya, kita percepat prosesnya. Karena PTN rangking tinggi-tinggi itu semuanya adalah PTN-BH.”
Menanggapi hal tersebut, Adharul Muttaqin (18/09) selaku tim pemeringkatan bagian data menjelaskan terdapat dua indikator yang menjadi faktor utama menurunnya peringkat UB. “Fakta dari data yang ada di rankingnya Dikti itu bahwa ada dua indikator yang kita di bawah sepuluh besar, yaitu kelembagaan dan SDM,” papar Adharul. Pihaknya kemudian menegaskan akan mulai menerapkan pengukuran kinerja dari kedua indikator tersebut.
Nuhfil pun memberikan gambaran mengenai kondisi SDM di UB. “SDM itu yang dievaluasi ada dua, yang pertama gelar dengan kepangkatan. Jadi gelar berapa persennya doktor. Di sini doktornya itu kurang lebih lima puluh persen, masih banyak yang belum doktor. Yang kedua pangkat, pangkat lektor kepala kemudian juga sekitar lima puluh persen. Guru besar cukup rendah kita, tidak sampai sepuluh persen,” jelas Nuhfil.
Selain kondisi SDM UB, Nuhfil juga menjelaskan tentang aspek kelembagaan, “Aspek kelembagaan itu yang diukur adalah berapa yang jumlah program studi yang terakreditasi A, berapa jumlah program studi yang terakreditasi internasional. Brawijaya masih ada C-nya,” terangnya. Ia berharap ke depannya program studi yang masih terakreditasi C menjadi B, B menjadi A, dan yang sudah terakreditasi A menjadi akreditasi internasional.
Untuk mengatasi permasalahan tersebut, Adharul mengungkapkan bahwa akan segera dilakukan perbaikan managemen di UB. “Sekarang ini kita harus lebih lagi, harus melakukan sesuatu yang lebih terukur. Tidak sekedar melayani mahasiswa udah gitu aja tetapi tanpa terukur, tidak dilindungi peraturan, tidak ada tolak ukur indikatornya. Intinya ya perbaikan managemen menurut saya,” jelas dosen Teknik Elektro ini.
Lebih lanjut, Adharul menyampaikan bahwa yang menjadi fokus saat ini adalah memperbaiki yang dirasa masih kurang. “Kalau kita nyebutnya selalu peringkat. Itu kan hasil akhir, seolah-olah tidak menghargai proses. Tapi kita lihat dulu apakah usahanya ada atau tidak. Kalau tidak ada ya baru itu nggak bagus. Cuma akhirnya yang muncul dari perbaikan kinerja itu ya memang peringkat itu.”
Menyangkut tentang hubungan turunnya peringkat UB di ranking nasional dengan UB yang tidak menjadi juara umum Pekan Ilmiah Mahasiswa Nasional (PIMNAS) , Adharul menjawab, “Sebenarnya ada pengaruhnya, tapi karena tidak juara umum ya harus dilengkapi dengan prestasi yang lain. Dengan indikator yang lain itu artinya prestasi internasionalnya ditingkatkan.”
Senada dengan pendapat Adharul mengenai prestasi internasional yang harus ditingkatkan, Nuhfil Hanani memaparkan, “Saya bilang kita harus mulai melirik juara-juara internasional karena yang menjadi patokan itu. Saya bilang ke Wakil Rektor III agar evaluasi segala macamnya, tetap kita targetkan juara umum Pimnas tapi jangan lupa kita mempunyai target yang tinggi, juara-juara di internasional, medali emasnya.”
Menanggapi UB yang tidak menjadi juara umum Pimnas tahun ini, Arief Prayitno (27/09) selaku Wakil Rektor III UB mengatakan bahwa jika Pimnas berjalan jujur dan fair maka UB akan tetap menjadi juara umum. “Di sana itu sudah ramai terdengar pokok jangan UB yang juara.” Ia menilai banyak kejanggalan yang terjadi. Ia juga menyampaikan dengan perubahan penilaian juara di mana yang melakukan rapat hanya ketua tim juri dan sekertaris saja tanpa anggota juri yang lain, serta tidak diundangannya Kementerian dalam rapat merupakan sesuatu yang aneh. “Itu hal yang aneh yang tidak pernah terjadi selama Pimnas sebelumnya.”
Selain itu, Arief juga telah membuat langkah untuk UB bisa kembali menjadi juara umum Pimnas di tahun 2019. Salah satunya melakukan sosialisasi bagi mahasiswa UB mengenai Program Kreativitas Mahasiswa (PKM). Ia juga menyampaikan akan dibentuknya tim yang akan mengevaluasi apa saja yang kurang dari kontingen UB pada Pimnas tahun ini. Selain itu, Arief menjelaskan bahwa sudah menggerakkan fakultas-fakultas untuk segera melakukan sosialisasi terkait perbuatan proposal PKM lima bidang pada mahasiswa. “Karena nanti di akhir Oktober sudah harus mengupload 700 proposal PKM ke Dikti sana,” tutupnya. (liz/wnd)